Aksi Mogok Tingkatkan Tekanan terhadap Netanyahu Saat AS Siapkan Proposal ‘Terakhir’ Gencatan Senjata
3 September 2024, 15:41.

Seorang pengunjuk rasa mengenakan topeng yang menggambarkan Benjamin Netanyahu dalam sebuah unjuk rasa anti-pemerintah di Tel Aviv pada tanggal 1 September 2024 (AFP)
(Al Jazeera) – Mogok kerja massal telah mengganggu industri, layanan dan pendidikan di berbagai wilayah “Israel” seiring dengan meningkatnya tuntutan agar pemerintah menyetujui kesepakatan gencatan senjata dan membawa pulang para sandera yang tersisa dari Gaza.
Mogok kerja massal pada hari Senin (2/9/2024), yang diserukan oleh serikat buruh terbesar, Histadrut—yang pertama kali dilakukan sejak genosida di Gaza dimulai pada bulan Oktober—bertujuan untuk mengganggu berbagai sektor ekonomi termasuk perbankan dan layanan kesehatan, serta menutup bandara utama dan institusi pendidikan.
Aksi ini dipicu oleh penemuan enam mayat dari sekitar 250 sandera yang diculik oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, pada hari Ahad (1/9/2024). Sekitar 100 orang telah dibebaskan dalam gencatan senjata pada bulan November, sedangkan beberapa lainnya telah tewas sejak saat itu.
Unjuk rasa besar-besaran diadakan pada hari Ahad untuk mendesak Benjamin Netanyahu guna menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang akan membawa pulang para sandera yang tersisa. Selama ini, “Israel” selalu menghalangi tercapainya kesepakatan tersebut.
Presiden AS Joe Biden dilaporkan sedang mengupayakan apa yang disebut oleh sumber-sumber AS sebagai proposal “terakhir” untuk kesepakatan tersebut, dalam upaya lain untuk meningkatkan tekanan.
‘Kewajiban moral’
Arnon Bar-David dari Histadrut, yang mewakili ratusan ribu pekerja, menyerukan aksi mogok kerja tersebut, yang didukung oleh para produsen dan pengusaha utama “Israel” di sektor teknologi tinggi.
“Kita harus mencapai kesepakatan,” kata Bar-David dalam sebuah konferensi pers pada hari Ahad. “Kita mendapatkan kantong mayat alih-alih kesepakatan.”
Aksi mogok kerja tersebut dilaporkan sangat efektif di beberapa wilayah Palestina yang kini disebut “Israel”.
Bandara Ben Gurion, pusat transportasi udara utama, ditutup sejak pukul 8 pagi karena aksi mogok kerja yang berlangsung selama dua jam. Media Zionis kemudian melaporkan bahwa para pekerja dan perusahaan penerbangan sipil telah memutuskan untuk memperpanjang aksi mereka.
Asosiasi Produsen “Israel” mengatakan bahwa mereka mendukung aksi mogok kerja tersebut dan menuduh pemerintah telah gagal dalam “kewajiban moral” mereka untuk membawa para sandera kembali dalam keadaan hidup.
Histadrut mengatakan bank-bank, mal-mal, kantor-kantor pemerintah dan layanan-layanan transportasi umum ikut serta dalam aksi mogok kerja tersebut. Kota-kota di daerah pusat yang padat penduduknya, termasuk Tel Aviv, juga ikut serta, yang menyebabkan jam sekolah diperpendek dan penitipan anak dan taman kanak-kanak umum diliburkan.
Namun, beberapa kota, termasuk Baitul Maqdis, tidak ikut serta.
Sementara itu, pemerintah Zionis tampaknya telah mendapatkan perintah pengadilan untuk menghentikan aksi mogok kerja tersebut setelah mengajukan banding dengan alasan bahwa aksi pemogokan tersebut bermotif politik.
Menurut berbagai kantor berita, Pengadilan Perburuhan “Israel” di Tel Aviv telah memutuskan bahwa aksi mogok kerja harus berakhir pada pukul 14:30 (18:30 WIB).
Media N12 melaporkan bahwa Ketua Histadrut, Bar-David, telah menginstruksikan para pekerja untuk kembali bekerja mengikuti perintah pengadilan tersebut.
Tamer Qarmout, seorang profesor kebijakan publik di Doha Institute for Graduate Studies, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa aksi protes dan mogok kerja ini dapat berpotensi membawa negara palsu itu ke titik kritis, jika jumlahnya bertambah banyak dan mengancam koalisi Netanyahu.
“Masyarakat marah, frustrasi, dan menyadari bahwa setelah satu tahun perang, tujuan-tujuan yang dinyatakan Netanyahu hampir tidak mungkin tercapai,” katanya.
Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang (Hostages and Missing Families Forum), yang mewakili keluarga-keluarga dari beberapa sandera yang ditahan di Gaza, mengatakan bahwa kematian keenam orang tersebut merupakan akibat langsung dari kegagalan Netanyahu untuk mencapai kesepakatan guna menghentikan pertempuran dan membawa pulang orang-orang yang mereka cintai.
Surat kabar “Israel”, Haaretz, melaporkan pada hari Senin bahwa ratusan pengunjuk rasa yang menuntut kesepakatan bergerak menuju markas besar pertahanan nasional di Tel Aviv. Protes juga dilaporkan terjadi di Beersheba di selatan dan di Haifa di utara.

Serdadu Zionis menggunakan meriam air saat unjuk rasa untuk menunjukkan dukungan kepada para sandera di Tel Aviv, 1 September 2024 (Tomer Appelbaum/Reuters)
‘Terima atau tinggalkan’
Menyusul kematian enam orang tersebut—yang termasuk seorang warga ‘Israel’-AS—Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris dilaporkan akan bertemu dengan tim negosiator yang telah memoderatori perundingan mengenai kesepakatan gencatan senjata bersama dengan para pejabat dari Qatar dan Mesir.
Kantor berita Axios melaporkan bahwa penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, telah memberi tahu keluarga-keluarga warga negara AS yang ditahan di Gaza bahwa Biden sedang mempersiapkan “proposal terakhir” untuk kesepakatan gencatan senjata, dengan “Israel” dan Hamas akan diberitahu untuk “terima atau tinggalkan,” demikian menurut The Washington Post.
Qarmout mengatakan bahwa AS dapat menggunakan protes dan pemogokan di “Israel” untuk mencoba meningkatkan tekanan kepada pemerintah “Israel”.
“Kita sekarang sedang mendekati pemilihan umum AS. Jika Amerika serius untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Netanyahu, ini dapat memberikan tekanan kepadanya,” ujar Qarmout. (Al Jazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
