“Anak-anak Batu” Intifadah

21 September 2011, 17:18.

JAKARTA, Rabu (Sahabatalaqsha.com): Hingga kini anak-anak Palestina masih sering disebut dengan “Children of Stone”; Anak-anak Batu. Panggilan ini berawal pada Intifadah pertama, yakni ketika 9 Desember 1987, rakyat Palestina merapatkan barisan untuk melawan Zionis hanya bersenjatakan batu dan pentungan.

Di tangan pemuda Palestina, batu dapat menjelma menjadi senjata yang tidak bisa diremehkan Zionis. Keahlian “Anak-anak Batu” ini amat berkesan di hati Linah Alsaafin. Aktivis dari Wales itu pun menuliskan pengalamannya dalam situs Electronic Intifada.

Berikut adalah diari Alsaafin, lulusan Universitas Birzeit di Tepi Barat, saat mengikuti diskusi para aktivis dunia, termasuk dari Palestina dan “Israel”  mengenai  protes tanpa kekerasan yang diadakan di Desa Nabi Saleh:

Diskusi

“Selama para tentara di sini, selama tanah kami dijajah, selama mobil-mobil jip mereka merebut wilayah kami dan selama mereka terus menembakkan gas air mata, maka para pemuda kami tidak akan pernah berhenti melemparkan batu,” ucap seorang aktivis Palestina.

Aktivis “Israel” menjawab, “Baik, tapi kalian tidak bisa menyebut hal ini sebagai protes tanpa kekerasan. Menurut saya, protes tanpa kekerasan tidak melibatkan tindakan kekerasan dan bagi saya melempar batu merupakan tindakan kekerasan.”

Aktivis Palestina lain naik darah mendengar omong kosong tersebut, “Tindakan kekerasan! Untuk menanggapi hal apa? Tembakan gas air mata? Penggunaan senjata biologis? Penyerbuan rumah disertai penangkapan dan pemukulan? Dengar! Kamu tidak bisa membandingkan antara serangan militer penuh strategi dengan lemparan batu.”

“Ini sama sekali bukan tindakan kekerasan! Ini justru perlawanan tanpa senjata dari gempuran militer kalian!” tegas sang aktivis Palestina.

Menganggap pelemparan batu sebagai tindakan kekerasan sangatlah tidak masuk akal. Batu-batu itu hanya dilemparkan sebagai suatu cara penolakan penduduk Palestina terhadap penjajahan yang merebut tanah dan rumah mereka.

Jumat Mencekam

Jumat kali itu adalah hari demonstrasi mendukung Gaza Freedom Flotilla, tetapi penduduk Desa Nabi Saleh justru lebih banyak berada di dalam rumah. Karena siapa pun yang mengeluarkan kepalanya dari pintu disambut dengan tembakan gas air mata oleh tentara-tentara Zionis.

Puluhan tank menjaga ketat desa. Ketika salah seorang tentara berusaha melempar kaleng gas air mata dan meleset, lalu kaleng tersebut berbalik ke arah sang tentara, para pemuda Palestina mengejeknya dengan tawa.

Tentara Zionis tersebut muntab dan melemparkan bom suara ke arah para pemuda tersebut. Suasana pun mencekam.

Ketika langit mulai temaram, satu per satu tank Zionis beranjak pulang. Para pemuda Palestina, bahkan anak-anak, melempari tank-tank tersebut dengan batu.

Spiderman

Saya sempat menanyakan pada beberapa anak di Desa Nabi Saleh, mengapa mereka terus melempar batu kepada tentara Zionis yang bersenjatakan lengkap dan berkendara tank militer.

Jawaban mereka sederhana, kami tidak mau para tentara ada di sini. Ini desa kami. Mereka menjajah kami.

Kemudian seseorang berkisah kepada saya tentang Spiderman dari Desa Nabi Saleh tersebut. Julukan Spiderman itu diberikan kepada seorang anak berusia empat tahun bernama Samer yang sukses memecahkan kaca spion salah satu mobil jip Zionis dengan batu.

Samer mengambil kaca spion jip Zionis tersebut lalu membawanya pulang. Ia bahkan tidur bersama spion itu.

Kursus Melempar Batu

“Seperti ini cara memegangnya,” ujar salah satu pemuda Palestina kepada saya.

“Bukan, bukan begitu caranya, seperti ini. Anda salah melakukannya. Bukan, lihat jari saya! Bayangkan jempol dan telunjuk Anda sebagai penjepit. Tahan keduanya seperti ini. Maka, posisi batu akan nyaman di tangan.”

Pemuda Palestina tersebut menyerah bicara teori, tangannya langsung menyambar jari-jari saya dan diarahkan agar benar.

“Sekarang rantangkan lengan Anda keluar menjauhi tubuh,” pemuda yang sama melanjutkan.

“Bukan, bukan seperti tongkat. Lipat siku Anda sedikit. Gerakan lengan ke belakang. Ketika melempar, jangan biarkan bahu Anda bergerak. Ok, lempar!” Maka saya melempar.

Batu itu melayang jauh di udara. Saya berteriak bangga.

Tidak lama berselang, guru saya, sang pemuda Palestina usia belasan itu ikut melempar batu. Jarak lemparannya jauh melebihi saya. (ADM/Sahabat Al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Gerombolan Pendatang Haram Yahudi Bakar Masjid di Nablus
Taman Kanak-kanak Pertama Bantuan Indonesia Diresmikan di Gaza »