Perjuangan Anak-anak Gaza Atasi Mimpi Buruk Akibat Perang
2 January 2015, 10:31.

Muntasser Bakr, bocah Palestina umur 11 tahun yang kehilangan empat anggota keluarganya ketika dua rudal ‘Israel’ menghantam pantai saat perang Juli-Agustus di Gaza. Ia berdiri di rumahnya, di depan potret para korban. Foto: AFP
GAZA, Jum’at (AFP): Perang selalu meninggalkan trauma, terutama bagi anak-anak. Contohnya Muntasser, bocah Palestina berusia 11 tahun ini selamat dari serangan agresi ‘Israel’ di Gaza musim panas tahun lalu. Namun, adik dan tiga sepupunya tewas. Lima bulan berlalu sejak peristiwa mengerikan itu, namun insiden itu terus menghantuinya. Ia pun pernah mencoba bunuh diri.
Perang baru berlangsung seminggu tatkala dua rudal ‘Israel’ menghantam pantai di Kota Gaza. Saat itu Muntasser Bakr sedang bermain sepak bola dengan kerabatnya. Empat dari mereka tewas, usia mereka antara sembilan dan 11 tahun. Muntasser, seperti anak-anak korban perang yang tak terhitung jumlahnya di Jalur Gaza, kini menghadapi pertarungan pribadi untuk mengatasi trauma dan kerusakan psikologis yang disebabkan oleh kejahatan perang.
Seperti diketahui, pertempuran yang berlangsung selama enam minggu itu menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina dan melukai lebih dari 10.000 orang. Jalur Gaza yang berpenduduk 1,8 jiwa, lebih dari setengah populasinya merupakan anak-anak usia 14 tahun ke bawah. Saat perang terakhir, lebih dari 500 anak tewas, usia mereka sekitar 12 tahun ke bawah. Kini anak-anak harus membayar mahal atas tragedi mengerikan itu.
Badan PBB untuk Anak-anak, UNICEF, mengungkapkan ratusan ribu anak-anak tetap membutuhkan bantuan psikologis untuk mengatasi kerusakan kesehatan mental jangka panjang akibat perang. “Sejak kejadian itu, Muntasser telah menerima perawatan dari pusat kesehatan mental,” kata Ahed Bakr, ayah Muntasser (55). “Jika perawatannya tertunda atau dia terlambat mendapat obat, bahkan jika hanya terlambat 10 menit, kami akan sulit mengendalikannya.”
Bakr yang kehilangan anaknya, Zakaria (9) dalam serangan bom di pantai, tampak cemas dengan kondisi Muntasser. Karena, dia menjadi sangat sulit dikendalikan, kerap menghancurkan barang-barang dan acap membenturkan kepalanya ke dinding. Dia bahkan mencoba untuk menjatuhkan diri dari atap. Muntasser juga mencoba untuk bunuh diri dan menyerang kerabatnya. “Beberapa hari yang lalu, kami menemukan dia mencoba untuk menggantung sepupunya,” ungkap Bakr.
Kata sang ayah, sejak pengeboman Muntasser seperti ada “di dunia lain” dan menolak untuk pergi ke sekolah. “Bagaimana jika ia mencoba dan membunuh salah satu dari teman-teman sekelasnya?” kata ayahnya, penuh kecemasan.
Tiba-tiba Muntasser mulai berbicara, namun matanya tertuju pada lantai. “Aku tidak ingin pergi ke sekolah. Sebelumnya, aku selalu pergi dengan Zakaria, ia membantuku mengeja namaku. Sekarang dia sudah meninggal,” kata Muntasser. “Aku tidak ingin melakukan apa-apa, aku hanya ingin mendapatkan Kalashnikov dan membunuh mereka semua untuk membalas dendam atas kematian Zakaria dan sepupu-sepupuku,” dia berteriak.
Selama beberapa detik anak itu diam. Kemudian, Muntasser bercerita betapa sering ia memimpikan adik dan para sepupunya setiap malam. “Aku bermimpi bahwa mereka dalam pelukanku. Aku tidak akan pernah pergi ke pantai lagi karena di situlah mereka meninggal,” ujarnya.
Pakar kesehatan Samir Zaqqut mengatakan, anak-anak Gaza terlalu trauma sehingga sulit untuk bisa hidup normal. Kenangan mengerikan yang mereka alami selama perang, begitu tertanam di benak mereka dan tidak mungkin dilupakan. “Mereka harus menghadapi semua guncangan bertubi-tubi dan mengalami trauma terus menerus,” kata Zaqqut kepada AFP.
“Setelah mengalami tiga kali perang (jika dihitung sejak ‘Israel’ mengumumkan secara resmi embargo internasional pada tahun 2007-red) dalam enam tahun, bagaimana mungkin anak-anak ini bisa hidup normal?” ungkap Zaqqut. Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya klinik kesehatan mental dan profesional yang bekerja di wilayah perang.
Ketika pertempuran berakhir pada bulan Agustus, warga Palestina Kamela Abu Hadaf menemukan bahwa kelima anaknya mulai sering mengompol. Mengompol merupakan gejala umum dari stres dan kecemasan. “Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu mereka,” ujar ibu berusia 45 tahun itu kepada AFP.
“Selama perang, mereka benar-benar diteror, tapi kami orang dewasa juga takut. Jadi, kami tidak bisa meyakinkan mereka,” lanjut Hadaf. Kini, anak-anak Hadaf menerima bantuan dari sekelompok dokter asal Jerman yang mengadakan sesi konseling dengan mereka.
Raghda Ahmed juga mengkhawatirkan anaknya, Wissam (8). “Sejak perang, dia tidak pernah meninggalkan aku sendiri, bahkan untuk satu menit. Wissam mengatakan, ‘Tinggallah bersamaku sehingga jika pesawat membom kita lagi, kita akan mati bersama-sama’. Sering saya tinggal bersamanya, bahkan di sekolah,” kata Raghda (30).
Di tengah wawancara tiba-tiba Wissam menyela ibunya, “Tapi, kenapa kita pergi ke sekolah dan belajar? Kita hanya akan tewas dalam perang berikutnya.” *(AFP | Sahabat Al-Aqsha/Daf)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
