Akankah Kesepakatan Pertukaran Tawanan dalam Perang Kali Ini Terwujud?

21 October 2023, 14:01.

Seorang anak laki-laki Palestina memegang poster yang menyerukan pembebasan seorang tawanan di Al-Khalil pada Mei 2023. Foto: AFP/Hazem Bader

(Middle East Eye | Al Jazeera) –Ribuan warga Palestina yang berada di penjara-penjara ‘Israel’ dan pembebasan mereka telah menjadi tuntutan utama kelompok bersenjata Palestina, serta aktivis hak asasi manusia.

Salah satu tuntutan utama Hamas untuk pembebasan para tawanan ‘Israel’ yang ditahan di Gaza adalah pembebasan ribuan warga Palestina yang disekap di penjara-penjara ‘Israel’.

Sebelum serangan mendadak yang dilakukan oleh para pejuang Palestina di ‘Israel’ selatan pada tanggal 7 Oktober, terdapat setidaknya 5.300 warga Palestina di penjara-penjara ‘Israel’.

Sejak Operasi Taufan Al-Aqsha, setidaknya 870 warga Palestina lainnya telah ditangkap pada saat berita ini dimuat (19/10/2023), menurut sumber-sumber Palestina.

Para tawanan ini berada di 23 penjara dan pusat penahanan di wilayah Palestina terjajah dan di wilayah yang sekarang disebut ‘Israel’.

Di antara mereka terdapat 40 tawanan wanita, yang ditahan oleh ‘Israel’ di penjara Damon, dan 170 anak-anak lainnya, yang ditahan di penjara-penjara termasuk Ofer, Damon, dan Megiddo.

Vonis tidak masuk akal

Dalam beberapa kasus, para tawanan telah ditahan oleh ‘Israel’ selama beberapa dekade. Terdapat 22 tawanan Palestina yang ditangkap sebelum penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993.

Nael Barghouti, berusia 66 tahun dan berasal dari Ramallah, adalah tawanan Palestina yang paling lama mendekam di penjara ‘Israel’.

Dituduh menyerang serdadu ‘Israel’ pada tahun 1978, Barghouti menghabiskan 33 tahun di penjara sebelum dibebaskan pada tahun 2011 sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tawanan untuk pembebasan serdadu ‘Israel’ yang ditangkap, Gilad Shalit.

Dia ditangkap kembali pada tahun 2014 dan tetap berada di penjara sejak saat itu.

Hukuman yang lama seperti itu merupakan hal yang lumrah bagi tawanan Palestina, dengan 559 orang dijatuhi hukuman setidaknya satu hukuman seumur hidup.

Hukuman terlama dijatuhkan kepada komandan Hamas Abdullah Barghouti, juga dari Ramallah, yang ditangkap pada tahun 2003 dan dijatuhi 67 hukuman seumur hidup.

Bahkan setelah tawanan mati, ‘Israel’ dapat memilih untuk tetap menahan jenazahnya.

Menurut kelompok hak asasi manusia Palestina Addameer, 237 warga Palestina telah tewas di penjara-penjara ‘Israel’ sejak tahun 1967.

Dalam 11 kasus, ‘Israel’ menolak menyerahkan jenazah tawanan untuk dimakamkan.

Para aktivis dan keluarga Palestina juga mengatakan bahwa kondisi pemenjaraan menyebabkan penurunan harapan hidup.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan, kelalaian di penjara telah menyebabkan 700 kasus penyakit, termasuk 24 kasus kanker.

Keluarga Palestina menuntut pembebasan kerabat mereka selama demonstrasi di Ramallah pada 17 Oktober. Foto: AFP/Jaafar Ashtiyeh 

Menurut kelompok hak asasi manusia ‘Israel’ B’Tselem, ada 1.131 warga Palestina yang dijatuhi penahanan administratif, termasuk 18 anak berusia antara 16 dan 18 tahun.

Menurut Addameer: “Penahanan administratif adalah prosedur yang memungkinkan militer ‘Israel’ menahan tawanan tanpa batas waktu berdasarkan informasi rahasia tanpa menuntut atau mengizinkan mereka diadili.”

Masa penahanan tersebut berlangsung selama enam bulan dan dapat diperpanjang tanpa batas waktu.

Makanan kaleng, sel isolasi, penggerebekan di sel

Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Adalah, tawanan Palestina, yang digolongkan ‘Israel’ sebagai personel keamanan, hidup dalam kondisi yang lebih sulit dibandingkan tawanan ‘Israel’ pada umumnya.

Hak mereka untuk berbicara dengan keluarga mereka melalui telepon tidak diberikan, kunjungan mereka dibatasi hanya pada kerabat inti, bahkan kunjungan ini dapat dibatalkan oleh pihak berwenang.

Para pengelola penjara ‘Israel’ menempatkan banyak tawanan di sel isolasi tanpa alasan yang jelas untuk jangka waktu yang bisa berlangsung bertahun-tahun.

Kelompok hak asasi manusia juga mengatakan bahwa para tawanan tidak diberikan makanan yang cukup dan malah menerima makanan kaleng yang tidak memiliki nilai gizi.

Setelah politisi sayap kanan Itamar Ben-Gvir menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional ‘Israel’, ia mulai mengeluarkan keputusan yang semakin memperburuk kondisi para tawanan, termasuk melarang mereka mendapatkan air panas dan mencegah pemberian roti kepada mereka.

Ia juga menuntut hukuman mati dijatuhkan kepada mereka.

Ben-Gvir juga mencegah penerapan undang-undang pembebasan dini, dan memerintahkan otoritas penjara untuk mengintensifkan penggerebekan di sel-sel para tawanan dan pemeriksaan acak.

Penjajah Zionis juga mengeluarkan perintah yang melarang tawanan bertemu dengan pengacara hingga 60 hari, terutama selama masa interogasi.

Para tawanan juga menderita karena kurangnya pakaian dan selimut yang memadai pada musim dingin, dan kurangnya AC pada musim panas.

Merespons kezaliman itu, para tawanan Palestina melakukan protes, termasuk dengan mogok makan massal. Sejak tahun 1967, para penghuni penjara ‘Israel’ telah melakukan mogok makan sebanyak puluhan kali, terutama pada tahun 1970, 1976, 1977, 1980, 1987, 1992, 2012, 2014, dan 2017.

Itu belum termasuk ratusan tawanan yang melakukan aksi mogok makan secara individu, yang berlangsung selama beberapa bulan untuk memprotes penahanan administratif.

Pada bulan Mei, tawanan Palestina Khader Adnan meninggal akibat mogok makan karena memprotes kondisi di penjara.

Kesepakatan pertukaran tawanan

Kesepakatan pertukaran dianggap sebagai salah satu cara utama untuk membebaskan para tawanan Palestina dari penjara-penjara ‘Israel’.

Namun, sejak kematian Shalit, penjajah Zionis dan kelompok-kelompok Palestina tidak dapat mencapai kesepakatan. Meski begitu, sejarah menunjukkan sejumlah contoh di mana kedua belah pihak sepakat untuk melakukan pertukaran.

Beberapa contoh penting tercantum di bawah ini:

Pada tahun 1968, 12 penumpang dan awak pesawat ‘Israel’ El Al yang dibajak ditukar dengan 37 tawanan Palestina.

Pada tahun 1971, gerakan Fatah menukar serdadu ‘Israel’ yang ditangkap, Shmuel Rosenwasser, dengan salah satu anggotanya yang dipenjara, Mahmoud Bakr Hijazi.

Pada tahun 1983, ‘Israel’ membebaskan lebih dari 4.500 tawanan dari kamp penjara Ansar di Lebanon selatan ditambah sejumlah tawanan lainnya di penjara-penjara ‘Israel’ dengan imbalan pembebasan enam serdadu yang ditangkap.

Pada tahun 1985, berdasarkan perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Jibril, ‘Israel’ membebaskan lebih dari 1.150 tawanan dengan imbalan tiga serdadu ‘Israel’.

Pada tahun 2009, penjajah membebaskan 20 tawanan wanita Palestina dari penjara di Tepi Barat terjajah dan Gaza yang diblokade, dengan imbalan rekaman bukti hidup berdurasi dua menit yang menampilkan serdadu ‘Israel’ Gilad Shalit, yang ditawan oleh Hamas di Gaza sejak tahun 2006.

Kesepakatan pertukaran disepakati pada tahun 2011 antara Hamas dan ‘Israel’. Shalit dibebaskan dengan imbalan 1.027 tawanan Palestina, termasuk 994 pria dan 33 wanita.

Israa Jaabis

Salah satu tawanan yang diharapkan kebebasannya melalui pertukaran tawanan adalah Israa Jaabis. Ibu dari seorang putra bernama Motasem asal Baitul Maqdis yang tersiksa di Hasharon, satu-satunya penjara ‘Israel’ untuk para tawanan wanita Palestina.

 Israa Jaabis divonis 11 tahun penjara, menderita akibat luka bakar di sekujur tubuhnya dan tidak dirawat dengan layak di dalam penjara ‘Israel’. Foto: Pusat Informasi Wadi Hilweh

Ia didakwa penjajah Zionis atas percobaan pembunuhan setelah mobilnya meledak di sebuah pos pemeriksaan.  

Ia menderita akibat luka bakar tingkat pertama dan ketiga pada 60 persen tubuhnya. Delapan jarinya diamputasi karena meleleh akibat terbakar. Telinga kanannya hampir tidak ada dan meradang terus-menerus. Hidungnya memiliki lubang menganga di satu sisi; ia bernapas melalui mulutnya. Ia juga menderita akibat gangguan saraf, syok, dan krisis psikologi yang sangat parah.    

Pada 10 Oktober 2015, Jaabis sedang membawa furnitur dengan mobilnya menuju rumahnya di kawasan Jabal Al-Mukaber di Baitul Maqdis, karena ia sedang proses pindah rumah. Namun, sekitar 500 meter dari pos pemeriksaan al-Zayyim di Baitul Maqdis, ia kehilangan kontrol atas kendaraannya. 

“Versi penjajah Zionis adalah ia berupaya untuk meledakkan mobilnya di pos pemeriksaan, tetapi bagaimana mungkin itu terjadi ketika jendela mobil tersebut seluruhnya tetap utuh? Bagian luar mobil bahkan tidak berubah warna. Dan jika ada ledakan, Israa akan hancur berkeping-keping,” ungkap Mona Jaabis, saudara perempuan Israa Jaabis.

Yang terjadi pada mobil tersebut adalah kesalahan teknis, kata Mona. “Ada kontak listrik yang memengaruhi kantong udara di roda kemudi, dan bahan kimia di dalam kantong udara mengakibatkan kebakaran,” katanya.

Kelompok hak asasi tawanan Palestina Addameer menyatakan, kerusakan tersebut mengakibatkan tabung gas meledak.

“Seorang serdadu ‘Israel’ mendekati Jaabis setelah ia meninggalkan mobilnya yang terbakar, berteriak dan mengarahkan senapan kepadanya, lalu menangkapnya,” kata Addameer.

Setelah terjadinya insiden, mobil Jaabis sama sekali tidak diperiksa oleh otoritas ‘Israel’.

Pada 2017, Jaabis divonis 11 tahun penjara oleh pengadilan pusat di Baitul Maqdis atas dakwaan percobaan pembunuhan.

“Ia tidak mampu untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, menggunakan kamar mandi, atau bahkan mengganti bajunya,” ungkap Addameer. “Meski kondisi Jaabis membutuhkan perawatan medis dan mental yang ekstensif, otoritas ‘Israel’ sepenuhnya mengabaikan kebutuhan mendesaknya.” (Middle East Eye | Al Jazeera)

Foto: Palinfo

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Perjalanan Sulit Ali dan Amina: Cinta Bersemi di Pusaran Krisis, Penuh Keterbatasan Dampingi Buah Hati
43 Syuhada Termasuk Para Ibu yang Masih Memeluk Anak Mereka Dimakamkan di Kuburan Massal Gaza »