Inilah Makna ‘Terowongan’ dan ‘Sandera’ di Gaza
5 December 2023, 22:12.

Seorang ibu Palestina menggendong putranya saat melewati sebuah bangunan tempat tinggal yang hancur akibat serangan udara ‘Israel’ di Syeikh Radwan di Kota Gaza pada 10 Juli 2014. Foto: Eman Mohammed
Oleh: Eman Mohammed (wartawan foto Palestina-Amerika pemenang penghargaan yang kini tinggal di Washington DC)
(Al Jazeera) – Aku menghabiskan sebagian besar hidupku di kawasan yang tidak jauh lebih besar dari Manhattan, dikelilingi pagar kawat berduri yang sangat besar, yakni Gaza. Sering kali kami merasa, penduduk Gaza adalah satu-satunya masyarakat yang menyadari hidup di penjara terbuka dan terbesar di dunia.
Aku meniti karir sebagai wartawan foto untuk mendokumentasikan kehidupan di Gaza dan mencoba membuat seisi dunia memahami penderitaan rakyat Gaza dan ketangguhan mereka. Pada masa-masa yang relatif tenang, aku fokus pada kisah-kisah yang menginspirasi dan membangkitkan semangat.
Namun, pada saat terjadi kekerasan dan kematian, aku mencoba mendokumentasikan tentang akibat dahsyat yang ditimbulkannya–rasa sakit dan luka di jiwa yang tetap akan tersisa setelah bom berhenti dijatuhkan ke Gaza dan Gaza tidak lagi menjadi perhatian dunia.
Sekarang aku tak lagi tinggal di Gaza, namun sebagai orang Palestina yang berasal dari kawasan kecil berpagar kawat berduri, aku pun tidak luput mendapatkan banjir pesan yang sangat berkesan menuduh selama beberapa pekan terakhir ini.
Kotak pesanku terendam dengan pesan-pesan yang menanyakan tentang Hamas. Mereka tidak memiliki iktikad untuk memahami Hamas atau mengapa mereka melakukan hal yang mereka lakukan pada 7 Oktober. Sebaliknya, mereka ingin aku bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Seolah-olah bukan masalah bahwa aku kehilangan 50 orang teman dalam waktu 6 pekan atau tetangga-tetanggaku dan keluarga mereka terbunuh dalam serangan udara ‘Israel’ setelah mengungsi ke arah selatan.
Seolah-olah bagi mereka bukan masalah besar bahwa setiap hari aku ketakutan, cemas akan nasib keluargaku yang masih tinggal di Gaza, dan setiap aku mencoba menghubungi mereka aku seperti terkena serangan panik, jika mereka tidak segera menjawab.
Pertanyaan pertama yang selalu mereka lontarkan adalah apakah aku mengutuk serangan Hamas. Rasanya seperti aku dituntut untuk menunjukkan simpati kepada ‘Israel’ yang diserang Hamas pada tanggal 7 Oktober.
Setiap hari aku mendengar kata “terowongan” dan “sandera” yang diutarakan dalam laporan media atau pembahasan tentang mengutuk “organisasi teroris”.
Namun, kata-kata ini memiliki makna yang berbeda bagiku.
Bagiku dan semua rakyat Palestina di Gaza, terowongan telah menjadi suatu infrastruktur yang mendasar. Pada tahun 2007, ‘Israel’ memberlakukan blokade yang melemahkan Gaza, dan ‘Israel’ bisa mengendalikan sepenuhnya apa yang boleh melewati perbatasan, termasuk juga yang melalui pintu Rafah, Mesir.
Selama masa 16 tahun ini, penjajah Zionis ‘Israel’ telah sewenang-wenang melarang masuknya barang-barang tertentu ke wilayah tersebut sebagai salah satu bentuk hukuman kolektif terhadap penduduknya. Misalnya, pada tahun 2009, penjajah memutuskan pasta tidak boleh masuk ke Gaza. Ya, pasta.
Oleh karena itu, rakyat Palestina menggali terowongan-terowongan sebagai usaha untuk menyelundupkan pasta dan juga beberapa produk lainnya yang sangat dibutuhkan, namun secara acak dilarang masuk oleh ‘Israel’.
Makanan, obat-obatan dan bahan bakar mulai bisa masuk ke Gaza melalui terowongan yang kemudian dikenal sebagai “the Metro”–yang mungkin memiliki lebih banyak tempat pemberhentian dibandingkan sistem metro di Washington, DC, dan menurutku juga sedikit lebih aman.
Ketika putri pertamaku lahir pada tahun 2011, aku sedang benar-benar membutuhkan susu formula buat mengatasi kolik pada bayi usia 0-3 bulan, yang tidak tersedia di toko lokal. Aku pun benar-benar lega ketika bisa mendapatkan beberapa kotak susu formula tersebut berkat jasa “the Metro”.
Terowongan-terowongan ini benar-benar telah menjadi ciri khas kehidupan kami yang kadang-kadang kami bergurau untuk memesan Kentucky Fried Chicken melalui terowongan ‘the Metro’ karena makanan tersebut adalah sebuah “kemewahan” yang tidak kami miliki di Gaza.

Baraa Azam berbaring di reruntuhan rumahnya setelah serangan udara ‘Israel’ meratakan bangunan tempat tinggal di lingkungan Zeitoun di Kota Gaza pada tahun 2012. Foto: Eman Mohammed
Namun, ada hal-hal lain yang terampas akibat blokade ‘Israel’ atas Gaza, yang tidak bisa disediakan oleh terowongan-terowongan ini.
Pasokan air bersih yang layak adalah salah satunya. Kami sering tidak bisa mandi karena persediaan air sangat terbatas. Alhasil, kami akan berusaha terus memastikan bak mandi kami penuh agar kami tidak terpaksa menggunakan air laut jika pasokan air diputus.
Listrik adalah kemewahan lainnya yang sering kali dirampas dari kami. Rata-rata kami hanya memperoleh pasokan listrik selama 4 hingga 6 jam dalam sehari.
Kebebasan bergerak atau mobilitas adalah “hak istimewa” yang juga tidak bisa diberikan oleh terowongan ‘the Metro’. Bepergian keluar masuk Gaza adalah kemustahilan buat kebanyakan orang, bahkan jauh sebelum berdirinya Hamas.
Saat aku berusia 17 tahun, kami sekeluarga berencana mengunjungi keluarga ibuku di Mesir. Kami menunggu selama tiga hari di pintu perbatasan Rafah sebelum kami diizinkan untuk melewatinya. Ketika sopir taksi kami hampir melewati pintu gerbang, tiba-tiba serdadu ‘Israel’ melepaskan tembakan. Sopir taksi kami berputar arah ketakutan sambil berteriak-teriak agar mereka berhenti menembak.
Di kemudian hari kami baru tahu bahwa saat itu adalah waktu mereka rehat untuk makan siang, dan mereka tidak mau diganggu, walaupun seharusnya kami sudah diizinkan untuk melewatinya. Jadi, rencana silaturahim kami di musim panas batal begitu saja.
“Sandera” adalah kosakata lainnya yang memiliki makna berbeda dalam benakku.
Banyak pihak yang kini menuntut pembebasan seluruh sandera ‘Israel’ sebelum kesepakatan gencatan senjata terjadi. Sebenarnya aku juga benar-benar setuju dengan hal itu. Seluruh sandera sipil harus dibebaskan tanpa syarat, namun harusnya ketentuan yang sama juga berlaku bagi para tawanan Palestina.
Sebab ada lebih dari 2.000 warga Palestina yang kini ditawan tanpa batas waktu dengan “penahanan administratif” di penjara-penjara ‘Israel’ tanpa pengadilan. Banyak di antara mereka adalah anak-anak, bahkan ada yang masih berusia sekitar 12 tahun.
Mereka yang sudah didakwa kemudian diadili di pengadilan militer, dengan tingkat kemungkinan mendapatkan hukuman sering kali di atas 95 persen. Hal itu menunjukkan bahwa para tawanan bahkan tidak memiliki akses dasar dalam proses hukum untuk bisa memeriksa “bukti rahasia”–yang konon dimiliki penjajah–yang sangat memberatkan mereka.
‘Israel’ adalah satu-satunya negara di dunia yang terus-menerus mengadili anak-anak di pengadilan militer. Pelanggaran paling umum? Melempar batu. Tawanan anak-anak ini diculik oleh gerombolan serdadu bersenjata secara tiba-tiba dan brutal dari rumah mereka.
Sayangnya, tak ada seorang pun yang mencantumkan nama dan wajah mereka di poster di seluruh New York City atau London.
Aku memilih menjadi wartawan foto di Gaza karena aku meyakini sangat penting untuk mendokumentasikan realitas kehidupan di sana, realitas yang tidak dilihat oleh kebanyakan manusia di dunia ini. Dan, meskipun aku tidak lagi tinggal di sana (di Gaza), jika aku tidak mencoba memberi tahu Anda kenyataan hidup di Gaza, jauh sebelum warga Palestina mendobrak pagar kawat berduri pada tanggal 7 Oktober, berarti aku tidak memenuhi tugasku sebagai wartawan, terlebih lagi sebagai warga Palestina. (Al Jazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
