Perjalanan Sulit Ali dan Amina: Cinta Bersemi di Pusaran Krisis, Penuh Keterbatasan Dampingi Buah Hati

20 October 2023, 20:21.

Anak-anak Ali dan Amina. Foto: Zaynab Mayladan/People in Need

SURIAH (People in Need) – Di jantung Suriah yang dilanda perang, tahun 2015, serangan rezim dan sekutunya menghancurkan sebuah rumah, merenggut nyawa seorang suami dan meninggalkan seorang istri yang terluka.  

Di tengah kekacauan tersebut, anak-anak mereka sedang terjebak di bawah puing-puing, tanpa suara, dan tak ada orang yang menyadari.  

Itu adalah momen yang begitu penting bagi hidup mereka, dan juga bagi seorang pria penuh kasih bernama Ali.  

Ali yang kesehariannya mencari nafkah sebagai pedagang mobil, pada saat itu juga terkena serangan. Rumahnya hancur hingga menjadi reruntuhan.  

“Mobil saya terbakar, rumah saya hancur, dan istri saya kehilangan nyawanya,” kenang Ali.  

“114 pecahan peluru menyebar di sekujur tubuh saya ketika saya mencoba melindungi anak-anak saya.” 

Di tengah musibah seperti itu, Ali yang sedang membersihkan puing reruntuhan, tiba-tiba mendengar tangisan bayi.  

“Saya menemukan empat anak, yang tertua berusia lima tahun dan yang termuda baru berusia dua minggu,” ungkapnya.  

Tanpa ragu-ragu, Ali merawat mereka, bertekad untuk membesarkan mereka sampai orang tua mereka muncul, bahkan ketika ada keberatan dari komunitasnya tentang membesarkan anak-anak yang bukan anaknya secara biologis.  

Pada tahun 2016, ia menikah lagi dan memiliki dua anak perempuan dengan istri barunya. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama.  

Setelah empat tahun berlalu, Ali tetap membesarkan kelima anaknya dan empat anak yang ia asuh. Dia melanjutkan pencariannya yang tak kenal lelah untuk menemukan orang tua anak-anak tersebut, dengan mengunggah foto-foto mereka di media sosial. 

Di tempat lain, seorang muslimah sedang mendapati cobaannya. 

Pada tahun 2015, Amina* sedang duduk bersama suami dan anak-anaknya ketika sebuah bom menghantam kediamannya, menghancurkan rumah tersebut, dan merenggut nyawa suaminya. Amina yang terluka parah dilarikan ke rumah sakit.  

“Yang saya pikirkan hanyalah anak-anak saya. Di mana mereka sekarang? Apakah mereka masih hidup?” dia menambahkan.  

“Saat saya meninggalkan rumah sakit, saya kembali ke reruntuhan rumah kami dengan keyakinan teguh bahwa anak-anak saya masih hidup, tetapi tidak ada jejak yang ditemukan.”  

“Yang selamat sudah dikumpulkan dengan keluarganya, sedangkan yang meninggal telah dikuburkan bersama,” begitulah yang didengar Amina setiap kali ia menanyakan keberadaan anak-anaknya.  

Harapan yang tadinya menyala makin lama kian memudar ketika keluarga dan teman-temannya memintanya untuk menyerah dalam mencari mereka.  

“Saya mempunyai perasaan yang kuat bahwa mereka masih hidup, saya tidak menyerah dalam mencari anak-anak saya, saya menolak untuk percaya bahwa mereka sudah mati!”  

Waktu berlalu hingga sampai pada tahun 2019 dan Ali masih mencari orang tua anak-anak tersebut.  

“Saya sedang berada di jalan ketika orang asing mendekati saya dan memberi tahu bahwa dia mengenal seorang wanita yang kehilangan anak-anaknya,” kata Ali.  

“Saya bergegas menemui wanita yang membawa foto anak-anak itu. Mungkinkah ini saatnya? Apakah saya akhirnya menemukan ibu mereka?”  

Lalu Amina melanjutkan, “Ketika saya melihat foto-foto itu, saya langsung mengenali putra sulung saya. Mereka berusia 5 dan 3 tahun saat terakhir kali saya melihatnya. Mereka dibawa kepada saya keesokan harinya.”  

Dua anak laki-laki segera mengenali ibu mereka, tetapi anak-anak perempuan yang nomor tiga dan empat tidaklah demikian, karena mereka masih kecil pada saat mereka terpisah.

“Saya tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Haruskah saya menangis atau tertawa? Saya sangat terharu. Momen pertemuan kami langsung menghapus empat tahun saya jauh dari mereka,” jelasnya.  

Namun, timbul perasaan yang menggelayuti Ali. 

“Saya tidak bisa tidur pada malam hari selama sebulan penuh. Menjauh dari mereka sungguh tak tertahankan; saya telah membesarkan mereka selama empat tahun. Mereka bahkan memanggilku ‘Baba’!” kata Ali.  

Di sisi lain, “Kedua putri bungsu saya selalu menangis, menanyakan ‘Baba’ mereka, hanya dia yang mereka kenal dan saya adalah orang asing (di mata mereka). Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Amina.  

“Saya tidak tahan lagi berpisah dengan mereka,” ungkap Ali.  

Kemudian, “Dia melamar,” ucap Amina sambil tersenyum.  

“Sekarang, kami semua tinggal bersama dan dikaruniai seorang putri lagi,” tambahnya. 

“Istrinya meninggal, dan saya kehilangan suami saya, namun krisis ini pada akhirnya mempertemukan kami,” tutupnya. 

Lalu, apakah cerita berakhir dengan mereka semua hidup bahagia? Meski terdengar seperti dongeng, kenyataannya hidup mereka tidak berhenti di momen bahagia itu. 

“Hal terbesar yang hilang dari perang ini adalah rasa aman dan keselamatan. Trauma akan kehancuran selalu menghantui kami,” ungkap Ali.  

Sebelum mendapat bantuan kemanusiaan, ia mengatakan, “Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan. Salah satu putri saya menderita diabetes dan hepatitis. Saya meminjam uang dari semua tetangga saya untuk membiayai pengobatannya,” ungkap Ali.  

“Kami harus meninggalkan rumah kami sebelumnya karena saya tidak mampu membayar sewa lagi. Kami sekarang terpaksa tinggal di kamar petugas kebersihan.” Itu pun ia tetap khawatir akan digusur lagi.  

“Mencari makanan untuk keluarga seperti berjuang melawan kematian, Anda tidak tahu kapan akan kalah,” kata Ali.  

“Ketika saya mulai menerima voucher makanan, saya mendapatkan kembali harapan.”  

Meningkatnya kemiskinan di Suriah utara seolah memaksa orang tua untuk memilih antara kesejahteraan mental anak-anak mereka atau kelangsungan hidup mereka.  

“Anak-anak saya tidak pernah bersekolah. Mereka ingin belajar membaca dan menulis. Saya ingin mereka menikmati masa kecil mereka. Sayangnya, kami hampir tidak mampu menyediakan makanan, apalagi membelikan mereka buku dan pulpen,” ungkap Amina. 

*nama disamarkan demi keamanan

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Muhajirin Rohingnya di Cox’s Bazar Kian Terhimpit Pembatasan Aktivitas dan Pertikaian Antargeng 
Akankah Kesepakatan Pertukaran Tawanan dalam Perang Kali Ini Terwujud? »