Pengkhianatan Besar: Mengapa Para Penguasa Arab dan Muslim Mendukung Rencana Trump di Gaza?

4 October 2025, 12:29.

Oleh: David Hearst, pemimpin redaksi Middle East Eye

Ketika Donald Trump dan Benjamin Netanyahu menyatakan perdamaian pada hari Senin (29-9-2025), semua orang tahu itu hanyalah sandiwara. Yang tidak kita ketahui saat itu adalah betapa banyak teks perjanjian itu telah berubah dari saat disetujui oleh para pemimpin dan menteri luar negeri delapan negara Arab dan Muslim di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga saat diumumkan beberapa hari kemudian di Washington.

Jadi, Turkiye dan Qatar yang ikut tampil dalam pertunjukan itu bisa mengklaim bahwa mereka telah ditipu. Namun, itu cara yang terlalu baik hati untuk membaca hal yang telah mereka lakukan. Pengkhianatan adalah kata lain yang terlintas. Sebuah pengkhianatan yang dilakukan di tengah genosida yang sedang berlangsung penuh, dan yang telah diberi lampu hijau untuk dilanjutkan oleh Netanyahu.

Qatar sangat marah karena mereka dihapus dari peran mediasi dan Trump menolak menunda pengumuman itu. Belakangan peran itu dipulihkan. Mesir pun marah karena peran Otoritas Palestina diturunkan dan karena pasukan “Israel” akan tetap berada di Rafah dan sepanjang perbatasan dengan Sinai.

Namun, nama masing-masing negara masih ada di dalam pernyataan yang menyambut rencana tersebut dan tidak ada yang menarik diri darinya, dan kini keduanya sedang memaksa Hamas untuk menyetujuinya. Bagaimanapun, masing-masing dari delapan negara kawasan yang mendukung perjanjian ini sedang menyuguhkan kepada rakyat Gaza sebuah hadiah yang pahit dan suram setelah dua tahun menanggung serangan militer terburuk dalam sejarah konflik ini.

Bagi rakyat Palestina di Gaza, tidak ada cahaya di ujung terowongan, hanya bentuk lain dari penjajahan dan bentuk lain dari pengepungan. Tepat di titik sejarah ketika opini dunia telah berbalik melawan “Israel” dan ketika lebih banyak negara daripada sebelumnya telah mengakui sebuah negara Palestina, para pemimpin Arab dan Muslim telah menandatangani sebuah rencana yang memastikan bahwa negara yang layak tidak akan pernah muncul dari reruntuhan kerakusan “Israel”.

Turkiye bisa mengklaim bahwa ia menghentikan pembersihan etnis massal Gaza dan membawa kembali lembaga-lembaga PBB ke Gaza. Uni Emirat Arab bisa mengklaim bahwa ia menghentikan aneksasi Tepi Barat oleh “Israel”, tetapi keduanya telah menyerahkan kunci persoalan itu kepada Netanyahu. Tidak ada jaminan bahwa mereka telah menghentikan pembersihan etnis dan genosida karena di bawah perjanjian ini, pasukan “Israel” tidak meninggalkan jalur Gaza.

Netanyahu yang memutuskan seberapa cepat dan seberapa banyak Gaza yang akan diserahkannya kepada pasukan stabilisasi internasional yang diusulkan. Ia juga bebas memutuskan berapa banyak bantuan dan kualitas bahan rekonstruksi apa yang akan ia masukkan. Namun, ada jaminan bahwa rencana pascaperang ini akan mencekik sejak lahir Gaza yang bangkit kembali di bawah kepemimpinan Palestina dalam bentuk apa pun.

Di bawah rencana ini, tidak ada peran bagi kepemimpinan Palestina mana pun dalam pembangunan kembali Gaza. Gaza dipisahkan dari Tepi Barat terjajah melalui perjanjian ini dan semua pemikiran untuk menyatukan keduanya telah dibuang.

Otoritas Palestina (OP) tidak lebih baik nasibnya dibandingkan Hamas atau faksi-faksi lain. Sudah dilucuti senjata, OP harus melangkah jauh lebih jauh. Netanyahu menuntut dalam konferensi pers bersama bahwa OP harus mencabut kasusnya terhadap “Israel” di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ). OP harus berhenti membayar keluarga para pejuang yang gugur. OP harus mengubah kurikulumnya dan menjinakkan medianya. Setelah itu, “Israel” akan melihat apakah OP siap untuk bernegara.

Tidak satu pun dari delapan pemimpin, Perdana Menteri atau Menteri Luar Negeri Turkiye, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Yordania, Mesir, Indonesia, dan Pakistan, berkonsultasi dengan orang Palestina sebelum menyetujui rencana ini. Sama seperti orang Palestina tidak memiliki agensi dalam otoritas yang akan dipaksakan kepada mereka di Gaza, mereka tidak punya suara dalam merancang rencana pascaperang.

Jadi, di mana rencana tandingan Arab? Tidak ada. Di mana tekad untuk melawan perluasan perbatasan “Israel”? Itu juga murni khayalan.

Perbedaan antara draf yang mereka lihat di New York dan pernyataan akhir mencakup batas waktu penyerahan sandera, distribusi bantuan, jumlah tawanan Palestina yang akan dibebaskan, Pasukan Stabilisasi Internasional (International Stabilisation Force/ISF), dan garis ke mana pasukan “Israel” akan ditarik.

Dalam setiap isu ini, kendali “Israel” telah diperkuat dan komitmennya dikurangi, antara draf perjanjian yang disepakati di PBB dan pengumuman di Gedung Putih.

Namun, yang paling penting adalah komitmen “Israel” untuk mengizinkan 600 truk bantuan masuk per hari telah diganti dengan kata-kata dukungan penuh tanpa angka atau spesifikasi peralatan apa yang akan diizinkan “Israel” masuk.

Komitmen untuk mundur dari seluruh Gaza secara ajaib berubah menjadi penarikan yang bersyarat pada perlucutan senjata dan pemeliharaan perimeter keamanan. Semua isu ini disunting keluar dari draf oleh Netanyahu, tentu saja dengan kepatuhan penuh dari Steve Witkoff, utusan Trump, dan Jared Kushner, menantunya.

Jadi, di mana kita sekarang? Kita memiliki rencana gencatan senjata yang jauh lebih buruk daripada tujuh lainnya yang disetujui AS dan yang diizinkannya untuk dirusak Netanyahu.

Menurut rencana ini, pasukan “Israel” pada akhirnya akan mundur ke perimeter, tetapi mereka tidak akan pernah meninggalkan jalur tanah antara Rafah dan Sinai, yang dikenal sebagai Koridor Philadelphia. Mereka hanya akan mundur ke posisi-posisi ini jika mereka yakin Hamas telah menyerahkan semua senjatanya kepada ISF yang baru. Tidak heran, Netanyahu tersenyum lebar.

Netanyahu ditanya setelahnya apakah ia setuju dengan negara Palestina. Ia menjawab, “Sama sekali tidak. Itu tidak tertulis dalam perjanjian. Ada satu hal yang kami katakan. Kami akan sangat menentang negara Palestina.”

Presiden Trump juga mengatakan hal itu. Ia mengatakan ia memahaminya. Netanyahu untuk sekali ini berkata jujur. Poin terakhir dari 20 butir hanya mengatakan bahwa Amerika Serikat akan membentuk dialog antara “Israel” dan Palestina untuk menyepakati sebuah horizon politik bagi koeksistensi damai dan sejahtera.

Pasal 19 hanya memberikan anggukan samar pada kenegaraan. Pasal itu mengakui penentuan nasib sendiri sebagai aspirasi rakyat Palestina. Tidak, bukan sebagai hak. Bahkan aspirasi itu pun bergantung pada kemajuan pembangunan kembali di Gaza dan reformasi OP yang dilakukan dengan setia. Siapa penengah proses ini? “Israel”, tentu saja. Ini bahkan tidak memerlukan tangan sibuk Witkoff dan Kushner untuk menulis ulang.

Presiden AS Donald Trump bertemu para pemimpin Arab dan Muslim di sidang ke-80 Majelis Umum PBB di New York pada 23 September 2025 (Reuters)

Pengkhianatan terhadap negara Palestina oleh para pemimpin Arab dan Muslim yang telah lama berteriak tentangnya telah dilakukan sejak lama untuk memeteraikan kemenangan “Israel”.

Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris yang menginvasi Irak, bangkit kembali dari kematian. Tidak ada seorang pun di luar Ramallah yang memainkan peran lebih besar daripada Blair dalam menjaga Hamas agar tidak masuk ke dalam pemerintahan persatuan nasional, yang selama beberapa dekade merupakan satu-satunya jalan menuju deeskalasi konflik.

Pada 2006, setahun sebelum ia menjadi utusan Timur Tengah, Blair berpihak pada Presiden AS saat itu, George Bush, menolak hasil pemilu yang dimenangkan secara adil, memboikot Hamas, dan meletakkan fondasi bagi pengepungan yang akan berlangsung selama 17 tahun. Syarat Kuartet memastikan pengecualian Hamas.

Kini Blair kembali lagi sebagai anggota “Board of Peace”. Pada 2010, setelah masa jabatannya sebagai utusan berakhir, sejarawan “Israel” Avi Schlime menulis, “Kegagalan Blair untuk membela kemerdekaan Palestina adalah justru yang membuatnya disayangi oleh rezim ‘Israel’.” Kata-kata ini sama benarnya tentang Blair hari ini sebagaimana waktu itu.

Pilihan bagi Hamas suram. Kesepakatan di hadapan mereka jauh lebih buruk daripada yang diterima Hizbullatta, dan bahkan itu pun dilanggar setiap hari oleh “Israel”.

Jika Hamas menyerahkan sandera, tidak ada jaminan perang akan berakhir dan tidak ada lagi pengungkit untuk memastikan pembebasan tawanan Palestina. Jika mereka menolak, perang berlanjut dengan dukungan penuh Trump.

Tidak ada yang bisa terkejut dengan kecepatan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Mesir yang runtuh bagai kartu dalam mendukung negara Palestina merdeka.

Namun, Turkiye dan Qatar juga ada di dalamnya. Bersama-sama mereka telah mengkhianati orang Palestina dengan menaruh nama mereka pada kesepakatan yang seburuk dan seberat sebelah ini.

Berkali-kali mereka diberitahu untuk berhati-hati menaruh kepercayaan kepada Trump dan utusannya. Berkali-kali pula mereka telah dipermainkan olehnya dan oleh para pendukung Zionis religiusnya. Para menteri Turkiye dan Qatar tahu bahaya mencoba memutar kembali jam ke tanggal 6 Oktober, sehari sebelum serangan Hamas ketika Arab Saudi hampir menormalisasi hubungan dengan “Israel”.

Setelah dua tahun genosida, kita berakhir dengan sebuah penyelesaian yang diusulkan, yang jauh lebih buruk daripada situasi pada 6 Oktober 2023. “Israel” mendapat lampu hijau untuk tetap berada di Gaza, baik secara langsung maupun melalui proxy seperti Blair.

Para pemukim haram Yahudi akan terus menyerbu Masjidil Aqsha. Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan “Israel” dan gubernur de facto Tepi Barat, akan terus membangun permukiman haram. Tepi Barat sudah dianeksasi, jika tidak secara kata, maka secara kenyataan.

Ini adalah formula yang sama yang dicoba dengan Perjanjian Oslo, tetapi kali ini dalam dosis lebih besar. Orang Palestina hanya boleh diizinkan hidup berdampingan dengan “Israel” jika mereka menyimpan bendera mereka, meringkuk di sudut-sudut tanah yang tidak direbut pemukim haram, dan meninggalkan semua rencana untuk negara merdeka mereka sendiri.

Inilah arti dari deradikalisasi. Tidak pernah sebelumnya orang Palestina, di mana pun mereka tinggal, merasa lebih sendirian. Para pemimpin Arab dan Muslim telah merespons keberanian dan keteguhan yang telah diperlihatkan rakyat Palestina Gaza siang dan malam di layar televisi mereka dengan ketakutan, kepengecutan, dan kepentingan diri sendiri. (Middle East Eye)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Merapat hingga 1,5 Meter, Kapal ‘Israel’ Ganggu Komunikasi Armada Sumud Global
Hamas Tegas Menolak Wacana “Dewan Perdamaian” yang Diusulkan Trump »