Menyapa Pengungsi Palestina

29 August 2009, 14:38.

Sejumlah aktivis kemanusiaan dari Indonesia belum lama ini menyaksikan sendiri penderitaan para pengungsi Palestina yang hidup terlunta-lunta di Tanaf, perbatasan antara Suriah dan Iraq. Tidak ada negara yang sudi menampung mereka. Laporan ini disiapkan oleh Hamzah Zulfikar dan Ahmad Khabbab dari Sahabat Al-Aqsha, sebuah LSM yang aktif menggalang bantuan Muslim Palestina.

Suriah adalah bagian dari Syam, tanah yang diberkahi oleh Allah Ta’ala sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, serta didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syam dewasa ini mencakup pula Lebanon, sebagian Yordania, serta Al-Quds serta seluruh tanah Palestina yang kini dijajah dan diperkosa oleh Zionis Israel sehingga jutaan penduduknya hidup tersebar sebagai pengungsi ke seluruh dunia.

Di Damaskus, ibu kota Suriah, saat ini berlindung lebih dari 500 ribu pengungsi Palestina. Sedikit banyaknya mereka mendapat kesempatan untuk hidup lebih aman dan membangun kesejahteraan mereka sendiri. Namun sekitar 250 km ke arah Barat, di sebuah tanah tak bertuan bernama Tanaf di perbatasan Iraq, ada ribuan lagi pengungsi Palestina yang hidup terlunta-lunta. Ke sanalah kami berkunjung beberapa waktu lalu untuk mengantarkan sekedar bantuan dan menyampaikan salam Anda, sahabat ALIA, kepada mereka.

Dengan sebuah bus, ber-17 dengan sejumlah aktivis kemanusiaan dari Turki, kami meluncur meninggalkan kota Damaskus segera sesudah Subuh. Berkilo-kilometer jalan padang pasir yang sungguh sepi dan gersang tanpa secuil pun bangunan. Namun perjalanan kami cukup nyaman. Sulit bagi kami membayangkan seperti apa perjuangan para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu saat mengadakan perjalanan untuk da’wah dan berperang melawan kekafiran di gurun-gurun pasir seperti ini, dengan kendaraan unta dan kuda atau bahkan berjalan kaki dengan perbekalan terbatas.

Sekitar empat jam kemudian, kami tiba di tanah perbatasan Suriah – Iraq. Penjagaan ketat militer kedua negara segera terlihat. Beberapa petugas bersenjata memeriksa dan memproses paspor kami selama sekitar 30 menit. Kami naik lagi ke bus yang segera meluncur ke arah segerombolan tenda-tenda coklat dekil dikepung oleh tembok-tembok tinggi.

Tak ada bangunan pemukiman bagi saudara-saudara Palestina kita ini. Mereka terpenjara di bawah langit terbuka. Terpanggang matahari saat musim panas mendera sampai 50 derajat Celsius. Menggigil beku saat musim dingin menggigit sampai minus 15 derajat Celsius. Tak ada jalan untuk keluar. Iraq mengusir mereka sesudah ketegangan antara kaum Syiah dengan Muslim Sunni yang meletus beberapa waktu sesudah agresi militer Amerika Serikat ke negeri itu. Suriah tak bisa pula menampung mereka.

Kami turun dari bus dan langsung disambut sejumlah anak dengan air muka beragam – ada yang ceria, ada yang menghiba. Beberapa orang dewasa mereka bermunculan dari dalam tenda-tenda itu. Seorang petugas dari lembaga kemanusiaan yang dikelola para mujahid Palestina di Suriah memperkenalkan kami dengan para pengungsi itu. Sebagian besar anak itu lahir di camp pengungsian itu – di tengah segala keterbatasan fasilitas melahirkan. Sejumlah pemuda yang ada di sana adalah mereka yang lahir di Iraq, namun juga di tempat-tempat pengungsian Palestina. Sejumlah orang tua yang kami temui adalah penduduk asli Palestina yang lahir di tanah para Nabi itu, namun kemudian terpaksa mengungsi ke Iraq pada saat Israel mulai mencengkeramkan kuku penjajahannya pada 1948.

Bertahun-tahun mereka hidup cukup tenteram di Iraq. Namun saat pasukan Amerika Serikat masuk untuk menggulingkan Saddam Hussein, penderitaan mereka terulang. Pengusiran, teror, dan bahkan pembunuhan dilakukan oleh milisi Syiah Al-Mahdi terhadap mereka. Maka terlunta-luntalah mereka lagi – ke Sudan, ke Norwegia, ke Siprus. Mereka yang tidak mendapat akses atau memiliki keluarga di luar negeri akhirnya terdampar di gurun pasir yang panas menyengat, di Tanaf.

Awalnya ribuan orang di antara mereka yang tinggal di Tanaf, sampai beranak-pinak. Namun perlahan ada sejumlah di antara mereka yang berhasil dijemput atau diusahakan berjalan ke luar negeri. Saat ini masih sekitar 750 jiwa yang tertinggal, hidup di tenda-tenda putih yang sudah mencoklat lusuh. Bila mereka sakit, maka mereka akan dibawa masuk berobat ke Suriah oleh para aktivis kemanusiaan – namun sesudahnya mereka harus masuk kembali ke camp.

Bagaimana dengan bantuan? Ada, dari United Nations High Commissioner on Refugees (UNHCR), termasuk tenda-tenda yang kini mereka tempati. Untuk kebutuhan mereka sehari-hari, maka bantuan dari para pekerja sosial Organisasi Perlawanan Islam Hamas (Haraqah al-Muqawwamah al-Islamiah)-lah yang mencukupi. Kegiatan pendidikan, santunan bagi para janda dan anak yatim, pembinaan keterampilan para perempuan dan pemuda Palestina, layanan kesehatan, pembinaan ruhiyah – semua disediakan oleh Hamas.

Beberapa waktu sesudah kami tiba, azan Dzuhur berkumandang dari dua pengeras suasa yang dipancangkan dengan pokok pohon di sebuah tenda memanjang. Inilah masjid mereka. Sesudah wudhu dari pipa yang mengalirkan air dari sebuah tangki kecil, kami shalat di atas karpet lusuh. Di depan kami ada sebuah almari kecil berisi al-Quran. Dinding “masjid” ditempeli tulisan-tulisan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selepas Shalat Dzuhur yang kami Jama’ Qashar dengan Shalat Ashar, kami berkumpul dengan anak-anak pengungsi yang gembira menerima sedikit oleh-oleh berupa makanan kecil yang kami bawa. Bertumpuk cerita iba kami dapat ketika itu, termasuk kisah seorang anak yang sudah sangat berharap akan bisa dibawa meninggalkan Tanaf menuju ke negeri baru. Begitu tiba di Bandara Damaskus, si kecil menangis meraung-raung karena takut akan pesawat dan lampu-lampu terang di sana. Akhirnya, dia minta kembali dipulangkan ke Tanaf!

Yang mengharukan adalah kenyataan bahwa keterbatasan sarana sama sekali tidak mengurangi semangat belajar anak-anak pengungsi ini. Puluhan di antara mereka tekun menghafal al-Quran di bawah bimbingan sejumlah guru dari Hamas. “Ini yang kami upayakan di sini: agar anak-anak ini meraih cita-cita mereka hidup mulia di mata Allah,” ujar seorang petugas Hamas.

Matahari masih terik saat kami keluar dari “masjid.” Sejumlah anak gembira bermain bola di depannya. Kami ikut. Beberapa anak minta kami gendong. Kegembiraan yang alami bersama kami para tamu mereka, mungkin karena mereka sangat jarang ditemui orang-orang luar. Satu di antara kami pergi buang air kecil di sebuah toilet sempit berdinding seng yang seperti dibakar matahari, lalu bersuci dengan air yang terasa sangat panas karena dialirkan dari sebuah bak yang terjemur di luar.

Tepat pukul 4 sore waktu Tanaf, kami pamit. Jabat erat dan senyum mewarnai perpisahan. Sejumlah anak berdiri di sekitar bus kami sambil melambaikan tangan. “Jangan sedih, kami tetap akan berjuang. Kami masih punya Allah,” kata seseorang di antara mereka.

Sumber : Majalah Alia  No.3 Tahun VII Ramadhan – Syawal 1430H September 2009

Saat ini jumlah pengungsi di Tanaf 750 jiwa. Saudara-saudara kita pengungsi dari Palestina yang hanya tinggal beratapkan tenda-tenda ini pada saat musim panas, suhu bisa mencapai 50 derajat Celcius dan musim dingin bisa menyentuh angka -15 (minus lima belas) derajat Celcius. Alangkah baiknya saat kita bisa berkumpul bersama keluarga dalam keadaan yang penuh nikmat ini bisa berbagi kepada saudara-saudara kita yang ada di sana….Semoga Allah memberikan ganjaran kebaikan yang berlipat  dan keberkahan dalam keluarga anda atas kemurahan hati anda dan keluarga…


DONASI

 

Sampaikan Infaq terbaik anda melalui rekening

Donasi Palestina:
Bank Syariah Mandiri
No. Rek 7799800009 

an. Sahabat Al Aqsha Yayasan

Donasi Suriah:
Bank Syariah Mandiri
No. Rek 7799880002 

an. Sahabat Al Aqsha Yayasan

Untuk konfirmasi donasi anda, silakan klik di sini.

atau SMS ke
+62 877 00998 009 atau
+62 877 00998 002

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kita Bergerak Terus! - Menyapa Al-Aqsha & Palestina

« Penguasa Pendudukan Zionis Halangi Penduduk Palestina Masuki Masjid Al Aqsha
Tentara Israel Gempur Rumah Warga Sipil Di Gaza »