Panas Menyengat Tenda-tenda Pengungsian di Gaza, Penyakit Kulit Kian Tersebar
13 August 2024, 05:55.

Nimah Elyan, 45 tahun, beserta ketiga anaknya di sebuah tenda di kamp pengungsian Deir el-Balah, tempat mereka tinggal sejak bulan Maret (Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera)
GAZA (Aljazeera) – Saat itu sekira pukul 19.30 dan matahari mulai terbenam, ketika Nimah Elyan dan keempat anak bungsunya kembali ke “rumah” – sebuah tenda berwarna krem di kamp sementara di Deir el-Balah, Gaza – setelah mencoba menghindari panasnya cuaca dengan pergi ke pantai.
“Kondisi tenda di musim panas sangatlah panas,” ucap Nimah, 45 tahun, sambil menggunakan spons dan seember air untuk memandikan anak-anaknya yang berusia di bawah tujuh tahun.
“Kami tidak bisa tinggal di dalam tenda, bahkan selama lima menit pada siang hari. Panasnya benar-benar tak tertahankan.”
Untuk menghindari panas terik pada siang hari, Nimah mengajak anak-anaknya berenang di laut yang jaraknya beberapa kilometer dari tendanya.
Anak-anaknya terlihat sudah kepayahan saat melepas pakaiannya, kulit mereka memerah karena seharian berada di luar ruangan. Putri Nimah yang berusia empat tahun duduk di tanah sambil memakan kacang fava, sisa makan malam tadi malam.
“Anak-anak saya menangis sepanjang hari karena kepanasan,” lanjutnya, menjelaskan bagaimana kulit mereka menderita akibat paparan sinar matahari terus-menerus, kurangnya produk kebersihan, dan kelangkaan air. Air yang mereka gunakan untuk mandi dan minum diambil oleh anak-anaknya dari rumah sakit terdekat.
“Setiap hari sekira jam 11 pagi, saat cuaca sudah tidak mendukung, kami naik kereta keledai untuk pergi ke laut,” jelas Nimah.
Pergi ke laut bukanlah hal yang mudah. Namun, Nimah mengatakan cuaca panas tidak memberinya banyak pilihan. Terlebih ketika ada serangan penjajah ‘Israel’, mereka terpaksa tinggal di kamp dan di tenda panas mereka.
Keluarga tersebut mengeluarkan biaya sekira 20 shekel (kurang lebih 75 ribu rupiah) untuk naik kereta keledai selama 40 menit ke pantai. Mereka sering kali harus menunggu dulu di bawah sinar matahari sebelum mendapatkan transportasi tersebut. Kadang-kadang bahkan kereta keledainya tidak kunjung datang, dan mereka memutuskan berjalan kaki ke pantai.
Sesampainya di sana, Nimah duduk di atas pasir dan mengawasi anak-anaknya. Terkadang dia juga bergabung dengan mereka ke dalam air.
Lalu ketika mereka pulang ke rumah pada malam hari, Nimah membersihkan garam dari tubuh anak-anaknya dan mencoba memberi mereka makan dengan apa pun yang bisa ditemukan hari itu.
“Kondisi hidup sangat sulit. Karena perjalanan kami setiap hari ini, kami kelewatan jatah makanan yang dibagikan setiap hari oleh dapur umum,” ungkapnya.
Kadang-kadang mereka tetap tinggal di kamp untuk mengambil makanan dari dapur umum yang membagikan makanan gratis atau paket bantuan makanan.

Nimah menuangkan air ke putrinya setelah keluarganya pulang dari pantai pada hari itu (Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera)
Panas Ekstrem Menyengat Tubuh Anak-anak
Nimah mengungsi dari kawasan Nassr di Gaza utara menuju Deir el-Balah pada awal Maret; melarikan diri dari apa yang disebut para ahli PBB sebagai kelaparan yang kini menyebar di seantero Gaza.
Suaminya dan dua putra tertuanya bertekad untuk tidak meninggalkan rumah mereka, dan tetap tinggal di utara.
“Saya mengalami kondisi berbahaya dan pengeboman selama sekira lima bulan, namun pada akhirnya kami berhasil lolos dari kelaparan ekstrem,” kata ibu sembilan anak ini.
“Sekarang kami menghadapi perang dengan (krisis) pengungsian di tenda-tenda dan musim panas yang berdampak terhadap tubuh anak-anak kami,” tambah Nimah sambil menunjuk cucu perempuannya berusia satu tahun yang sebagian tubuhnya dipenuhi ruam.
Ibu bayi tersebut, putri Nimah yang masih berusia 21 tahun, Nahla, tinggal di kamp pengungsian terdekat, namun ikut kumpul di tenda ibunya setelah mereka pulang dari pantai bersama.

Putri Nahla yang berusia satu tahun menderita ruam kulit akibat bakteri (Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera)
“[Saya] tinggal di tenda yang terbuat dari nilon bersama suami, putri saya, dan delapan anggota keluarga suami saya,” jelas Nahla sambil menggendong bayinya. Mereka menghabiskan sebagian besar hari-harinya dengan berjalan mencari tempat yang teduh.
“Putri saya menderita ruam akibat bakteri yang menyebar ke seluruh tubuhnya, sedangkan salep medis tidak membantu,” kata Nahla.
Dia mengunjungi Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, satu-satunya fasilitas medis yang beroperasi di Deir el-Balah, di mana para dokter mengatakan keadaannya semakin buruk karena panas yang ekstrem dan menyarankan untuk mendinginkannya dengan air, yang keberadaannya sudah langka.
Nahla mengatakan bahwa banyak anak-anak di kamp tersebut menderita ruam serupa akibat kondisi yang tidak higienis, kekurangan air, dan panas yang sangat menyengat.
Lebih dari 150.000 orang yang bertahan di wilayah kantong tersebut menderita penyakit kulit akibat kondisi tidak sehat sejak dimulainya agresi penjajah ‘Israel’ di Gaza pada 7 Oktober, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pada tanggal 29 Juli, WHO melaporkan 65.368 kasus ruam, 103.385 kasus kudis dan kutu, serta 11.214 kasus cacar air.
“Saya sedih melihat anak-anak kami, tetapi tidak ada bantuan sama sekali,” ucap Nimah sambil memandikan putrinya yang berusia enam tahun. “Kami dilupakan.”
Terbakar Hidup-hidup

Heba Sheikh Khalil, 38 tahun, ibu dari delapan anak, mengungsi bersama keluarganya dari Kota Gaza dan sekarang berada di kamp pengungsian Nuseirat (Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera)
Heba Sheikh Khalil, ibu delapan anak berusia 38 tahun, duduk di seberang tendanya bersama keluarganya, sambil mengipasi dirinya dengan selembar karton.
“Wajah saya memiliki dua warna, seperti yang Anda lihat. Bagian yang terbakar merangkum seluruh kesulitan kami,” ujar Heba.
“Kami terbakar hidup-hidup,” ucapnya dengan gusar, “panas yang menyengat di dalam tenda tidak dapat digambarkan lagi.”
Menurut Heba, mengatasi panas yang paling menyengat antara pukul enam pagi hingga enam sore, merupakan kesulitan sehari-hari bagi masyarakat di kamp tempat mereka tinggal.
“Sinar matahari vertikal pada siang hari,” ujarnya, “saya dan anak-anak saya menghabiskan hari mencari tempat berteduh atau berjalan-jalan, berharap mendapat angin sejuk, namun tidak juga menemukannya.”
Keluarga Heba mengungsi dari kawasan Syujaiyya di sekitar Kota Gaza pada bulan Oktober dan pindah ke Deir el-Balah, kemudian ke kamp pengungsian Nuseirat.
“Sekarang saya tinggal di tenda. Kami dimakan oleh lalat dan serangga. Tidak ada air, jadi anak-anak saya mandi di Rumah Sakit Al-Aqsa terdekat,” jelasnya sambil menambahkan bahwa keluarganya mandi setiap 10 hari.
Kesulitan yang dialami Heba tidak hanya cuaca yang sangat terik, namun juga sakit kepala, pusing, serta gigitan nyamuk dan lalat yang menjamur dalam kondisi sulit ini.
“Kondisi di kamp sangat menyedihkan. Tidak ada infrastruktur atau drainase untuk pembuangan dan air limbah sehingga menyebabkan perkembangbiakan serangga,” jelasnya.
Badan-badan PBB memperingatkan bahwa kondisi kesehatan di kamp-kamp darurat semakin buruk karena tumpukan sampah dan penumpukan limbah sehingga berisiko menyebarkan penyakit menular.
Sementara itu, WHO menyatakan, pihaknya mengirimkan satu juta vaksin polio ke Gaza setelah virus polio ditemukan dalam sampel limbah.
“Kesulitan ini bermacam-macam dan berkepanjangan: panas ekstrem, sampah, air limbah, dan kurangnya air bersih serta deterjen, yang harganya meningkat secara signifikan,” kata Heba. (Aljazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
