Tak Hanya Keluarga, Ahmad juga Kehilangan Kakinya Akibat Pengeboman Brutal ‘Israel’ di Gaza

17 November 2023, 11:38.

Ahmad Shabat dan pamannya, Ibrahim Abu Amsheh, di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir el-Balah, Jalur Gaza tengah. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera

(Al Jazeera) – Di unit perawatan intensif Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, bocah lelaki itu menatap wajah pamannya.

“Jus,” katanya.

Paman dari pihak ibu, Ibrahim Abu Amsheh, menurutinya, mencondongkan tubuh ke depan untuk memasukkan sedotan ke dalam mulut anak kecil itu dengan hati-hati.

Itu adalah salah satu kata-kata langka yang diucapkan oleh anak kecil yang berusia tiga tahun, Ahmad Ibrahim Shabat, sejak kakinya hancur akibat serangan udara ‘Israel’ pada hari Senin (13/11/2023).

Pamannya, Ibrahim, mengatakan Ahmad tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi kepadanya.

“Dia tidak tahu dia kehilangan kakinya,” kata pria berusia 28 tahun itu. “Dia terus meminta jalan-jalan di luar.

“Dia sangat kesakitan, dan rumah sakit hanya memiliki Acamol [parasetamol], yang diminum jika Anda sakit kepala, bukan jika Anda kehilangan kedua kaki Anda.”

Ibrahim Abu Amsheh merawat keponakannya, Ahmad, di ICU Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera

Ahmad adalah salah satu korban awal serangan ‘Israel’ di Jalur Gaza. Rumah keluarganya di utara kota Beit Hanoon menjadi sasaran langsung serangan udara pada hari pertama serangan ‘Israel’. Seluruh keluarganya terbunuh kecuali saudara laki-lakinya yang berusia dua tahun, Mahmoud.

“Saya telah menelepon rumah saudara perempuan saya, Diana, dan dia memberi tahu saya bahwa mereka bersiap-siap untuk berangkat,” kenang Ibrahim. “Tak lama setelah saya menutup telepon, kami mendengar bahwa rumahnya menjadi sasaran, mereka semua terbunuh. Orang tua Ahmad, kakak laki-laki Muhammad, kakek neneknya, pamannya, dan bibinya. Semua meninggal dunia.”

Ketika Ibrahim pergi ke Beit Hanoon untuk menguburkan keluarganya, dia mengetahui dari tetangganya bahwa Ahmad telah dibawa ke Rumah Sakit Indonesia dalam keadaan hidup.

“Kekuatan ledakannya melemparkan dia ke udara dan dia mendarat di salah satu halaman rumah tetangga,” kata Ibrahim. “Saya membawanya kembali ke Sheikh Radwan, tempat saya mengungsi bersama keluarga saya.”

Namun, sehari kemudian mereka terpaksa pindah lagi, setelah sebuah rumah di sebelah tempat mereka tinggal dibom. Karena ketakutan, mereka pergi ke sekolah yang dikelola PBB di lingkungan al-Nasr, namun hanya menghabiskan satu malam di sana sebelum mereka mengungsi untuk ketiga kalinya.

“Pagi itu, militer ‘Israel’ menjatuhkan selebaran kepada kami yang menyatakan bahwa sekolah itu tidak aman dan kami harus mengungsi,” kata Ibrahim. “Jadi, kami pergi ke sekolah PBB lainnya bernama Abu Oreiban di kamp pengungsi Nuseirat.”

Ibrahim Abu Amsheh, 28, kehilangan saudara perempuannya akibat serangan udara ‘Israel’ di rumahnya di Beit Hanoon pada 7 Oktober, dan saudara laki-lakinya dalam serangan lain di kamp pengungsi Nuseirat pada 13 November. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera 

Ahmad tergeletak di tanah tanpa kakinya

Mereka menghabiskan satu bulan di sekolah tersebut, dan Ahmad menjadi sangat dekat dengan pamannya yang lain, Saleh, adik laki-laki Ibrahim.

“Ahmad sangat dekat dengan Saleh, dan serangan-serangan sebelumnya membuatnya semakin dekat dengan pamannya,” kata Ibrahim. “Dia akan terbangun sambil berteriak dan hanya dihibur oleh Saleh, yang akan menjadi wali sahnya.”

Lalu tibalah tanggal 13 November.

Ahmad ingin pergi ke toko bersama Saleh. Saat mereka berjalan keluar sekolah, serangkaian ledakan mengguncang area tersebut. Ibrahim, yang masih di sekolah, termasuk di antara mereka yang membantu semua orang berlari ke dalam kelas agar tidak terkena pecahan bom, hingga ia menyadari saudara laki-laki dan keponakannya berada di luar sekolah.

“Saya berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi pada Ahmad dan Saleh, dan saya melihat Ahmad tergeletak di tanah tanpa kakinya,” kata Ibrahim. “Saya menggendongnya dan berlari sampai ambulans menjemput kami.”

Di Rumah Sakit al-Awda, para dokter memberikan perawatan dasar kepada anak kecil itu sebelum merujuknya ke Rumah Sakit Al-Aqsa. Ibrahim mencari saudaranya di antara orang-orang yang terluka, tetapi tidak dapat menemukannya. Dengan rasa takut yang memuncak dalam dirinya, dia bertanya di mana letak kamar mayat.

“Saya membuka kain kafan dari tubuh yang paling dekat dengan saya dan melihat wajahnya,” katanya sambil mulai menangis pelan. “Saleh masih muda, baru 26 tahun. Dia baru saja bertunangan. Kami menguburkannya saat matahari terbenam.”

Ahmad Shabat, usia tiga tahun, menghabiskan tiga jam di meja operasi. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera

Senjata ‘Israel’ melelehkan tulang dan jaringan ikat

Di rumah sakit di Deir el-Balah, Ahmad menghabiskan tiga jam di meja operasi.

Dr Ahmad Ismail al-Zayyan, ahli bedah ortopedi yang menangani kasusnya, mengatakan dia tiba dalam kondisi yang sangat buruk, dengan kedua kakinya terputus dari atas lutut.

“Kami telah melihat dari kasus-kasus anak-anak yang diamputasi lainnya, beberapa di antaranya selamat dan lainnya tidak, jenis senjata yang digunakan ‘Israel’ telah melelehkan tulang dan jaringan ikat,” kata al-Zayyan.

Dalam jangka panjang, masalah yang dialami Ahmad masih jauh dari selesai, kata al-Zayyan, dan perjuangan terbesarnya mungkin adalah mendapatkan prostesis yang tepat.

“Keseimbangannya juga akan terpengaruh karena amputasinya di atas lutut,” ujarnya. “Dan dia akan mengalami atrofi otot karena tubuhnya masih harus melakukan banyak pertumbuhan.”

Al-Zayyan mengatakan dia berharap Ahmad akan mendapatkan perawatan yang dia butuhkan di luar Gaza. “Kami tidak memiliki sumber daya untuk komponen prostesis di Jalur Gaza,” katanya. “Kami juga kekurangan instrumen bedah dan anestesi.”

Ahmad Ismail al-Zayyan, ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera 

Hidup seperti anak-anak lainnya

Di ICU, Ahmad berbaring telentang, sisa kakinya dibalut dan dibentangkan dengan kuat.  Ibrahim, yang juga memiliki seorang putri berusia satu setengah tahun, memerhatikannya dengan penuh kasih sayang.

“Anak ini telah mengalami banyak hal,” katanya. “Ahmad selamat, tetapi sebenarnya dia seperti mayat hidup. Dia hampir tidak punya waktu untuk pulih dari serangan terhadap rumahnya yang menewaskan keluarganya.”

Ahmad adalah anak yang usil dan suka bermain, tetapi sekarang dia diliputi rasa sakit dan ketakutan. Dia biasa menanyakan ibunya, tetapi sekarang tidak lagi.

“Kami memberitahunya bahwa ibunya sangat mencintainya dan dia ada di surga sekarang,” kata Ibrahim, air mata mengalir di wajahnya hingga ke janggut hitamnya.

“Saya tidak ingin siapa pun mengalami apa yang telah kami lalui.”

Sang paman, yang akan membesarkan Ahmad sebagai anaknya sendiri, berharap sang anak bisa menjalani kehidupan normal.

“Dia baru saja memulai masa kanak-kanak,” kata Ibrahim.

“Saya tahu dia tidak akan menjadi anak laki-laki yang sama seperti sebelum semua ini terjadi, tetapi saya hanya ingin dia menjalani kehidupan senormal mungkin.

Saya memohon kepada siapa saja yang bisa membantu kami memberinya prostesis agar dia bisa hidup seperti anak-anak lainnya.” (Atia Darwish dan Maram Humaid | Al Jazeera)

Seorang perawat memeriksa Ahmad Shabat, yang kakinya hancur akibat serangan udara ‘Israel’ di kamp pengungsi Nuseirat pada 13 November 2023. Foto: Atia Darwish/Al Jazeera

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Boikot Produk Pro-Zionis, Warga Malaysia: “Masih Banyak yang Lebih Bagus, Sehat, dan Enak!” 
Spanyol Dorong Pemberlakuan Gencatan Senjata dan Desak Zionis Buka Jalan Masuk Bantuan Internasional   »