Apa Itu ‘Rencana Jenderal’? Proyek Pembersihan Etnis yang Sedang Dilakukan ‘Israel’ di Gaza Utara

17 October 2024, 19:26.

Para pengungsi Palestina di Kota Gaza berjuang melawan pemadaman listrik akibat serangan “Israel” yang menghancurkan infrastruktur di kota tersebut, 13 Oktober 2024. Foto: Omar Ashtawy/AFP Images

Pembersihan etnis di Gaza utara sebagai bagian dari apa yang disebut “Rencana Jenderal” bukanlah hal yang baru. Akan tetapi, satu-satunya hal yang menghalanginya adalah keinginan 200.000 warga Palestina untuk tetap tinggal di Gaza utara dan menolak untuk diusir.

(Mondoweiss) – Sudah 13 hari berlalu sejak penjajah Zionis melancarkan serangan terbarunya di bagian utara Jalur Gaza. Ini termasuk pengepungan total terhadap kota Jabalia, Beit Lahia, dan Beit Hanun di sebelah utara Kota Gaza.

Ketiga kota tersebut merupakan wilayah pertama yang dimasuki oleh serdadu Zionis di awal invasi darat hampir setahun yang lalu, dan juga merupakan wilayah pertama di mana serdadu Zionis menyatakan mereka memiliki “kendali operasional penuh” setelah sebelumnya mengklaim telah menghancurkan semua unit tempur dari faksi-faksi perlawanan Palestina.

Serangan penjajah Zionis yang sedang berlangsung saat ini termasuk invasi darat ke kota Jabalia dan kamp pengungsiannya adalah kali ketiga dalam satu tahun. Selama 13 hari, serdadu Zionis mengepung Jabalia dan menggempurnya dengan tembakan artileri intensif dan serangan udara, menghancurkan blok-blok permukiman yang masih tersisa dan memutus akses penduduk dari Kota Gaza yang berada di sebelah selatannya.

Serdadu Zionis juga bentrok dengan para pejuang Palestina dari berbagai faksi perlawanan. Pekan lalu, sayap bersenjata Hamas, Brigade al-Qassam, merilis rekaman video yang menunjukkan penyergapan yang dilakukan para pejuangnya terhadap sekelompok jip dan kendaraan lapis baja penjajah yang dilengkapi dengan alat peledak improvisasi dan proyektil anti-peluru kendali.

Hal ini menunjukkan organisasi, perencanaan, dan kemampuan tempur mereka, setahun setelah “Israel” menyatakan bahwa mereka telah menghancurkan semua perlawanan di kota tersebut.

Menurut Pertahanan Sipil Palestina, setidaknya 350 warga Palestina telah terbunuh di Gaza utara sejak dimulainya serangan ini. Namun, di luar mereka yang terbunuh karena pengeboman dan penembakan, serangan “Israel” di bagian utara juga berdampak pada sekitar 200.000 warga Palestina yang masih bertahan di rumah-rumah mereka di daerah tersebut.

Kesaksian dari orang-orang yang selamat di Jabalia mengatakan kepada Mondoweiss bahwa mereka bertahan hidup dengan makanan kaleng dan sisa-sisa sayuran atau daging yang masuk melalui bantuan kemanusiaan sebelum dimulainya pengepungan. Makanan yang tersisa, kata penduduk setempat, kini dijual dengan harga sepuluh kali lipat dari harga normal.

Serangan penjajah Zionis saat ini di Gaza utara dilaporkan di media sebagai implementasi nyata dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Rencana Jenderal.” Rencana ini didasarkan pada visi yang dituangkan dalam dua artikel terpisah yang ditulis oleh pensiunan jenderal “Israel”, Giora Eiland, pada bulan-bulan awal perang.

Visi Eiland adalah “Israel” harus memberlakukan kondisi yang tidak layak huni kepada penduduk Gaza utara dengan membuat mereka kelaparan dan memaksa mereka untuk pindah ke selatan. Siapa pun yang tetap tinggal, kata Eiland, akan dianggap sebagai anggota atau simpatisan Hamas, dan dengan demikian menjadi target yang sah. Tujuannya, untuk menguras habis populasi Gaza utara dan dengan demikian mengisolasi Hamas dari basis sosialnya sehingga memaksanya untuk menyerah atau mati.

Meskipun “Israel” tidak menyisakan satu inci pun dari Jalur Gaza dari serangan selama setahun terakhir, “Israel” berfokus ke Gaza Utara, khususnya Jabalia. Gaza Utara, khususnya Kota Gaza, adalah wilayah terpadat di Jalur Gaza, yang dihuni oleh lebih dari 50% populasi Jalur Gaza.

Jabalia secara tradisional telah menjadi basis dukungan yang kuat bagi Hamas, dan telah terbukti menjadi tempat di mana perlawanan mampu bangkit kembali, meskipun terjadi serangan besar-besaran sejak Oktober lalu.

Dengan memperketat pengepungan di sekitar Gaza utara dan menekan penduduknya, “Israel” akan dapat melanjutkan tujuannya untuk melakukan pembersihan etnis dan aneksasi.

Pada bulan September lalu, beberapa jenderal “Israel” mendukung visi Eiland dan mengusulkannya kepada pemerintah. Netanyahu kemudian mengatakan kepada anggota parlemen “Israel” bahwa ia sedang mempertimbangkan “Rencana Jenderal,” yang baru-baru ini dilaporkan oleh Associated Press (AP). Hanya dua minggu kemudian, pengepungan di utara dan invasi darat ke Jabalia dimulai.

Terlepas dari perhatian media yang menganggap rencana tersebut sebagai inovasi strategis “Israel” dalam perang, sebenarnya ini bukanlah hal yang baru. Pada dasarnya, ini adalah versi yang ditingkatkan dari strategi anti-perlawanan “Israel” yang sama, yang telah dipraktikkan sejak pertama kali mulai memerangi kelompok-kelompok perlawanan tak lama setelah didirikan.

Strategi ini diformalkan dalam Perang Lebanon Kedua tahun 2006 di bawah “Doktrin Dahiya,” yang dinamai berdasarkan penghancuran massal yang dilakukan “Israel” di pinggiran selatan Beirut dan dirumuskan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Darat “Israel”, Gadi Eizenkott.

Doktrin Dahiya pada dasarnya adalah sebuah strategi hukuman kolektif massal, yang dirancang untuk menyebabkan kerusakan yang “tidak proporsional” pada infrastruktur sipil dengan asumsi bahwa penduduk akan berbalik melawan perlawanan atau perlawanan akan menyerah.

Agenda tersembunyi: pemukiman kembali

Namun, visi Giora Eiland memiliki komponen lain yang tidak tercakup dalam Doktrin Dahiya: pengusiran paksa penduduk melalui pengeboman yang terus-menerus dan kelaparan, yang memaksa mereka untuk pergi atau mati.

Ini bukan kali pertama “Israel” mencoba menerapkan visi ini selama genosida Gaza. Sejak Oktober tahun lalu, “Israel” telah memaksa sekitar satu juta warga Gaza meninggalkan Gaza utara dan Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan Wadi Gaza, sungai yang memisahkan Kota Gaza dari Gaza tengah dan selatan.

“Israel” juga menciptakan zona militer di sekitar Wadi Gaza yang disebut koridor Netzarim, yang membuat warga Palestina tidak mungkin kembali ke rumah mereka di utara. “Israel” bersikeras untuk mencegah mereka kembali, dan ini telah menjadi salah satu poin utama yang diperdebatkan dalam perundingan gencatan senjata.

Ironisnya, “Israel” mempertahankan posisi ini saat melancarkan perang kedua di Lebanon dengan tujuan untuk mengembalikan warga “Israel” ke utara, yang sebagian besar telah dievakuasi sejak dimulainya perang.

Komponen tak terucapkan dari Rencana Jenderal di Gaza utara berkaitan dengan keinginan “Israel” untuk memukimkan kembali Gaza. Dengan kata lain, untuk menggantikan populasi Palestina dengan populasi pemukim ilegal Yahudi “Israel”, yang pada akhirnya akan berarti aneksasi Gaza utara ke “Israel”.

Pada bulan Januari, sekelompok organisasi pemukim ilegal Yahudi “Israel” mengadakan konferensi di Baitul Maqdis yang dihadiri oleh ribuan pemukim untuk menyuarakan tuntutan mereka agar diizinkan pindah ke Gaza.

Dalam konferensi tersebut, Daniela Weiss, seorang tokoh terkemuka dari gerakan pemukim garis keras, mengatakan dalam pidatonya bahwa “bukan Hamas atau PLO atau PBB atau UNRWA, melainkan hanya orang Yahudi yang dapat memerintah Gaza.”

Dalam sebuah wawancara dengan media “Israel”, Weiss menyerukan agar Gaza dimusnahkan dan membiarkan warga “Israel” pindah ke sana “agar mereka dapat melihat laut.” Konferensi ini dihadiri oleh Menteri Keamanan Nasional “Israel”, Itamar Ben-Gvir, salah satu sekutu utama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mendukung tuntutan Weiss dan para pemukim ilegal Yahudi.

Inti dari eksperimen Israel

Bahkan aspek implisit dari Rencana Jenderal ini bukanlah hal yang baru. Pengusiran penduduk dari tanah Palestina dengan tujuan menggantikan penduduk asli dengan para pemukim ilegal Yahudi telah menjadi inti dari proyek Zionis sejak awal. Yang coba dilakukan “Israel” di Jabalia dan Gaza utara merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan gerakan Zionis pada tahun 1948 dan terus dilakukan secara bertahap sejak saat itu.

Rencana Jenderal merupakan hasil dari kebijakan kolonial yang telah berlangsung selama seabad. Haifa, Yafa, Askalan, Tiberias, dan Baitul Maqdis Barat dulunya merupakan bagian dari Gaza utara.

Saat ini, perbukitan Al-Khalil selatan dan Lembah Yordan, di mana warga Palestina tidak diizinkan untuk membangun atau menggembala serta diserang oleh pemukim ilegal Yahudi “Israel”, merupakan versi yang kurang intens dari Gaza utara. Desa-desa Badui di Naqab, yang tidak diakui oleh “Israel” dan hidup di bawah ancaman pembongkaran terus-menerus, adalah versi lain dari Gaza utara.

Tidak adanya tindakan dari pemerintah-pemerintah dunia, terutama Amerika Serikat, untuk menghentikan realisasi Rencana Jenderal di Jabalia, Beit Hanun, dan Beit Lahia menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah ini mendukung rencana tersebut dan strategi yang lebih besar untuk melakukan pembersihan etnis yang genosidal.

Satu-satunya hal yang menghalangi Rencana Jenderal adalah keputusan lebih dari 200.000 warga Palestina untuk tetap tinggal di utara dan menolak untuk mengungsi, meskipun ada bom, serangan drone, kelaparan, dan pengepungan yang brutal. Benturan dua kehendak ini adalah inti dari perang untuk Palestina sejak 1948. (Mondoweiss/Qassam Muaddi)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Kokohkan Solidaritas, Presiden dan Ribuan Warga Kuba Tuntut Keadilan dan Kedaulatan bagi Palestina
Keluarga Pemuda Gaza yang Dibakar Penjajah Zionis Ungkap Detik-Detik Pembantaian di Deir al-Balah  »