Ummu Nidhal Farhat: Berkorban Tanpa Batas

18 March 2013, 07:00.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku… dan masuklah ke dalam Syurgaku…”

JAKARTA, Senin (SahabatAlAqsha.com): Keluarga Farhat dikenal atas perjuangannya melawan penjajah zionis ‘israel’. Salah satu menantunya adalah syuhada ‘Imad ‘Aqil, seorang pemimpin terkenal Brigade Qassam yang tewas dalam pertempuran dengan batalion zionis yang mengepung tempat persembunyiannya di kota Gaza pada 1993.

Selain ‘Aqil, ada Nidal.Rawad dan Muhammad yang juga syahid dalam tugas berjuang melawan penjajah. Anak mereka yang lainnya, yaitu Wisam disekap di penjara zionis selama 11 tahun. Adapun anak keempat mereka, yaitu Mu’min terluka saat melawan invasi Zionis ke wilayah Syuja’iyyah dua tahun lalu.

Pada 2002 lalu Muhammad berhasil menyusup ke benteng pemukiman ilegal Atzmona yang memiliki 131 unit permukiman ilegal Yahudi dan lahan pertanian seluas 470 dunum (setara 47 hektar). Muhammad menyasar akademi militer yang ada di permukiman ilegal itu.

Ia menyerang akademi tersebut dan terlibat dalam pertempuran sengit memakai senapan Kalashkinov miliknya selama satu jam dengan serdadu-serdadu Zionis. Ia menggunakan sembilan peluru dan enam granat tangan untuk menyerang akademi itu hingga menewaskan tujuh serdadu Zionis dan melukai 22 serdadu lainnya. Namun ia terbunuh dalam serangan itu. Darahnya bercampur dengan pasir di atas tanah tercintanya.

 

Ketika tahun 2005 kawasan Atzmona ikut dimerdekakan bersama seluruh kawasan pemukiman ilegal lain di Jalur Gaza, kantor berita PIC (Palestinian Information Center) mewawancarai Ummu Nidal sesaat setelah ia mengunjungi lokasi tewasnya Muhammad.

“Saat kaki saya melangkah di atas bekas wilayah permukiman Atzmona dan melihat tempat Muhammad gugur, ada perasaan aneh yang menguasai saya. Saya menangis deras, lebih dari ketika ia tewas dulu. Ini adalah hari yang tidak akan saya lupakan. Peristiwa ini setara dengan setengah hidup saya.”

Ibu yang wafat kemarin dalam usia 64 tahun ini dalam wawancara itu mengatakan, masa-masa setelah puteranya menyerang benteng pemukiman Atzmona itu adalah masa yang sulit. “Orang yang mendengar tentang penyerangan itu tidak akan sama rasanya dengan orang yang melihat kejadiannya. Kami biasa mendengar tentang operasi syahadah di dalam pemukiman Yahudi. Namun hanya orang yang melaksanakan operasi itu yang dapat benar-benar mengerti bagaimana menyusup ke benteng pemukiman Yahudi itu. Ketika saya melihat lubang yang dibuat anak saya pada pagar untuk menyusup ke pemukiman itu, saya baru sadar penyerangan ke permukiman Yahudi yang sebenarnya itu seperti apa. Ini seperti operasi yang mustahil,” paparnya.

Umm Nidhal Farhat juga mengatakan, dirinya akan selalu merasa mantan pemukiman Yahudi Atzmona itu sebagai hal yang besar. Ia merasakan wilayah itu menjadi bagian dari jiwanya karena darah anaknya tumpah di atas pemukiman itu.

“Ini adalah mimpi yang besar. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir hari (merdekanya Gaza) ini akan tiba. Yaitu hari di mana saya masuk ke Atzmona dan melihat langsung pasir yang tercampur dengan darah Muhammad. Saya merasa sedih ketika menelusuri jejak kaki putera saya yang berjuang melawan penjajah. Dan saya menangis melebihi ketika hari anak saya gugur.”

 

 

Ia masih ingat kalimat terakhir yang diucapkan Muhammad di telepon. Muhammad mengatakan, “Selamat tinggal, Ibu.” “Waktu itu jam 16.30 dan Muhammad tengah mempersiapkan penyerangan akademi militer di permukiman itu.”

“Saya merasa bangga karena saya ikut berperan dalam mengalahkan penjajah di Jalur Gaza dan memaksa mereka ke luar,” tegasnya.

Almarhumah semasa hidupnya juga meyakini, Allah akan membalas siapa pun yang mengorbankan hartanya yang paling berharga untuk mempertahankan tanah mereka, membela para wanita, anak-anak dan kaum yang lemah di antara mereka. Dengan ekspresi bahagia, ia juga mengatakan bahwa darah seorang syuhada tidak akan sia-sia.

“Kami, para wanita Palestina tentu saja memiliki perasaan seperti para ibu lainnya di seluruh dunia. Tapi kami menggunakan perasaan dan emosi ini untuk membuktikan keimanan kami. Kami siap mengorbankan segalanya demi Allah, termasuk nyawa kami dan anak-anak kami,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Kami tidak berharap mati atau ingin anak-anak kami mati, tapi saat ini kami berada di bawah penjajahan terburuk yang pernah ada. Dan kami tidak memiliki pilihan selain mengorbankan diri kami dan anak-anak jika itu adalah jalan satu-satunya untuk menyingkirkan penjajahan. Kami ingin hidup damai di tanah kami seperti bangsa-bangsa yang lain.”* (MR/ Sahabat al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« BREAKING NEWS: Ibunya Para Mujahidin Palestina Wafat Subuh Tadi: Umm Nidhal Farhat
Zionis Hancurkan Tenda Pelindung Anak-anak dari Bully Pemukim Yahudi »