Kisah-kisah yang Kami Tidak Tahu Cara Menceritakannya

4 December 2023, 21:12.

Warga Palestina memeriksa puing-puing di Masjid Khalid bin Walid setelah terkena pengeboman ‘Israel’ di Khan Yunis, Gaza selatan, 9 November 2023. Foto: Mohammed Talatene/dpa via ZUMA Press/APA Images

Oleh: Tareq S. Hajjaj*

Pada siang hari, seluruh keluarga mengabdikan diri pada satu tujuan: mencari makanan dan air.  Di Gaza selatan, mencari barang-barang seperti itu bisa disamakan dengan menambang emas.

Beberapa minggu yang lalu, banyak keluarga yang mengeluh tentang antrean panjang di toko-toko roti—yaitu, menunggu 6 hingga 8 jam untuk mendapatkan sekantong kecil roti. Kini, ketika toko-toko roti tutup karena kekurangan tepung dan bahan bakar, banyak yang terpaksa membuat roti di rumah, dengan menggunakan cara yang tampaknya mustahil.

Para orang tua mengirim anak-anak mereka untuk mencari sampah plastik, karton, atau apa pun yang bisa dibakar untuk menyalakan api—mereka adalah keluarga-keluarga beruntung yang bisa mendapatkan tepung.

Saat malam tiba, semua orang kembali ke tempat perlindungan atau rumah mereka dan membicarakan perang. Percakapan mereka biasanya berkisar seputar kematian, dan terkadang tentang skala kehancuran.

Kemarin, saat saya sedang duduk di halaman depan rumah tempat saya dan keluarga tinggal, kami mendengar suara peluit yang nyaring tepat sebelum sebuah bom dijatuhkan di area sekitar kami.

Seorang pemuda, yang terkejut mendengar suara tersebut, bertanya kepada saya apakah kami punya cukup waktu untuk melarikan diri jika bom diluncurkan ke arah kami.  Pemuda lain menyela: “Saat bom menimpa kita, kita tidak dapat mendengar apa pun. Itu akan membunuh kita, bahkan sebelum kita sempat berpikir untuk lari.”

Percakapan berlanjut. Pembicaraan tentang perang membawa kami untuk menghitung kematian orang-orang yang kami kenal. Seseorang bertanya tentang seseorang, ingin mengetahui kabar tentangnya. Jawabannya: “Dia terbunuh.”

Orang lain bertanya tentang sebuah keluarga di lingkungan yang mengalami pengeboman besar-besaran. Jawabannya: “Mereka terjebak di bawah reruntuhan selama berjam-jam, dan tidak ada yang selamat.” Percakapan yang sama terulang kembali. Kami mulai bertanya-tanya siapa di antara kami yang mungkin bertahan. 

Selama pertemuan ini, kami mendengar cerita-cerita aneh yang sulit kami percayai itu nyata.  Seorang perempuan yang melarikan diri dari utara menceritakan kepada kami kisah tentang putranya yang berusia 29 tahun, Issam Ileywa, yang menikah dan memiliki tiga anak dan berjualan air minum. 

Dia mengatakan putranya tidak ingin pergi ke selatan karena dia ingin terus menyediakan air bagi mereka yang membutuhkannya di bagian utara Kota Gaza. Dia menyuruh pergi istri dan anak-anaknya, tetapi ia tetap tinggal.

Issam akan berkendara melewati lingkungan-lingkungan yang hancur untuk mencari orang-orang yang membutuhkan dan tidak dapat mengakses air, dan juga akan mengantar ke rumah sakit yang dia lewati dalam perjalanannya.

Meskipun keadaan seperti ini sudah lazim bagi para pelaku monopoli untuk mengeksploitasi situasi dan menaikkan harga, ada juga pahlawan yang muncul pada saat-saat seperti ini. Issam tidak mengambil uang sepeser pun dari air yang ia berikan, namun ia menerima donasi untuk mengisi bahan bakar mobilnya agar bisa tetap berjalan.

Ibunya memberi tahu kami bahwa mereka kehilangan kontak dengan Issam selama empat hari dan dia bertanya kepada banyak orang dari daerah mereka di al-Nasr yang berhasil melarikan diri ke selatan apakah mereka melihatnya. Pada hari kelima, seorang laki-laki memberi kabar kepada ibu Issam tentang putranya.

Dia sedang tidur di mobilnya setelah gedung apartemen mereka di al-Nasr diratakan pada awal invasi darat di barat laut Gaza, dan akibatnya, mobil tersebut dibom saat Issam sedang tidur di dalamnya. Tubuhnya hangus seluruhnya ketika mereka membawanya ke rumah sakit.

Kisah perang terus berlanjut. Banjir penderitaan manusia begitu banyak dan luas sehingga kita mungkin perlu waktu seumur hidup untuk mendokumentasikan dan menceritakannya kepada dunia.

Wanita lain bernama Mariam Qannu’ menceritakan kepada kami bahwa dia memiliki seorang putra yang tidak dapat melarikan diri ke selatan bersama mereka dari Kota Gaza, dan bahwa dia bertekad untuk kembali mencari putranya, hidup atau mati. Mariam menceritakan kepada kami bahwa dia mampu mencapai utara pada jam-jam tertentu ketika penjajah mengizinkan jalur terbatas (biasanya ke arah lain).

Ketika dia sampai di lingkungan tempat rumah mereka berada, dia mengatakan kepada kami bahwa dia tidak bisa terus menyaksikan pemandangan di depannya. Mayat-mayat berserakan di jalanan dan trotoar, dan burung-burung gagak melahap daging mereka saat mereka membusuk. Putranya ada di antara mereka. Dia hanya bisa mengenalinya dari celana yang selalu dia kenakan dan ikat pinggang kulitnya yang khas.

Dia mengatakan mayat-mayat itu memiliki tanda-tanda yang tidak biasa dan tanda-tanda digerogoti karena burung gagak memangsa mereka pada siang hari dan hewan-hewan liar pada malam hari ketika tidak ada orang di daerah tersebut. Ini adalah wilayah di mana invasi darat telah mendekat, wilayah yang tidak lagi dapat dijangkau oleh ambulans, dan jenazah-jenazah dibiarkan membusuk.

Mariam menceritakan kepada kami bahwa dia membungkus tubuh putranya dengan selimut dan membawanya sejauh lebih dari satu kilometer berjalan kaki sampai dia dapat menemukan seseorang mengendarai kereta yang ditarik binatang—yang sudah menjadi hal lazim sejak bahan bakar habis. Dia mampu membawa jenazah putranya ke selatan, tempat dia menguburkannya.

Kisah-kisah perang sering kali mengungkap hal-hal yang mengerikan, dan kini mereka juga diselingi dengan hal-hal yang terasa tidak nyata.

Antrean panjang untuk mendapatkan roti dan air tidak lagi menjadi hal yang luar biasa sekarang karena ada daftar tunggu untuk siapa yang diselamatkan dari bawah reruntuhan dan yang mayatnya membusuk dapat diangkat.

Beberapa hari yang lalu, teman dan kolega saya Hani Abu Rizeq mem-posting di Instagram kisah tentang sebuah keluarga yang terkubur di bawah reruntuhan akibat serangan udara ‘Israel’.  Tetangga keluarga tersebut menelepon Pertahanan Sipil, memohon agar mereka datang menyelamatkan keluarga tersebut.

Jawaban dari Pertahanan Sipil adalah ada daftar tunggu rumah-rumah yang hancur dan keluarga-keluarga lain terkubur di bawahnya, dan mereka harus menunggu giliran.

Itu bukan sikap tidak berperasaan, tetapi pernyataan kenyataan yang tidak berdaya. Ada ribuan keluarga yang terjebak di bawah reruntuhan, menunggu giliran mereka untuk diselamatkan. 

Segala sesuatu yang tadinya hidup kini sedang sekarat. Segala sesuatu yang indah di Gaza kini telah rusak—bangunannya, landmark-nya, buminya, dan masyarakatnya. Namun, kenyataan dan skala genosida jauh lebih buruk daripada yang diketahui di dunia.

Di balik kisah-kisah yang terkubur di bawah reruntuhan yang tidak dapat kami jangkau, ada pula kisah-kisah yang belum bisa kami gambarkan dengan kata-kata. Orang-orang yang mengira mereka selamat dari perang sejauh ini, namun hampir tidak dapat mengenali diri mereka sendiri. Orang-orang yang tubuhnya tetap utuh, tetapi tidak memiliki apa pun yang mengingatkan mereka bahwa mereka masih hidup. (Mondoweiss)

*Tareq S. Hajjaj adalah koresponden Mondoweiss Gaza, dan anggota Persatuan Penulis Palestina. Ia belajar Sastra Inggris di Universitas Al-Azhar di Gaza. Memulai karirnya di bidang jurnalisme pada tahun 2015 dengan bekerja sebagai penulis berita dan penerjemah di surat kabar lokal, Donia al-Watan. Dia telah melaporkan untuk Elbadi, Middle East Eye, dan Al Monitor.  

Artikel sudah dipublikasikan di Mondoweiss pada 10 November 2023.

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Hamas: ‘Israel’ Berupaya ‘Menjebak dan Membantai’ Warga Sipil
Setahun Berlalu, Warga Uyghur Desak Pertanggungjawaban atas Kebakaran Berskala Besar di Turkistan Timur  »