Dideportasi Mesir karena Saya Warga Palestina

25 July 2013, 09:38.
Warga Gaza, Palestina, dilarang bepergian kemana-mana, dicegah menyeberangi pintu perbatasan Rafah oleh penguasa militer Mesir. foto: Eyad Al Baba/APA images

Warga Gaza, Palestina, dilarang bepergian kemana-mana, dicegah menyeberangi pintu perbatasan Rafah oleh penguasa militer Mesir. foto: Eyad Al Baba/APA images

oleh Yousef M. Aljamal, seorang penterjamah dan blogger di Gaza

YOGYAKARTA, Kamis (Electronic Intifada): Saya masih berusia berusia 12 tahun ketika saya bermalam dua hari di sisi Mesir di penyeberangan Rafah pada 2002. Saya bersama bibi dan kakak sulung saya yang meninggal tahun 2007 akibat blokade ‘israel’. Tidak banyak yang saya ingat dari pengalaman ketika itu. Sebagai anak kecil saya hanya merasakan pengalaman itu sebagai hal yang menyenangkan. Beginilah cara anak-anak melihat banyak hal: menyenangkan.

Menyenangkan. Kami tidur di lantai selama dua hari dengan kondisi yang buruk. Bibi saya menjaga saya dan kakak perempuan saya yang habis menjalani operasi di Yordania.

Sebelas tahun kemudian, Juni 2013, saya pergi ke Mesir untuk yang kedua kalinya. Namun otoritas Mesir menyuruh saya kembali ke Gaza, bersama dengan 200 orang lainnya. “Sudah cukup untuk hari ini,” kata mereka kepada kami. Dua hari kemudian, saya kembali masuk ke Mesir. Saya juga harus mengganti jadwal penerbangan saya untuk kedua kalinya.

Saya terbang dari Kairo ke Malaysia lalu menuju Selandia Baru. Butuh waktu lebih dari tiga bulan untuk mendapatkan visa Selandia Baru. Kepergian saya ini untuk menghadiri sebuah konferensi Palestina di Auckland dan menjadi pembicara. Pengajuan visa saya yang pertama kali sempat ditolak karena kebijakan aneh Selandia Baru.

Selama dua minggu saya mendapatkan informasi yang berbeda-beda dimana saya harus mengajukan aplikasi visa. Ada yang mengatakan saya harus mengajukannya lewat kedutaan Selandia Baru di Kairo, lalu Dubai, lalu Bangkok, lalu Tel Aviv, lalu Dubai lagi, kemudian Kairo dan akhirnya Dubai sekali lagi.

Malaysia memberikan warga Palestina dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh Otoritas Palestina selama sebulan pada saat kedatangan mereka. Saya berniat melakukan perjalanan langsung ke Selandia Baru namun saya diberitahu bahwa saya harus lebih dulu mendapatkan visa transit dari Australia, yang sangat buruk ketika memperlakukan orang Palestina.

Akhirnya saya terbang kembali dari Selandia Baru ke Malaysia untuk mendapatkan visa transit ke Mesir melalui Kedutaan Mesir di Kuala Lumpur. Dalam ketidakpastian, saya juga mencoba mendapatkan visa itu dari kedutaan Mesir di Wellington, Australia.

Saya harus mengganti jadwal penerbangan untuk ketiga kalinya. Ketika saya sudah mendapatkan visa dari kedutaan Mesir di Kuala Lumpur, saya pergi ke Mesir via Doha. Terminal Rafah dalam keadaan ditutup ketika saya dalam perjalanan ke bandara. Saya kira saya bisa tinggal maksimal dua pekan di Mesir, seperti yang tertera di visa. Skenario terburuknya, saya dideportasi ke Gaza, rumah saya. Yang terjadi kemudian adalah saya dideportasi.

Dipermalukan

Bersama orang-orang Palestina lainnya, mereka menandai kami sebagai orang-orang yang dideportasi. Kami harus kembali ke negara yang sebelumnya kami kunjungi. Dan kami tetap harus membayar tiket pesawatnya. Beberapa warga Palestina tidak memiliki visa kembali ke negara yang sebelumnya mereka kunjungi. Saya merasa tidak berdaya, tertindas dan terhina. Saya melihat orang-orang dari berbagai kebangsaan dengan mudahnya masuk ke Kairo.

Saya tinggal berjarak enam jam perjalanan dari rumah namun visa saya sama sekali tidak ada artinya. Rencana dan harapan saya ketika kembali ke Gaza tidak ada artinya bagi otoritas Mesir. “Penyeberangan Rafah ditutup. Kamu seharusnya tidak pergi ke Kairo,” kata salah satu petugas kepada saya. Kejam.

Saya tidak memiliki pilihan lain, kecuali kembali naik pesawat dan balik ke Doha lalu Kuala Lumpur. Di dalam pesawat, seorang petugas maskapai mengatakan kepada saya, “Silakan duduk sampai semua penumpang turun dari pesawat. Saya akan membantu Anda. Anda tidak akan bisa mendapatkan paspor Anda sampai Anda tiba di Malaysia. Kami akan memberikannya kepada pihak imigrasi dan mereka yang akan menentukan apa Anda bisa masuk ke Malaysia atau tidak.” Setelah saya menjelaskan kondisi saya kepada pihak imigrasi di bandara internasional Kuala Lumpur dan alasan saya dideportasi, mereka memberikan saya visa tinggal selama 24 hari.

Dihina

Otoritas Mesir meminta saya tinggal di Malaysia sampai penyeberangan Rafah dibuka kembali. Berada di ruang deportasi di Kairo adalah ‘resep terbaik’ untuk mati secara perlahan. Saya pernah menghabiskan 14 jam di sana. Ada banyak warga Palestina di sana. Semuanya merasa tertindas, terhina dan terlantar.

Perjalanan enam jam menuju Gaza menjadi perjalanan ribuan mil tanpa ada jaminan bisa mencapai tujuan. Akhirnya saya tinggal di Malaysia sampai semuanya menjadi lebih jelas. Seorang penyair dan novelis Palestina, Mourid Barghouti menulis dalam buku terkenalnya I Saw Ramallah, bahwa ia akhirnya melihat Ramallah setelah 30 tahun hidup dalam pengasingan. Saya lebih beruntung dari dia. Saya akhirnya bisa kembali ke Gaza 13 hari kemudian, meski rasanya seperti menunggu bertahun-tahun.

Akhirnya saya bisa kembali ke Gaza. Saya tiba di bagian imigrasi bandara internasional Kairo. Puluhan warga Palestina yang dideportasi dikeluarkan dari ruang deportasi untuk naik bus deportasi menuju Rafah. “Kamu beruntung karena tidak merasakan semenit pun di ruang deportasi,” salah satu dari mereka mengatakan kepada saya. “Saya pernah menghabiskan 14 jam di ruang deportasi itu,” kata saya.

Deportasi kali ini rasanya sangat menyenangkan karena saya dideportasi ke tempat tinggal saya, tempat yang selalu saya inginkan. Saya membaca tulisan di halaman pertama paspor saya. “Paspor/ dokumen perjalanan ini harus dibawa hati-hati oleh pembawanya agar tidak digunakan oleh orang yang tidak berwenang. Paspor/dokumen perjalanan ini, selama masih valid, memungkinkan pembawanya untuk kembali dari luar negeri dan masuk ke wilayah Otoritas Palestina.”* (Electronic Intifada | MR/Sahabat Al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Zionis Kategorikan Warga Palestina di Al-Quds Sebagai ‘NonPenduduk’
Kampus Swasta Zionis Larang Dosen Bicara dalam Bahasa Arab »