‘Apakah Kakiku Akan Tumbuh Kembali?’ Ribuan Anak di Gaza Hidup dengan Anggota Tubuh yang Hilang
5 October 2024, 17:35.

Kakak beradik asal Gaza, Misk, kanan, yang berusia 18 bulan, dan Hanan, 3 tahun, kehilangan ibu dan anggota tubuh mereka dalam serangan udara penjajah Zionis dan kini tinggal bersama bibi mereka. Foto: Osama Al Kahlout
(The National) – Hanan, yang berusia tiga tahun, kehilangan kedua kakinya dalam serangan udara “Israel” yang membunuh ibunya bulan lalu. Adiknya, Misk, yang berusia 18 bulan, kehilangan kaki kirinya—dia baru saja mulai belajar berjalan. Mereka hanyalah dua dari lebih dari 4.000 anak yang telah kehilangan setidaknya satu anggota tubuh sejak “Israel” melancarkan perangnya di Gaza pada Oktober 2023.
“Situasinya sangat memilukan—Misk baru saja belajar berjalan dan sekarang dia tidak bisa lagi,” kata Shifaa Al Dogee, yang sekarang merawat kedua keponakannya. Hanan, yang masih terlalu kecil untuk memahami kondisinya, terus bertanya tentang kakinya.
“Dia bertanya mengapa anak-anak lain memiliki kaki, tetapi dia tidak,” kata Al Dogee kepada The National. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepadanya. Ketika mereka bertanya tentang ibu mereka, saya mengatakan bahwa dia akan datang, tetapi mereka mulai kehilangan kepercayaan pada jawaban saya. Apa yang harus saya katakan ketika dia bertanya siapa yang mengambil kakinya?”
Kementerian Kesehatan Gaza memperkirakan lebih dari 10.000 warga Palestina telah kehilangan setidaknya satu anggota tubuh sejak dimulainya perang setahun yang lalu, termasuk setidaknya 4.000 anak-anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah amputasi di Jalur Gaza mencapai 3.105 hingga 4.050.
Cedera anggota tubuh yang parah, diperkirakan antara 13.455 hingga 17.550, merupakan pendorong utama kebutuhan akan rehabilitasi, kata WHO. Badan PBB tersebut mengatakan peningkatan kasus cedera sumsum tulang belakang, trauma otak, dan luka bakar yang parah turut berkontribusi pada jumlah keseluruhan kondisi yang mengubah hidup.
Sahar, 8 tahun, yang tinggal di kamp Jabalia di Gaza utara, kehilangan kaki kirinya dalam pengeboman yang juga merenggut nyawa ibunya pada bulan April lalu. “Kehilangan istri saya sangatlah berat,” kata ayahnya, Saqr Wadi, kepada The National. “Namun, melihat putri saya kehilangan kakinya, bahkan lebih berat lagi.”
“Sahar selalu penuh semangat—berlari, bermain, tertawa—dan sekarang dia terkurung. Kadang-kadang saya menggendongnya ke luar rumah hanya untuk memberinya suasana baru.”
Kedua putranya juga terluka dalam serangan itu, tetapi luka mereka tidak terlalu parah. Di Gaza, banyak anak-anak yang menanggung luka fisik dan emosional akibat perang yang terus berlanjut. Cedera yang dialami Sahar telah membuatnya sangat terpukul secara emosional.
“Dia bukan lagi anak yang ceria seperti dulu,” kata ayahnya. “Sekarang, dia lebih sering berbicara tentang kematian dan perang, yang dia inginkan hanyalah bisa berdiri lagi.”
Keluarga tersebut menghadapi tantangan besar dalam membeli obat pereda nyeri dan obat-obatan di bawah blokade “Israel”. “Kami telah mengajukan izin perjalanan untuk mendapatkan perawatan yang layak untuknya, tetapi tidak ada yang menanggapi.”
Harapan terbesar Wadi adalah agar Sahar bisa mendapatkan kaki palsu. “Saya hanya ingin dia bisa berjalan lagi seperti anak-anak lainnya. Dia sangat menyukai karate dan pergi ke klub, tetapi sekarang dia kehilangan semua itu.”
Kenyataan baru
Dr Mohammed Shaheen, seorang ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa di Deir Al Balah, mengatakan bahwa amputasi di Gaza sering kali disebabkan oleh cedera jaringan dalam.
“Kami mengambil keputusan untuk mengamputasi ketika anggota tubuh sudah tidak dapat diselamatkan karena infeksi, hilangnya arteri, kerusakan jaringan dalam, atau pengeroposan tulang. Ketika pasien datang dengan anggota tubuh yang sudah diamputasi, mereka biasanya mengerti. Namun, ketika kami harus memutuskan untuk mengamputasi, meyakinkan mereka adalah hal yang sulit.”
Dr Shaheen memperkirakan ada sekitar 10 amputasi setiap hari di seluruh Gaza, dengan tiga di antaranya terjadi di Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa saja. Dibutuhkan tim spesialis, termasuk ahli bedah ortopedi, ahli bedah vaskular, terapis fisik, dan profesional kesehatan mental, untuk mempersiapkan pasien yang diamputasi untuk menghadapi kenyataan baru mereka.
Arafat Abu Mashaikh, kepala Departemen Kesehatan Mental di Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa, menyoroti luka psikologis mendalam yang diakibatkan oleh amputasi.
“Kehilangan anggota tubuh, perubahan penampilan tubuh, dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari menyebabkan tekanan psikologis yang sangat besar,” ungkapnya kepada The National. “Ini adalah perjalanan yang dimulai dengan penyangkalan dan hanya berakhir dengan penerimaan, dan banyak yang tidak pernah sepenuhnya mencapai titik itu.”
Masalah semakin diperparah dengan kurangnya pusat rehabilitasi, kursi roda, dan kruk di Gaza yang membuat orang-orang yang diamputasi semakin sulit untuk beradaptasi dengan keadaan baru mereka.
“Saya sering mendapat pertanyaan memilukan yang sama dari anak-anak: ‘Apakah kakiku akan tumbuh kembali?’ Dan saya tidak bisa menjawabnya karena mereka belum memahami kenyataan dari situasi mereka,” kata Dr Abu Mashaikh.
Dengan tidak adanya pusat prostetik atau fasilitas kesehatan mental yang memadai di Gaza, dia mengatakan ada kebutuhan yang sangat besar akan lebih banyak tenaga profesional kesehatan mental untuk membantu para pasien yang diamputasi. “Bahkan masyarakat kita juga perlu lebih menerima kasus-kasus seperti ini,” tambahnya. (The National/ Nagham Mohanna)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
