‘Hanya Warga Sipil’: Keluarga Korban Pembantaian Sekolah di Gaza Bantah Ada Kaitan dengan Hamas

17 August 2024, 17:47.

Abdul Aziz al-Kafarna, yang syahid pada hari Sabtu dalam serangan ‘Israel’, berbicara saat pembukaan toko manisan milik kerabatnya di Gaza. Foto: Milik keluarga

DEIR EL-BALAH (Al Jazeera) – Pada Sabtu (10/8/2024) dini hari, Sajida al-Kafarna yang berusia 24 tahun sedang tidur bersama keluarganya di dalam ruang kelas sekolah ketika mereka terbangun oleh ledakan besar.

“Kami saling meyakinkan satu sama lain bahwa kami baik-baik saja, tetapi ketika saya menyadari bahwa ayah saya tidak ada, kepanikan mulai muncul karena dia telah pergi untuk melaksanakan salat Subuh,” kenang Sajida.

Keluarga Sajida termasuk di antara sekitar 2.400 pengungsi Palestina yang berlindung di Sekolah al-Tabin. Ayahnya, Abdul Aziz al-Kafarna yang berusia 58 tahun, sedang berada di dalam masjid kecil di sekolah tersebut ketika ‘Israel’ mengebom bangunan itu.

Sajida terdiam, menahan isak tangisnya.

“Seluruh keluarga saya bergegas mencarinya. Sekolah itu terbakar, dan semua orang berteriak histeris,” kenangnya, berbicara kepada Al Jazeera melalui telepon dari distrik Daraj di pusat Kota Gaza.

Sajida menggambarkan adegan-adegan yang mengerikan saat dia dengan panik mencari ayahnya di antara para korban terbunuh.

“Ada seseorang yang sedang terbakar, berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Dia terbakar di depan kami, dan tidak ada yang bisa masuk untuk menolongnya,” kenang Sajida dengan suara gemetar.

“Kami mencoba memadamkan api, lalu kami menggunakan senter ponsel kami untuk mencari ayah saya karena hari masih gelap.”

Dia ingat harus berjuang melewati anggota tubuh yang tercerai-berai untuk mencari ayahnya, pakaian dan tangannya berlumuran darah. Sajida, kelima saudaranya dan ibu mereka menghabiskan waktu hampir dua jam untuk mencari Abdul. Kemudian, “Ibu saya putus asa, berteriak kepada kami untuk berhenti. ‘Cukup. Ayo kita kembali. Ayah kalian sudah hancur berkeping-keping,’” kenangnya.

Keluarga itu kembali ke ruang kelas mereka dalam keadaan hancur. Namun, Sajida tidak bisa tenang tanpa menemukan jejak ayahnya. Jadi, dia menyelinap keluar lagi dengan seorang saudaranya untuk melanjutkan pencarian mereka. “Kru pertahanan sipil mencoba menghentikan kami, tetapi kami bersikeras,” ujar Sajida.

Tak lama kemudian, dia menemukan jasad Abdul di sudut masjid, terkubur di bawah jasad-jasad korban lainnya. “Alhamdulillah, jasad ayah saya adalah salah satu dari sedikit jasad yang tidak hancur seluruhnya,” katanya sambil menangis.

Dia menyaksikan orang-orang di sekitarnya mengumpulkan jasad para korban untuk dikuburkan—tidak yakin apakah jasad itu milik orang yang mereka cintai. “Itu sungguh tak tertahankan,” ujar Sajida.

Warga Palestina berduka atas korban yang syahid menyusul serangan ‘Israel’ terhadap Sekolah al-Tabin pada 10 Agustus lalu. Foto: Mahmoud Zaki/EPA-EFE

Klaim ‘Israel’

Serangan ‘Israel’ terhadap Sekolah al-Tabin menewaskan lebih dari 100 warga Palestina, termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua.

‘Israel’ mengatakan bahwa mereka menyerang “pusat komando dan kendali” untuk pejuang Hamas dan Jihad Islam Palestina. Namun, Hamas telah menolak klaim ini.

Pasukan ‘Israel’ telah berulang kali menyerang sekolah-sekolah di Gaza di mana orang-orang berlindung, dengan mengklaim bahwa sekolah-sekolah tersebut merupakan pusat operasi Hamas, kelompok yang memerintah Gaza, untuk menyembunyikan para pejuang dan senjata. Hamas membantah beroperasi dari fasilitas sipil.

‘Israel’ diketahui meningkatkan serangan ketika pembicaraan gencatan senjata berlangsung sebagai taktik tekanan. Amerika Serikat, Mesir dan Qatar telah meminta ‘Israel’ dan Hamas untuk melanjutkan perundingan damai pada tanggal 15 Agustus.

Tanpa memberikan bukti apa pun, ‘Israel’ mengklaim 19 pejuang tewas dalam serangan mematikan tersebut. Kemudian, jumlah tersebut direvisi menjadi 31 orang.

Sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga verifikasi Sanad Al Jazeera menemukan bahwa ‘Israel’ menargetkan dan membunuh warga sipil dengan mengirimkan bom-bom presisi ke ruang salat yang menampung keluarga-keluarga dan kapel di bawahnya saat salat Subuh dimulai.

‘Israel’ menggunakan bom GBU-39 SDB buatan Amerika Serikat dalam serangannya, yang menurut penyelidikan itu “sengaja diatur untuk menimbulkan korban jiwa sebanyak-banyaknya”.

Organisasi nirlaba Euro-Mediterranean Human Rights Monitor mengatakan bahwa penyelidikan awal mereka tidak menunjukkan bukti adanya operasi militer di sekolah tersebut.

Ash Hamdan, seorang peneliti senior dan koordinator di Unit Investigasi Arsitektur Forensik dari organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Ramallah, Al-Haq, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa rekaman yang diperoleh dari para peneliti lapangan kelompok tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda adanya peralatan militer di sekolah tersebut.

Hamdan mengatakan yang terlihat hanyalah peralatan memasak, kasur, dan tempat tidur, yang menunjukkan bahwa tempat itu digunakan sebagai tempat berlindung. Hamdan juga mengatakan bahwa daftar terduga pejuang ‘Israel’ mencakup orang-orang yang sebelumnya telah terbunuh dan organisasi tersebut sedang dalam proses memverifikasi 31 nama tersebut.

Ramy Abdu, ketua Euro-Mediterranean Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa dan seorang warga Palestina, menulis di X bahwa dari 19 orang yang awalnya disebutkan, setidaknya tiga orang di antaranya telah terbunuh sebelumnya dan sembilan orang lainnya adalah warga sipil yang tidak memiliki hubungan dengan militer.

Al Jazeera berbicara dengan beberapa keluarga korban yang diklaim oleh ‘Israel’ sebagai pejuang. Keluarga-keluarga tersebut membantah klaim ini. Para korban termasuk seorang direktur administrasi rumah sakit, seorang pensiunan kepala sekolah, seorang sarjana bahasa dan sastra Arab, dan seorang pria yang terbunuh pada bulan Desember.

Orang-orang berkumpul di halaman Sekolah al-Tabinyang digunakan oleh para pengungsi Palestina sebagai tempat pengungsian sementarasetelah sekolah tersebut dihantam serangan ‘Israel’. Foto: Omar al-Qattaa/AFP

‘100 persen salah’

Bagi Sajida, rasa syok dan terpukul karena kehilangan ayahnya semakin bertambah ketika dia melihat foto ayahnya ada dalam daftar yang dikeluarkan oleh serdadu ‘Israel’ yang berisi orang-orang yang diduga sebagai pejuang yang terbunuh dalam serangan tersebut.

“Ini 100 persen salah,” kata Sajida mengenai tuduhan tersebut. Dia menjelaskan bahwa Abdul, ayah dari sembilan orang anak, adalah direktur layanan administrasi di Rumah Sakit Beit Hanoun, dan wakil wali kota Beit Hanoun di Gaza utara.

“Ayah saya dikenal di mana-mana. Dia memiliki reputasi yang baik dan berdedikasi pada pekerjaannya. Dia senang membantu orang lain dan selalu ceria,” ujar Sajida. “Baru dua hari yang lalu, dia mencuci pakaian bersama kami, sambil bercanda bahwa dia akan membawa lebih banyak [cucian] jika masih ada lagi.”

Selama sembilan bulan terakhir keluarganya mengungsi di sekolah, ayah Sajida menjadi sukarelawan di sana, membantu tugas-tugas administrasi dan mendistribusikan bantuan.

“Jika dia terlibat dalam kegiatan politik atau militer dengan Hamas seperti yang mereka klaim, mengapa dia tidak menjadi target selama ini? ‘Israel’ selalu mencari alasan yang tidak masuk akal untuk menargetkan warga sipil, terutama di tempat berlindung,” ujar Sajida.

“Kengerian yang saya saksikan dalam pembantaian di sekolah itu akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk hilang, itu jika saya bisa. Tidak ada pembenaran untuk mengebom orang dan menghancurkan tubuh mereka dengan brutal seperti itu.”

Mohammad Eltif, 65 tahun, terbunuh dalam serangan ‘Israel’ pada hari Sabtu. ‘Israel’ menuduhnya dan 30 korban lainnya sebagai pejuang yang terkait dengan Hamas dan Jihad Islam Palestina, sebuah tuduhan yang dibantah oleh putrinya. Foto: Milik keluarga

‘Seorang ayah dalam arti sebenarnya’

Manar Eltif, 36 tahun, sangat terpukul dengan kematian ayahnya dalam serangan hari Sabtu.

Seperti Sajida, dia terkejut ketika melihat foto ayahnya yang berusia 65 tahun, Mohammad Eltif, di antara orang-orang yang diklaim oleh ‘Israel’ sebagai pejuang.

Manar bersikeras bahwa kehidupan ayahnya “jauh dari politik”.

“Ayah saya adalah pilar hidup saya. Dia sering mengatakan kepada saya, ‘Kamu adalah putriku yang berharga’. Dia sangat peduli kepada saya. Dia mencintai anak-anak saya, cucu-cucunya. Dia biasa mengantar mereka setiap hari ke sekolah tempat saya bekerja sebagai guru,” ujarnya.

Mereka selalu berhubungan sepanjang waktu, dan setiap kali salah satu dari anak-anaknya sakit, dia akan khawatir dan membawa mereka ke apotek atau dokter, kata Manar, seraya menambahkan, “Dia adalah seorang ayah dalam arti sebenarnya.”

Mohammad adalah seorang pensiunan kepala sekolah yang pernah bekerja sebagai guru bahasa Inggris pemerintah untuk Kementerian Pendidikan Otoritas Nasional Palestina, kata Manar kepada Al Jazeera, berbicara dari Mesir, tempat dia dan keempat anaknya mengungsi pada bulan Februari.

“Setelah ayah saya pensiun, dia menjadi aktif sebagai aktivis sosial, menyelesaikan konflik internal dengan komite-komite lokal,” ujar Manar. “Dia juga senang menghadiri seminar dan konferensi sastra di daerah tersebut.”

Dia adalah seorang “atlet kelas satu” dan juga wasit sepak bola yang penuh semangat, mengawasi pertandingan antara klub dan tim olahraga lokal.

“Moto hidup ayah saya adalah ‘di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat’. Dia memiliki pengetahuan yang luas tentang nutrisi, sangat peduli dengan kesehatannya, dan mendorong kami untuk berolahraga,” ujarnya. “Saya tumbuh besar dengan melihatnya mengenakan seragam wasit berwarna hitam, dengan peluit dan kartu kuning.”

Putri Mohammad Eltif, Manar, mengatakan bahwa ayahnya menjauhi dunia politik, dan lebih memilih mencurahkan energinya untuk olahraga dan membantu orang lain. Foto: Milik keluarga

Berbagi suka dan duka

Mohammad dan keempat putranya, adik-adik Manar, telah mengungsi sekitar tujuh kali dari lingkungan Syujaiyya di bagian timur Kota Gaza sebelum akhirnya menetap di Sekolah al-Tabin.

Mohammad sangat ceria, kata Manar. “Setiap hari, saya menelepon ayah saya untuk memeriksa kesehatan dan semangatnya. Dia selalu sabar dan tidak pernah mengeluh, meskipun kondisi di Gaza sangat sulit.”

Pada hari Sabtu, Manar terbangun saat mendapat kabar bahwa para jemaah subuh di Sekolah al-Tabin telah menjadi target serangan.

“Saya memiliki firasat yang kuat bahwa ayah saya termasuk di antara para syuhada, karena saya tahu komitmennya setiap hari untuk melaksanakan salat Subuh,” katanya dengan suara bergetar.

“Kemudian datanglah berita yang mengonfirmasikan tentang kesyahidannya dan bahwa tubuhnya telah hancur berkeping-keping.”

Dia melanjutkan: “Saya tidak mengerti pembenaran untuk menargetkan jemaah di masjid. Bahkan alasan sebagai anggota Hamas pun tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengebom warga sipil dengan cara seperti ini.”

Menurut Manar, ayahnya pernah menjadi sukarelawan di sekolah tersebut dengan menyelesaikan masalah bagi para pengungsi dan mengawasi urusan mereka.

“Sehari sebelum dia dibunuh, ayah saya bercerita kepada saya bagaimana dia pergi bersama seorang pemuda untuk melamar seorang gadis dan membantu menyelesaikan upacara pertunangan,” tambah Manar. “Itulah sifatnya sepanjang hidupnya—mengabdi kepada masyarakat dan berbagi suka dan duka dengan mereka.”

Seorang anak perempuan menangis di dalam Sekolah al-Tabin setelah serangan ‘Israel’ pada hari Sabtu. Foto: Omar al-Qattaa/AFP

‘Perang ini sepenuhnya ditujukan kepada kami, warga sipil’

Yang paling menyedihkan bagi Manar adalah dia tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Mohammad atau bersamanya sebelum dia meninggal.

“Perang telah mencerai-beraikan dan memecah belah kami. Saya kehilangan dua saudara pada awal perang ketika sebuah bom menghantam rumah keluarga kami di Syujaiyya. Keluarga saya dikepung di sebuah sekolah, dan ibu saya beserta perempuan-perempuan lainnya terpaksa pindah ke selatan. Saya harus berpindah-pindah dari utara ke selatan dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mesir,” katanya.

“Terlepas dari semua ini, ‘Israel’ terus mengklaim bahwa mereka menargetkan para pejuang Hamas. Perang ini sepenuhnya ditujukan kepada kami, warga sipil.”

Manar mengatakan bahwa tuduhan terhadap ayahnya bukanlah hal yang baru. Korban lain dari pengeboman yang juga masuk dalam daftar ‘Israel’ adalah Youssef al-Kahlout, seorang dosen universitas terkemuka yang pernah mengajar Manar bahasa Arab.

“Dr Youssef adalah orang yang sangat baik, seorang akademisi dan intelektual terhormat yang kini telah tiada. Seperti biasa, dia juga dituduh sebagai bagian dari Hamas,” kata Manar.

“‘Israel’ terus melanjutkan pembantaiannya, dan klaim-klaim ini hanyalah upaya untuk menutupi kejahatan yang terus mereka lakukan terhadap kami.”

Seorang pria tua duduk di antara reruntuhan bangunan setelah serangan di Sekolah al-Tabin. Foto: Omar al-Qattaa/AFP

Menargetkan para cendekiawan dan ilmuwan

Youssef, 63 tahun, adalah seorang profesor bahasa, sastra, dan kritik Arab di Fakultas Seni di Universitas Islam Gaza.

Keponakannya, Reem al-Kahlout, 31 tahun, mengungkapkan bahwa keluarganya sangat terpukul dengan berita pembunuhannya.

“Memang benar bahwa paman saya bersimpati pada Hamas, tetapi itu tidak membenarkan penargetan terhadapnya dengan cara apa pun,” kata Reem, berbicara dari Gaza tengah. Dia mengklarifikasi bahwa pamannya tidak memiliki hubungan politik atau militer dengan Hamas.

“Paman saya, Youssef, adalah yang paling dekat dengan kami di antara semua paman saya. Dia sangat sensitif dan berhati lembut. Para mahasiswanya di universitas sangat menyukai kuliah-kuliahnya, dan kematiannya sangat memengaruhi mereka,” tambah Reem.

Al-Kahlout mengungsi bersama istri dan enam anaknya dari rumah mereka di utara Kota Gaza, awalnya mencari perlindungan di Rumah Sakit al-Syifa sebelum pindah ke Sekolah al-Tabin pada bulan Desember.

Pada Sabtu pagi, Reem terbangun karena mendapat telepon dari ayah dan saudaranya yang mengabarkan bahwa pamannya telah dibunuh bersama para jemaah lainnya.

“Itu sangat memilukan, terutama karena tubuhnya tercerai-berai, tidak ada yang bisa dikuburkan,” katanya.

“Paman saya sangat takut akan perang dan pengeboman. Dia hidup dalam ketegangan yang terus-menerus. Bagaimana mungkin seseorang dengan watak seperti ini memiliki kecenderungan militer, seperti yang diklaim oleh ‘Israel’?”

“Menargetkan paman saya adalah bagian dari pola yang lebih luas untuk menargetkan orang-orang terpelajar, akademisi, dan kaum elite masyarakat selama perang ini. Ini adalah kampanye yang bertujuan untuk memusnahkan pikiran intelektual dan segala sesuatu yang berharga dan penting dalam masyarakat kita.”

Al-Kahlout adalah seorang cendekiawan yang dihormati dengan banyak karya sastra dan puisi, termasuk pembacaan kritis dan eksplorasi etika Islam dalam puisi Andalusia.

Lebih dari 100 ilmuwan, akademisi, profesor universitas, dan peneliti telah terbunuh akibat perang ‘Israel’ di Gaza, termasuk ilmuwan terkemuka Sufyan Tayeh, rektor Universitas Islam Gaza, dan ahli bedah spesialis luka bakar serta bedah plastik terkenal Medhat Saidam.

Sementara itu, 103 universitas dan sekolah telah dihancurkan, menurut kantor media pemerintah Gaza yang dikelola oleh Hamas. ‘Israel’ telah membunuh lebih dari 40.000 warga Palestina di Gaza sejak 7 Oktober.

Upaya pembenaran kejahatan

Ahmed Ihab al-Jaabari juga termasuk dalam daftar orang-orang yang diduga sebagai pejuang oleh ‘Israel’ yang terbunuh pada hari Sabtu. Pria berusia 31 tahun itu sebenarnya telah terbunuh pada bulan Desember dalam serangan ‘Israel’ di lingkungan Tal al-Hawa di Kota Gaza, menurut keluarganya.

Ayah Ahmed, Ihab, 58 tahun, ayah dari tujuh orang anak, juga masuk dalam daftar tersebut. Dia terbunuh dalam serangan hari Sabtu.

“Paman saya, Ihab, adalah seorang pegawai negeri yang tidak memiliki aktivitas politik,” kata Bahaa al-Jaabari, 20 tahun, kepada Al Jazeera. “[Tuduhan terhadap] Ahmed tidak benar karena dia sudah terbunuh delapan bulan yang lalu.”

Ketika Bahaa, yang mengungsi di dekat al-Tabin, mendengar tentang pengeboman tersebut, dia bergegas ke sekolah. “Situasinya sangat tragis,” katanya.

Saudaranya yang berusia 31 tahun, Mahmoud al-Jaabari, juga terbunuh dalam pengeboman tersebut bersama paman dan sepupunya.

“Tubuh saudara saya hancur berkeping-keping. Kami kehilangan tujuh anggota keluarga kami dalam pembantaian ini, dan pihak penjajah masih berusaha membenarkannya dengan mengklaim bahwa mereka menargetkan Hamas,” katanya.

“Bagian tubuh yang terpotong-potong, tubuh yang hangus terbakar—apa yang terjadi adalah sebuah kejahatan, dan kata-kata penjajah hanyalah upaya pembenaran yang gagal.” (Al Jazeera/Maram Humaid)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Hamas Serukan Warga Baitul Maqdis Bangkit Hadapi Kejahatan Pemukim Ilegal Zionis
‘Israel’ Kembali Bombardir Sekolah di Gaza, Sejumlah Pengungsi Palestina Syahid »