Tak Ada Keadilan Bagi Pemuda Gaza yang Ditembak Sniper di Syuja’iyah

23 July 2016, 21:22.
Salim Shamaly, mengenakan kemeja hijau, memimpin sebuah kelompok relawan di Shujaiya tak lama sebelum ia ditembak berulang kali oleh para sniper ‘Israel’ pada 20 Juli 2014. Foto: Joe Catron

Salim Shamaly, mengenakan kaos hijau, memimpin sebuah kelompok relawan di Syuja’iyah tak lama sebelum ia ditembak berulang kali oleh para sniper ‘Israel’ pada 20 Juli 2014. Foto: Joe Catron

PALESTINA, Sabtu (Electronic Intifada): Dua tahun lalu, ketika ‘Israel’ menyerang Gaza pada 2014, seorang pemuda tak bersenjata tewas oleh penembak-penembak jitu penjajah Zionis. Pembunuhan tersebut terekam kamera, diunduh ke Youtube dan tersebar luas. Pemuda itu bernama Salim Shamaly.

Salim (23) sedang membantu petugas medis dan para relawan yang mencari orang-orang yang terluka –termasuk yang ia pikir mungkin saja para anggota keluarganya sendiri– dan terperangkap di reruntuhan rumah-rumah mereka setelah dibombardir pagi-pagi buta oleh militer ‘Israel’ di kawasan Syuja’iyah Kota Gaza.

Bahkan di tengah-tengah kematian dan kerusakan parah yang disebabkan serangan ‘Israel’ pada 2014 itu, kisah Salim menarik perhatian, menjadi berita utama media internasional dan memunculkan pertanyaan mengenai kejahatan perang ‘Israel’. Namun dua tahun kemudian, keadilan belum berpihak pada Salim – atau tentu saja bagi sekitar 2.251 warga Palestina, termasuk 551 anak-anak, yang dibunuh ‘Israel’ di Gaza, berdasarkan penyelidikan komisi pengawas independen PBB.

Kematian Salim memicu turunnya kesehatan ayahnya, Khalil (61). Bisnis kecilnya –menjual produk-produk kesehatan bayi– menurun, asma dan kondisi jantungnya pun memburuk. Rumah keluarga tersebut sebagian rusak karena serangan ‘Israel’ dan Khalil kehilangan seluruh asetnya yang diperkirakan bernilai sekitar $30.000, hasil tabungan seumur hidupnya.

Dicintai Semua Orang
Salim –dalam bahasa Arab bermakna selamat dan suara– lahir di kawasan padat penduduk, Syuja’iyah, pada 1992. Ia bayi kalem yang lahir di hari yang bergejolak, orangtuanya mengingat itu, dan ia hanya menangis sebentar. Sebagai putra pertama setelah enam putri dan 13 tahun masa pernikahan, ia merupakan anugerah yang tak terkira. Ia akan selalu menjadi anak lelaki tertua, bahkan ketika ia pada akhirnya hanyalah satu dari 12 saudara kandung. Ayahnya akhirnya akan menjadi Abu Salim dan memiliki anak lelaki yang akan mengambilalih tokonya, serta melanjutkan nama keluarga.

Salim Shamaly. Foto: Milik keluarga Shamaly

Salim Shamaly. Foto: Milik keluarga Shamaly/Electronic Intifada

“Saya selalu memanggilnya dengan nama kesayangan, Salouma, hingga ia berusia 22. Ia merupakan jantung hati saya; ia anak yang patuh. Semoga Allah memberkahi ruhnya; ia orang yang penuh kepedulian dan rasa hormat,” kata ibunya Amina (45). Dan seperti halnya ibu-ibu yang lain, Amina sangat menyayangi putranya. Ia bercerita mengenai kecintaan Salim pada sepakbola dan makanan, makanan favoritnya adalah maqlouba. Ia menggambarkan Salim sebagai anak yang penuh perhatian dan baik budi yang akan selalu bertanya pada ibunya apakah ibunya membutuhkan sesuatu sebelum ia meninggalkan rumah. “Ia dicintai semua orang. Saya bahkan takut terlalu banyak memperoleh cinta akan membuatnya manja,” kata Umm Salim.

Ayahnya juga, memberikan Salim perlakuan khusus. Tak lama setelah anak itu bisa mengerjakan matematika dasar dan berbicara pada konsumen, Khalil membawanya untuk membantu di toko saat liburan dan sepulang sekolah. Ketika Salim lulus SMA, ia masuk perguruan tinggi setempat dan mempelajari akuntansi sehingga ia bisa membantu bisnis ayahnya.

Namun, ketika adik lelaki Salim tamat SMA setahun kemudian dan ingin berkuliah, Salim memutuskan cuti kuliah dan memberi adiknya kesempatan untuk berkuliah, serta membayari uang kuliah adiknya.

Pada usia 22, Salim menyelesaikan program kuliah dua tahun dalam setahun dan memulai bisnisnya: menjual pakaian anak-anak. Dalam setahun, pemuda itu berhasil menggandakan tabungannya dari $2.000 menjadi $4.000. Dalam kondisi ekonomi seperti Gaza, itu bisa dibilang sukses.

Kata ibunya, Salim memutuskan untuk mulai membina rumah tangga dan bahkan telah menyebutkan nama wanita yang akan ia nikahi. Nama yang hanya ia ungkapkan pada ibunya. Hingga kini, Umm Salim tidak memberitahu siapapun siapa wanita itu. Umm Salim tidak akan pernah melihat anaknya menikah. “’Israel’ merampas Salim dari kami. Dan mereka merampas anak-anak yang ingin Salim miliki. Hal itu menghancurkan hati saya,” kata Amina.

Dibunuh dengan Kejam
Sebagian besar keluarga besar Salim tinggal di Syuja’iyah. Saat serangan ‘Israel’ atas Gaza, kawasan di sebelah timur Kota Gaza itu menjadi target kekejaman penjajah Zionis. Insiden yang kemudian dikenal dengan pembantaian Syuja’iyah pada 20 Juli 2014 itu menewaskan lebih dari 100 orang, ratusan orang terluka, serta mengakibatkan kerusakan atau kehancuran lebih dari 1.800 rumah dan gedung.

Bersama dengan setidaknya 100.000 warga Palestina di kawasan tersebut –salah satu populasi terpadat di Jalur Gaza, bahkan salah satu kawasan dengan populasi terpadat di dunia– keluarga Shamaly diperingatkan untuk mengungsi dari rumah-rumah mereka sebelum serangan terjadi. Namun sejumlah penduduk terjebak di rumah-rumah mereka atau hilang ketika militer ‘Israel’ memulai invasi darat pada malam 19 Juli.

Awalnya perlawanan warga Palestina terhadap invasi itu mengakibatkan tewasnya 12 serdadu Zionis. Lalu, penjajah Zionis membalasnya dengan biadab. Selama lebih dari enam jam, sejak pagi 20 Juli dan hingga menjelang siang, militer Zionis menjatuhkan segalanya ke kawasan tersebut, meluluhlantakkan Syuja’iyah dengan senjata berat, mortir dan tembakan roket dari udara. Kebanyakan korban tewas akibat meriam. Akan tetapi, pembunuhan tak berakhir di situ. Sekitar pukul 13:30 siang, militer ‘Israel’ mengumumkan dua jam “gencatan senjata kemanusiaan.” Salim bergabung dengan sekelompok petugas medis dan para relawan yang menuju Syuja’iyah untuk mencari kerabatnya yang hilang dan warga yang terluka lainnya.

Dalam video insiden tersebut terlihat Salim sedang membantu orang-orang yang terluka dan mencari anggota keluarganya. Kemudian tiba-tiba, ketika relawan yang merekam dirinya itu berlari ke arah reruntuhan, terdengar bunyi keras tembakan. Setelah momen membingungkan sesaat, Salim terdengar berupaya memahami situasi yang terjadi, lalu tembakan berikutnya terdengar. Di frame berikutnya, Salim yang masih hidup tergeletak, jelas ia terluka. Kemudian terdengar tembakan lagi. Dan lagi…

Menurut Joe Catron, seorang relawan Amerika Serikat dan wartawan yang menyaksikan tewasnya Salim, “Itu seharusnya cukup jelas (bagi para penembak jitu) bahwa Salim tidak melakukan apapun.” Catron melanjutkan ceritanya pada Electronic Intifada, “Tembakan pertama tidak mengenai siapapun, tapi memecah kelompok kami menjadi dua. Kemudian ketika Salim berupaya memimpin kelompoknya kembali melintasi jalan kecil, tiga tembakan lagi menghantamnya dan menewaskannya.”

“Itu merupakan masa gencatan senjata. Dan Salim sedang membantu petugas medis mengobati kerabat yang terluka,” kata kakak ipar Salim, Samir Abu Aser, kepada Electronic Intifada.

‘Israel’ melarang Palang Merah mengobati mereka yang terluka atau menangani jenazah-jenazah, kata Abu Aser. Dan selama dua hari, Salim hilang. Ketika itu, tak ada seorang pun dalam keluarga yang mengetahui bahwa orang yang ada di video yang telah tersebar luas itu Salim. Keluarganya berkonsultasi dengan kerabat mereka. Mereka mengecek rumah sakit al-Shifa Gaza. “Kami telah melihat ratusan wajah orang yang tewas dan terluka oleh ‘Israel’ untuk menemukan Salim. Dia tak terlihat di mana pun,” kata Abu Aser.

Menuntut Keadilan
Abu Aserlah orang yang kali pertama mengenali Salim dalam video tersebut. Hal yang paling sulit, katanya, memberitahu orangtuanya. Mereka hendak menempuh perjalanan penuh bahaya dengan kembali ke Syuja’iyah untuk membawa Salim. Akan tetapi, kerabat mereka tidak mengizinkannya. Karena, kembali ke Shujaiya berarti menghadapi maut. Setelah enam hari dalam penantian dan berharap Salim (entah bagaimana) masih hidup, mereka berhasil mengambil sebagian jasadnya.

Salim sangat tidak politis, kata keluarganya. Ia selalu peduli terhadap permasalahan keluarga atau membantu urusan kerabatnya. Satu-satunya masalah Salim, kata ibunya, ia selalu ingin menolong orang lain. Ayah Salim, Khalil, merasa ini tidak adil. Tak ada penyelidikan kejahatan perang atas kematian putranya, meskipun PBB menyebut tewasnya Salim sebagai tindakan “pembunuhan yang disengaja.”

Perihal pembunuhan terhadap Salim, hasil penyelidikan komisi pengawas PBB menyimpulkan, “menunjukkan bahwa seorang warga sipil menjadi sasaran pelanggaran prinsip pembedaan. Kenyataan bahwa (Salim) ditembak dua kali ketika tergeletak penuh luka di tanah mengindikasikan niat membunuh orang yang dilindungi (baik karena status warga sipilnya atau kenyataan bahwa ia cedera) dan merupakan aksi pembunuhan yang disengaja.”

Tak lama setelah keluarga mendapatkan kembali jenazah Salim, Khalil ingat, ia ditanyai oleh seorang wartawan Barat mengenai apa yang ia inginkan, “Balas dendam, kata saya ketika itu.” Khalil terdiam sebentar. “Namun kini saya menuntut keadilan atas darah anak saya. Saya menuntut keadilan atas rasa sakit dan penderitaan yang kami alami.”

Khalil mulai menyebut angka satu demi satu dengan jari-jarinya.

“’Israel’ melakukan banyak kejahatan, bukan hanya satu: mereka membunuh Salim saat masa gencatan senjata. Ia tidak bersenjata dan sedang menolong orang lain. Mereka menembaknya, dan kemudian menembaknya lagi ketika ia tidak berdaya tergeletak di tanah. Para serdadu melarang petugas medis membawanya ke rumah sakit, ia dibiarkan kehabisan darah dan jasadnya ditinggalkan di ruang terbuka agar dimakan anjing-anjing dan tikus-tikus yang berkeliaran.”

Ayah yang marah dan berduka itu berhenti bicara sejenak, lalu melanjutkan, “Saya ingin organisasi-organisasi internasional menuntut ‘Israel’ dan membawa para pembunuh itu ke pengadilan.” * (Electronic Intifada | Sahabat Al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penduduk Gaza Mulai Nikmati Bantuan Kemanusiaan Turki
Penjajah Zionis Mulai Bangun Pos Serdadu di Pintu Masuk Masjid Ibrahimi »