Mereka yang Selamat Mengenang Kembali Pembantaian ‘Israel’ di Sekolah Al-Tabin
13 August 2024, 14:30.

Seorang wanita menangis di dalam sekolah yang digunakan sebagai tempat penampungan sementara bagi warga Palestina yang mengungsi di Kota Gaza setelah sekolah tersebut terkena serangan ‘Israel’ pada 10 Agustus 2024. Foto: AFP/Omar al-Qattaa
(Middle East Eye) – Zainab al-Jabri, 80 tahun, sedang tidur di ruang kelas yang penuh dengan para wanita Palestina yang mengungsi ketika tiga ledakan mengguncang sekolah tersebut.
Dia terbangun karena melihat kepanikan dan kekacauan, saat orang-orang bergegas ke aula salat sekolah, yang menjadi sasaran serangan udara ‘Israel’.
Saat itulah dia langsung khawatir terhadap kedua putranya dan anak-anak mereka, yang ada di sana untuk salat.
“Saya menggunakan alat bantu jalan dan bergerak sambil memanggil ‘Ziad… Ihab… anak-anakku,’” kenangnya.
“Ketika saya melihat potongan-potongan tubuh yang terbakar, saya menyadari tidak ada yang selamat.”
Putra dan cucu Al-Jabri termasuk di antara lebih dari 100 warga Palestina yang syahid dalam serangan ‘Israel’ pada hari Sabtu (10/8/2024).
Serangan tersebut menargetkan aula salat sekolah al-Tabin di Kota Gaza saat puluhan orang membentuk saf untuk melakukan salat Subuh sekitar pukul 4.30 pagi.
Sekolah tersebut telah diubah menjadi tempat penampungan bagi orang-orang yang mengungsi dari tempat lain di kota tersebut karena rumah mereka hancur dalam operasi pengeboman ‘Israel’ yang berlangsung tanpa henti selama 10 bulan.
Al-Jabri datang bersama keluarga besarnya ke sekolah tersebut dua minggu sebelum serangan hari Sabtu, setelah rumah mereka di lingkungan al-Syujaiya hancur dalam serangan ‘Israel’ yang menewaskan tujuh cucunya.
“Saya seorang wanita tua yang sakit,” katanya kepada Middle East Eye.
“Anak-anak saya adalah cahaya hidup saya, tetapi mereka merampasnya dari saya. Mereka tidak menyisakan satu pun untuk saya,” tambahnya.
“Sekolah itu penuh dengan anak-anak, pemuda, para wanita dan pria tua yang cinta damai. Kami semua adalah orang-orang yang cinta damai. Saya memohon kepada Allah agar membalas perbuatan mereka.”
Mayat-mayat ‘tidak dapat dikenali’
Militer ‘Israel’ dengan cepat menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu.
Mereka beralasan aula salat itu berisi “fasilitas militer” dan bahwa 31 dari mereka yang terbunuh adalah “teroris” yang beroperasi dari sekolah tersebut.
Investigasi awal oleh Euro-Med Human Rights Monitor menemukan daftar nama yang diberikan oleh militer Zionis sebagai “teroris” yang terbunuh dalam serangan itu mencakup beberapa ketidakakuratan.
Setidaknya tiga orang telah terbunuh dalam serangan-serangan sebelumnya dalam genosida ‘Israel’, termasuk seorang warga negara yang terbunuh pada bulan Desember.
Daftar ‘Israel’ itu juga mencakup nama tiga orang lansia yang tidak memiliki hubungan militer, termasuk seorang kepala sekolah, wakil wali kota Beit Hanoun dan seorang profesor universitas, serta beberapa oponen Hamas.
‘Israel’ sebelumnya membuat pernyataan palsu serupa tentang identitas warga Palestina yang diklaimnya telah terbunuh dalam serangan udara.
Hamas berulang kali dan dengan keras menolak tuduhan ‘Israel’, dengan mengatakan bahwa para pejuangnya tidak pernah beroperasi dari dalam fasilitas sipil, seperti sekolah dan rumah sakit.
Noah al-Shagnobe, seorang pekerja pertahanan sipil, mengatakan kepada MEE bahwa “sebagian besar dari mereka yang terbunuh adalah anak-anak dan orang-orang lansia”, dan mereka tercabik-cabik dan bagian tubuh mereka terbakar karena intensitas serangan udara.
“Semua orang yang sedang salat di masjid terbunuh, dan banyak lainnya yang tidur di lantai atas,” kata al-Shagnobe.
“Kami harus berjalan di atas mayat-mayat sambil berusaha mengeluarkan yang terluka dari tempat itu. Sebagian besar mayat tidak dapat dikenali karena tercabik-cabik.”
‘Berapa banyak lagi kehilangan?’
Serangan hari Sabtu itu mengejutkan banyak orang di seluruh dunia dan memicu kecaman internasional terhadap penjajah Zionis ‘Israel’.
Di Gaza, serangan itu dianggap sebagai salah satu yang paling menghancurkan dalam genosida sejauh ini, membuat para penyintas masih bergulat dengan apa yang terjadi.
Rebhi Naser, 57, dikenal karena selalu menghadiri salat Subuh di saf paling depan di masjid (aula salat) tersebut.
Pada hari Sabtu, ia terlambat menghadiri salat berjamaah, qadarallah, Allah selamatkan ia dengan keterlambatan itu. Bom menghantam masjid saat ia berjalan dari sudut lain sekolah.
“Tekanan dan kobaran api dari serangan udara menjatuhkan saya ke tanah,” katanya.
“Saya pingsan selama beberapa detik, dan tangan saya gemetar. Saya tidak bisa bergerak selama 20 menit,” tambahnya.
Rebhi, yang berasal dari Beit Hanoun di Jalur Gaza utara, telah mencari perlindungan di sekolah itu pada bulan November bersama 30 anggota keluarga setelah rumah mereka hancur.
“Kebanyakan orang di sekolah itu biasa salat di aula salat kecil ini, memohon kepada Allah agar melindungi kami dan mengakhiri genosida ini,” kata Naser kepada MEE.
“Kami bukan teroris, seperti yang mereka klaim. Kami semua di sini dikenal sebagai warga sipil pengungsi yang cinta damai, tanpa kepentingan politik atau menimbulkan ancaman bagi siapa pun.”
Naser, yang kehilangan 10 anggota keluarganya dalam serangan hari Sabtu itu, mengatakan ia berharap dunia akhirnya dapat melihat mereka sebagai orang yang setara.
“Kami adalah manusia yang terdiri dari daging dan darah, dan kami tidak dapat menanggung lebih banyak rasa sakit dan kehilangan,” katanya.
“Berapa banyak lagi kehilangan yang harus kami tanggung untuk mengakhiri genosida ini?” (Middle East Eye)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
