Medan Pertempuran Boikot: Dapatkah Aktivisme Konsumen Membentuk Pasar?

18 June 2024, 13:21.

Seorang wanita menulis seruan untuk memboikot Starbucks saat demonstrasi mendukung rakyat Palestina di Paris, Prancis, pada 30 Maret 2024 [Victoria Valdivia/Hans Lucas/AFP via Getty Images]

oleh Dr Dalal Aassouli, Asisten Profesor Keuangan Islam dan Berkelanjutan di Sekolah Tinggi Studi Islam Universitas Hamad Bin Khalifa (HBKU).

(Middle East Monitor) – Konflik Gaza yang sedang berlangsung telah memicu gelombang boikot terhadap merek-merek Barat, seperti Starbucks dan McDonald’s, oleh aktivis konsumen dan masyarakat umum dalam upaya memaksa perusahaan-perusahaan tersebut memikirkan kembali kepentingan bisnis mereka dengan ‘Israel’.

Meskipun dampak finansial langsung dari boikot ini masih diperdebatkan, boikot telah menciptakan tantangan yang signifikan dan memengaruhi citra perusahaan-perusahaan yang terlibat. Boikot juga memberikan contoh hubungan kompleks antara isu-isu global, perilaku konsumen, dan kebijakan perusahaan.

Aktivisme konsumen semakin dianggap sebagai kekuatan yang ampuh untuk perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Motivasi untuk berpartisipasi dalam boikot bervariasi dan telah dipelajari secara ekstensif oleh peneliti pemasaran dan perilaku konsumen. Temuan mereka menggarisbawahi pentingnya persepsi efektivitas dan dampak sebagai motivasi utama partisipasi boikot. 

Faktor-faktor sosial, seperti kredibilitas pesan, partisipasi keseluruhan yang diharapkan, dan persepsi efektivitas juga memainkan peran penting dalam memotivasi konsumen untuk memboikot merek dan produk tertentu. Selain itu, boikot dipandang sebagai bentuk ekspresi, di mana emosi seperti kemarahan memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi.

Serangkaian boikot yang berhasil sepanjang sejarah menunjukkan dampak signifikan dari motivasi dan perilaku konsumen terhadap keputusan perusahaan. Munculnya media sosial, tuntutan konsumsi dan investasi yang bertanggung jawab, dan inisiatif lainnya juga menyoroti evolusi praktik dan prinsip boikot. 

Aktivisme konsumen terkait pelanggaran hak asasi manusia dan permukiman ilegal di Palestina adalah contohnya. Sebelum konflik saat ini, gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) muncul sebagai respons kontemporer terhadap tindakan ‘Israel’, khususnya saat Perang Al-Furqan (‘Operation Cast Lead’). 

BDS telah terlibat dalam kampanye transnasional, yang sejalan dengan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Penyelenggaranya juga telah memobilisasi dukungan dari dunia usaha global dan masyarakat sipil, sejalan dengan aktivitas internasional para aktivis anti-apartheid. Perbedaan utama dalam hal kampanye adalah gerakan BDS telah mampu memanfaatkan media sosial. 

Meskipun media sosial telah berkembang pesat, dampak keseluruhan dari gerakan BDS bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, dampak keuangannya terbatas, seperti Starbucks yang melaporkan penurunan penjualan sebesar 4% pada kuartal keuangan kedua tahun 2024.

Sebaliknya, AlShaya Group asal Kuwait, yang memegang waralaba Starbucks untuk Timur Tengah, baru-baru ini mengungkapkan bahwa mereka telah memberhentikan 2.000 karyawan (sekitar 4% dari staf) karena boikot.

Demikian pula, pertumbuhan penjualan McDonald’s diperkirakan sebesar 0,7% pada kuartal terakhir tahun 2023, jauh di bawah perkiraan sebesar 5,5%, terutama disebabkan oleh boikot di negara-negara, seperti Mesir, Yordania, dan Arab Saudi.

Lebih dekat dengan konflik Gaza, gerakan BDS berhasil memberikan tekanan terhadap General Mills untuk menutup pabrik Pillsbury di permukiman ilegal Atarot dan menjual sahamnya di Bodan Holdings milik ‘Israel’. Keberhasilan yang terbaru termasuk memengaruhi perusahaan, seperti G4S, Klook, dan Puma untuk menyesuaikan aktivitas bisnis dan pensponsoran mereka terkait ‘Israel’. Target lainnya mencakup platform pariwisata digital seperti Airbnb, yang dituduh menawarkan layanan di permukiman ilegal ‘Israel’.

Secara keseluruhan, kampanye-kampanye ini menunjukkan pengaruh kampanye boikot yang gigih dan didukung dengan baik. Dalam hal yang paling berpengaruh, boikot menggambarkan betapa kuatnya peran konsumen dan aktivis dalam menentukan pengambilan keputusan perusahaan. Mereka juga menggarisbawahi kompleksitas perilaku etis konsumen dalam konteks konflik dan bagaimana hal tersebut memengaruhi orientasi strategis perusahaan-perusahaan internasional.

Dari sana, studi kasus di atas menegaskan bahwa kampanye boikot konsumen cenderung memiliki tiga ciri umum: motivasi etis yang menyerukan dan menginspirasi konsumerisme dan investasi etis; tindakan kolektif yang mampu memengaruhi kebijakan perusahaan; dan tekanan konsumen berkelanjutan yang membentuk persepsi masyarakat dan mendorong perubahan perusahaan.

Oleh karena itu, perusahaan harus memahami motivasi di balik konsumerisme etis dan potensi dampaknya terhadap kinerja keuangan. 

Salah satu ukuran penting untuk menilai bagaimana perusahaan mendukung “triple bottom line” (konsep bisnis yang mengusung keberlanjutan dan terdiri dari 3 poin penting; laba, masyarakat, dan lingkungan) adalah kinerja Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). 

Jika digunakan dengan benar, ESG dapat menjadi alat yang kuat untuk memengaruhi orientasi strategis dan kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Dengan meningkatnya kesadaran akan tanggung jawab ESG dan banyak pemangku kepentingan yang mempertimbangkan konsep evaluasi umum risiko organisasi dan praktik bisnis, menunjukkan kinerja dan pengungkapan ESG yang baik, telah menjadi pertimbangan reputasi yang penting bagi banyak lembaga. 

Mengintegrasikan faktor-faktor ESG ke dalam model bisnis juga dapat memperkuat kepercayaan dan persepsi pemangku kepentingan, sekaligus membuka peluang bisnis dan investasi yang berkelanjutan.

Meskipun strategi investasi berbasis penyaringan eksklusif mengecualikan industri-industri kontroversial seperti senjata, investasi berkelanjutan yang mempertimbangkan faktor-faktor ESG yang lebih luas harus melampaui penyaringan sektor untuk mempertimbangkan kegiatan-kegiatan lain yang secara langsung atau tidak langsung mendukung perekonomian rezim yang menindas. 

Oleh karena itu, ketika menilai kinerja ESG perusahaan, analisisnya harus diperluas hingga mencakup investasi, pembiayaan, dan donasi. Penyaringan di sini harus mempertimbangkan faktor-faktor etika, seperti pelanggaran hak asasi manusia, mendukung permukiman ilegal, diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak, degradasi keanekaragaman hayati, kekurangan air, kerawanan pangan, dan masih banyak lagi. 

Meninjau kembali kerangka kerja ESG untuk mengintegrasikan orientasi etika perusahaan dapat memberikan masukan praktis bagi proses pengambilan keputusan konsumen.

Konsep boikot dapat berhubungan langsung dengan konsep penatalayanan, yang mewujudkan investasi dan konsumsi yang bertanggung jawab. Dengan mobilisasi untuk mitigasi perubahan iklim dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang lebih luas, semakin banyak investor yang mempertimbangkan konsumsi dan investasi yang sadar sosial. 

Walaupun persepsi konsumen dan investor mengenai dampak negatif terhadap masyarakat berbeda-beda, tren pasar terkini menunjukkan bahwa bisnis yang tidak pantas secara moral semakin dipertanyakan dan diteliti. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk memikirkan kembali manajemen risiko dan strategi ESG mereka untuk memasukkan dimensi etika lain yang terkait dengan konflik dan krisis geopolitik. (Middle East Monitor)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« GMO: Penjajah Zionis Bohong Soal Jeda Taktis di Gaza Selatan
Lagi, Serdadu Zionis Bunuh Diri Setelah Kembali dari Gaza »