Para Muhajirin Rohingnya Berjuang Mencari Keadilan dari Balik Penjara India
19 October 2023, 14:18.

Dua anak Rohingya menunjukkan kartu identitas orang tua mereka yang ditahan secara zalim, yang diterbitkan oleh UNHCR. Foto: Umer Asif
INDIA (Fair Planet) – Di dalam tenda terpal yang ditopang oleh tiang bambu, Mohammed Rafiq (37 tahun), berada di tengah kerumunan muhajirin Rohingya, yang masing-masing memegang kartu identitas yang dikeluarkan oleh UNHCR.
Ada yang memegang kartu orang tuanya, ada pula yang memegang kartu milik anaknya. Sementara itu, Rafiq membawa kartu milik kakaknya.
Pada tahun 2012, Rafiq dan kakaknya, Ibrahim, melarikan diri dari genosida berkepanjangan oleh militer Burma di negara asal mereka, untuk mencari perlindungan di Jammu, sebuah kota yang terletak di India.
Satu-satunya tujuan adalah untuk mendapatkan masa depan yang lebih aman dan menjanjikan. Namun, satu dekade kemudian, perjalanan mereka berubah suram.
Maret 2021, sebagai bagian dari tindakan keras rezim India terhadap muhajirin Rohingya, Ibrahim beserta istrinya dan ratusan warga Rohingya lainnya ditangkap dan ditahan di pusat penahanan yang terletak di Distrik Kathua di Jammu.
“Pada hari penangkapan mereka, [saudara laki-laki saya dan istrinya] diminta datang ke kantor polisi untuk tes Covid,” kata Rafiq, “itu adalah jebakan–tes Covid abal-abal hanya untuk membawa mereka ke Hiranagar.”
India adalah rumah bagi sekira 40.000 muhajirin Rohingya. Sedikitnya 20.000 di antaranya terdaftar di UNHCR, menurut Human Rights Watch (HRW).
Ibrahim dan istrinya memiliki kartu UNHCR yang ditujukan untuk membantu “mencegah pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan dan deportasi”.
Namun, mereka tetap ditahan karena India tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 dan tidak mengakui kartu identitas UNHCR.
Sekira 7.000 muhajirin Rohingya telah menetap di sekitar Jammu, di mana hal itu membuat khawatir pihak berwenang Jammu dan Kashmir.
Lalu terjadilah peristiwa penahanan paksa sekira 270 muhajirin, yang 144 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka telah dikurung selama lebih dari dua tahun dan masih belum ada kepastian akan masa depan mereka.
Mulai awal Mei, para muhajirin di tahanan telah melancarkan beberapa protes menuntut pembebasan mereka.
Langkah mereka didorong oleh kekhawatiran bahwa pihak berwenang India akan mendeportasi mereka kembali ke Myanmar, situasi yang menimpa sebagian muhajirin Rohingya lainnya.
Berusia 5 dan 13 tahun, dua putri Ibrahim kini tinggal bersama Rafiq. Keduanya terus-menerus menangis dan sangat ingin bertemu kembali dengan orang tua mereka, sebut Rafiq.
Mereka termasuk di antara 21 anak di kamp pengungsian Rohingya yang salah satu atau kedua orang tuanya ditahan oleh India.
“Mereka merindukan ibu mereka,” kata istri Rafiq, Noor Haba, “mereka terakhir kali diizinkan [oleh otoritas pusat penampungan] untuk menemui orang tua mereka pada bulan Juni. Salah satu putri mereka baru berusia dua setengah tahun ketika mereka ditangkap, dan dia sekarang sudah berusia lima tahun.”
Dua tahun lalu, Rafiq mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa bekerja sehingga memperburuk kondisi keuangan mereka yang sudah memprihatinkan.
Selain itu, sejak Ibrahim dan istrinya ditangkap, Rafiq dan keluarganya terus-menerus hidup dalam ketakutan bahwa giliran mereka bisa datang sewaktu-waktu.
“Kami datang ke sini bukan untuk menetap. Kami akan kembali segera setelah kondisi di tanah air kami membaik,” ujar Rafiq.
Sementara itu, Refugees International, sebuah organisasi kemanusiaan independen, menyatakan, “Tidak ada keraguan bahwa India gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan konstitusinya sendiri dan kewajiban internasional dalam perlakuannya terhadap pengungsi Rohingya.”
Daniel Sullivan, Direktur Refugees International untuk Afrika, Asia, dan Timur Tengah menegaskan, “Bahkan berdasarkan undang-undang imigrasi, ada batasan berapa lama seseorang bisa ditahan. Dan mereka [muhajirin Rohingya] sudah ditahan lebih lama dari [batasan] itu.” (Fair Planet)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
