Pos Pemeriksaan Qalandia, ‘Mimpi Buruk’ yang Harus Dilewati Warga Palestina Setiap Hari
6 June 2015, 17:11.
LONDON, Sabtu (Middle East Monitor): Pos pemeriksaan militer Qalandia terkenal memiliki reputasi buruk. Pos pemeriksaan yang dibangun tentara Zionis untuk memisahkan Tepi Barat dari Al-Quds terjajah telah membuat ribuan warga Palestina menderita setiap harinya selama lebih dari 14 tahun.
Ribuan warga Palestina dari Al-Quds terjajah dan Tepi Barat harus melintasi pembatas itu setiap harinya jika hendak bekerja, sekolah atau mengunjungi keluarga mereka. Namun, penduduk Tepi Barat harus memperoleh izin khusus yang dikeluarkan tentara Zionis untuk bisa memasuki Al-Quds.
Tembok Pemisah Zionis telah mengisolasi sejumlah kawasan yang semula merupakan bagian dari Al-Quds. Tentu saja ini meningkatkan penderitaan warga Palestina karena mereka harus melewati pos pemeriksaan jika ingin melakukan perjalanan.
Kantor berita Anadolu melakukan wawancara dengan beberapa warga Palestina yang tengah menunggu di luar pos pemeriksaan. Masing-masing memiliki kisah berbeda yang mengungkap penghinaan, hal menyedihkan dan memalukan yang harus mereka hadapi dalam perjalanan mereka menuju Al-Quds setiap harinya.
Haniyeh Al-Jobei (57), seorang nenek dari Al-Quds
“Saya telah menunggu selama hampir tiga jam bersama cucu lelaki saya ini (7). Tentara Zionis mencegah kami untuk melintas dengan dalih saya tidak memiliki dokumen resmi untuk membuktikan hubungan saya dengan cucu saya ini,” jelas Al-Jobei. Ia mengatakan bahwa usai mengunjungi putrinya di kota dekat Ramallah ia kembali dengan cucu lelakinya, namun dilarang masuk. “Baik putri saya maupun suaminya tak ada di rumah, sekarang saya harus menunggu. Hanya Tuhan yang tahu berapa lama hingga mereka kembali dan membawa dokumen sehingga kami bisa lewat.”
Hamza (25) dari Nablus
“Saya mengucapkan perpisahan pada tunangan saya yang berasal dari Al-Quds. Karena saya penduduk Tepi Barat, saya tidak bisa masuk Al-Quds,” jelas Hamza sambil memegang bunga yang diberikan tunangannya. “Kami bertemu di Ramallah atau terkadang dia datang mengunjungi saya di Nablus. Saya berharap bisa menyelenggarakan pesta pertunangan di Al-Quds dan merayakan pernikahan di kota suci, namun pos pemeriksaan militer dan Tembok Apartheid mengakhiri impian kami. Akan tetapi, mereka tidak akan menghancurkan harapan kami. Kami akan saling mencintai, bahagia dan menikah, serta penjajahan ini akan berakhir suatu hari nanti,” katanya.
Intisar Wazani (58) dari kamp pengungsi Qalandia
“Kami mengalami berbagai kesulitan hanya untuk melintas beberapa meter menuju kota Al-Quds terjajah. Kami bisa lewat atau tidak tergantung pada suasana hati (mood) para tentara Zionis. Mereka bisa saja menahan kami selama beberapa jam tanpa alasan. Para serdadu terlihat menikmati penderitaan kami.” Wazani mengatakan, alasan ia mengunjungi Al-Quds adalah untuk shalat di Masjid al-Aqsha.
Sultan Al-Dmeiri, murid kelas delapan di Sekolah Beit Hanina
Al-Dmeiri dalam perjalanan ke rumah sepulang sekolah. “Saya setiap hari melewati pemeriksaan keamanan. Para tentara menggeledah tas sekolah dan memeriksa saya secara menyeluruh.” Al-Dmeiri, yang tinggal di kawasan Al-Matar di sebelah Tembok Pemisah Zionis, mengatakan, “Para serdadu melecehkan saya setiap hari dan menyebut saya pembohong, serta mengatakan saya memegang dokumen palsu. Mereka memanggil ayah saya setiap minggu dengan dalih mengesahkan identitas saya. Saya terlambat datang ke sekolah setiap hari, dan ketika saya pulang, saya sangat lelah. Sebelum Tembok Pemisah dibangun hanya butuh 15 menit untuk sampai ke sekolah, sekarang butuh waktu 1,5 jam.”
Hanan Ghaith (8)
Ghaith pulang dari sekolah bersama kakak lelakinya. Ia mengatakan pada Anadolu, “Kami di sini menderita. Para serdadu menggeledah kami dan membuat kami terlambat setiap hari.” *(Middle East Monitor | Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.