Muhajirin Suriah: Dulu Dihujani Dibom, Kini Diguncang Gempa, Tetap Minim Perhatian Dunia
16 February 2023, 08:42.

Pekerja pertahanan sipil Suriah, White Helmets, di kota Jinderis menggali puing-puing bangunan tempat tinggal yang runtuh untuk mencari seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dan empat orang lainnya pada hari Jumat. Foto: Ruth Sherlock | NPR
(Reuters | The New York Times) –Wilayah barat laut Suriah telah lebih dari satu dekade dibombardir oleh rezim Bashar al-Assad. Selama ini, dukungan internasional kurang memadai sehingga terjadi krisis ekonomi yang parah. Itulah sebabnya, wilayah ini nyaris tidak dapat bertahan ketika diguncang gempa hebat pekan lalu (06/02/2023).
Bumi bergemuruh di tempat itu. Bukan karena bom dari langit–sebagaimana biasanya–tetapi digoyang dari arah bawah. Rumah-rumah warga yang sebagian besar terbuat dari batako, berjatuhan. Banyak di antaranya yang menimpa kepala warga.
Di wilayah Turkiye, bantuan internasional dapat dengan mudah mengalir masuk. Namun, rumitnya situasi politik di barat laut Suriah membuat warga yang sekian lama dihancurkan oleh perang, lagi-lagi harus berjuang sendirian.
Tanpa Peralatan
Walid Ibrahim kehilangan lebih dari dua lusin anggota keluarganya, di antaranya saudara laki-lakinya, sepupunya, dan semua anak mereka. Dia baru berhasil mengeluarkan tubuh kerabatnya itu dari bawah reruntuhan dua hari setelah gempa.
“Kami memindahkan batu demi batu. Orang-orang yang terjebak di bawah beton berteriak, ‘Keluarkan kami! Keluarkan kami!’ Namun, kami datang dengan tangan kosong (tidak ada peralatan). Dua tangan ini saja tidak cukup,” ujarnya.
Wilayah Provinsi Idlib dan Aleppo yang berbatasan dengan Turkiye tergolong parah. Lebih dari 4.000 warganya tewas, sementara jumlah total korban di Suriah lebih dari 5.800. Demikian data yang dihimpun PBB dan otoritas pemerintah.
Empat kota lain yang berbatasan dengan Turkiye juga hancur, yaitu Salqin, Harem, Jinderis , dan Al-Atarib.
Pada tur pers hari Selasa (14/02/2023), Reuters melihat sekitar 20 pria dan anak laki-laki mencoba menyelamatkan apa yang mereka bisa dari rumah yang hancur di Harem. Mereka tidak memakai pelindung, tidak memiliki alat yang memadai, atau seragam. Hanya beberapa saja yang mengenakan sarung tangan, tertutup debu abu-abu putih dari batako yang berantakan. Bulu mata, bibir, dan jenggot mereka tertabur zat kapur.
Seorang pria berdoa di antara puing-puing saat sebuah ekskavator membersihkan reruntuhan bangunan. Adapun anak-anak saling berkejaran di sekitar reruntuhan dan besi-besi tulang bangunan yang berantakan.
Tragis
Raed Saleh, koordinator relawan White Helmets, mengaku proses penyelamatan begitu berat. Padahal para relawan telah terbiasa menyelamatkan korban pengeboman.
Sebagian penyelamat sempat diizinkan pulang untuk mengecek kondisi keluarganya untuk pertama kali pada Selasa lalu. Mereka telah menjalani operasi sepanjang waktu selama delapan hari. “Itu adalah pekan terberat dalam hidup kami,” katanya.
“Ini pertama kali terjadi di dunia. Ada gempa bumi, namun komunitas internasional serta PBB tidak membantu,” lanjutnya.
Saleh dan para relawan mengatakan, mestinya lebih banyak nyawa bisa diselamatkan jika dunia bertindak lebih cepat. Namun, jalur Suriah-Turkiye di perbatasan justru ditutup sehingga bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk.
Beberapa hari kemudian, lusinan truk bantuan PBB baru bisa masuk setelah disahkan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengizinkannya tanpa persetujuan rezim Assad. Truk-truk itu membawa makanan dan obat-obatan, dan belum menyertakan alat berat dan mesin yang amat diperlukan oleh tim penyelamat.
Pada hari Selasa (14/02/2023), delapan hari setelah gempa, perbatasan kedua untuk pengiriman bantuan dibuka setelah Assad memberikan persetujuan. Damaskus akhirnya mengizinkan setelah sekian lama menentang pengiriman bantuan lintas batas ke wilayah perlawanan.
Namun, langkah tersebut ditanggapi dengan skeptis bahkan kemarahan warga Idlib, di mana sebagian besar dari 4 juta penduduknya berasal dari provinsi lain yang pernah dibombardir rezim Assad.
“Jika Assad benar-benar ingin membantu orang-orang miskin ini, maka dia tidak akan mengusir mereka dari awal,” kata Joumaa Ramadan, seorang pekerja.
Warga Idlib tidak punya pilihan selain membangun kembali kehidupan mereka yang hancur dengan bantuan Turkiye, yang menampung 3,6 juta warga Suriah. Banyak yang takut untuk melintasi wilayah yang dikuasai oleh pasukan Assad. Pada waktu yang sama, sumber daya alam juga tidak memadai untuk kebutuhan sehari-hari.
“Situasinya benar-benar tragis,” kata Abdulrahman Mohammad, salah seorang Muhajirin yang berasal dari Aleppo.
“Kami bekerja sebagai buruh dan harus menyewa rumah. Jika membutuhkan biaya USD10 sehari dan kami hampir tidak bisa mendapatkannya, bagaimana bisa membangun kembali?” ungkap Abdulrahman.
Ancaman Penyakit
Keadaan rumah sakit di daerah barat laut Suriah serba terbatas. Begitu dibanjiri korban gempa, semua cadangan peralatan medis dikerahkan sampai habis. Demikian dikatakan oleh Abdulrazzaq Zaqzouq , perwakilan lokal The Syrian-American Medical Society.
Menteri Kesehatan Hussein Bazar, dari pemerintahan yang dideklarasikan di Suriah barat laut, mengatakan gempa dan pengungsian puluhan ribu orang dapat menyebabkan lonjakan wabah seperti kolera dan penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sarana prasarana air.
“Ini bukan tentang tenda atau makanan. Itu bukan hal yang terpenting bagi orang-orang,” katanya, menggambarkan potensi bahaya di fase berikutnya.
“Orang-orang juga ingin merasa bahwa mereka dipandang sebagai manusia yang pantas hidup bermartabat,” pungkasnya. (Reuters | The New York Times)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.

 
                         
                         
                         
                         
                        