Bayi di Gaza Alami Kelaparan Sejak Hari Pertama Dilahirkan (#1)
23 October 2024, 07:35.

Ilustrasi: Jawahir Al-Naimi/Al Jazeera
Oleh Mark Scialla
GAZA (Al Jazeera) – Pada bulan Juni 2024, Nour el-Hourani menyaksikan air mata berlinang saat para dokter mencoba menolong bayinya semaksimal mungkin.
Abdel Aziz yang berusia lima bulan, telah mengalami kelaparan sejak hari pertama ia dilahirkan, dan kini jantungnya telah berhenti berdetak.
Lampu di unit neonatal berkedip-kedip karena krisis bahan bakar di seantero Gaza, yang terkadang memaksa para dokter bekerja dalam kegelapan.
Mereka memberikan adrenalin dan oksigen serta menggunakan jari-jari mereka untuk memompa dada mungilnya. Selama beberapa menit, monitor detak jantung masih menunjukkan garis datar.
Para dokter terus memaksimalkan ikhtiar resusitasi, dan akhirnya berhasil memicu denyut nadinya. Abdel Aziz masih tidak sadarkan diri, tetapi telah bernapas lagi dengan bantuan mesin.
Perutnya membuncit dan anggota tubuhnya terlalu kurus untuk seorang bayi, tanda-tanda kekurangan gizi. Pada usia ini, berat badannya seharusnya sekitar dua kali berat badannya saat lahir. Namun, berat badannya justru lebih ringan dibanding saat ia lahir.
Krisis Kelaparan
Beberapa hari setelah operasi Taufan Al-Aqsa, penjajah “Israel” secara bengis menghentikan pasokan bahan bakar, makanan, dan air ke Gaza.
Dalam beberapa pekan saja, kelaparan telah menyebar di wilayah utara Jalur Gaza. Nour, yang berusia 28 tahun, tengah hamil enam bulan–mengandung anak pertamanya, Abdel Aziz–ketika bom pertama mulai jatuh di Gaza.
Pada bulan Desember, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Kamal Adwan. Nour adalah seorang perawat dan menjadi relawan di unit gawat darurat.
Namun, akhir bulan itu serdadu penjajah “Israel” laknatullah mengepung rumah sakit tersebut dan menahan sedikitnya 70 pekerja medis.
Nour ingin tetap dekat dengan rumah sakit karena hari persalinannya sudah dekat. Namun, ia harus dievakuasi secara paksa bersama lebih dari 2.500 Ahlu Syam Gaza lainnya.
Ia pergi ke kamp pengungsian Jabalia, tempat ia tidur di atas selimut di lantai sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan bersama ribuan orang lainnya.
Makanan segar adalah barang langka. Tidak ada roti atau daging. Dia makan kacang-kacangan kalengan untuk sarapan, makan siang, juga makan malam. Meski itu tidak cukup untuk membuatnya tetap ternutrisi.
“Mendapatkan persediaan makanan sangatlah sulit,” katanya. “Tidak ada sayur-sayuran, tidak ada buah-buahan yang tersedia di pasar. Adapun yang masih tersedia tidak dapat dimakan; seperti kentang busuk, yang juga tidak akan dimakan hewan.”
Seperti banyak warga lain di Gaza, Nour sampai terpaksa memakan pakan ternak dan mencari tanaman liar yang dikenal sebagai khubaiza untuk bertahan hidup.
Kadang-kadang, suaminya akan mengejar kotak-kotak bantuan kemanusiaan yang dijatuhkan dari udara oleh negara luar. Dia mengatakan, makanan di dalamnya terkadang sudah kedaluwarsa dan kaleng-kalengnya pun berkarat.
Kamp Jabalia sempit dan kotor. Limbah meluap ke jalanan dan hanya ada sedikit akses ke air bersih.
“Kami berada di antara limbah,” ucapnya, “kami bisa mencium bau jenazah.”
Lahir di Tengah Pengeboman
Suatu malam pada bulan Januari, Nour akan memulai proses persalinannya. Saat itu terjadi pengeboman.
Karena khawatir serdadu zionis laknatullah akan membunuh siapa pun yang menggunakan kendaraan, ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju Rumah Sakit Kamal Adwan, satu-satunya rumah sakit yang memiliki unit neonatal di Gaza dan merupakan pusat medis terakhir yang masih berfungsi di wilayah utara selama berbulan-bulan.
“Itu sangat menakutkan. Tidak ada seorang pun di jalan,” kenangnya.
Nour melahirkan Abdel Aziz pada tanggal 27 Januari tanpa anestesi, lalu berjalan sejauh 2 km pulang ke rumahnya pada hari yang sama bersama suami dan bayi laki-lakinya yang baru lahir tersebut.
Pada saat Abdel Aziz lahir, sembilan dari 10 orang di Gaza utara hanya makan satu kali dalam sehari. Ibu-ibu perlu gizi yang baik untuk menyusui bayi mereka, dan Nour tidak dapat memproduksi cukup ASI. Ia mencari susu formula bayi di seluruh wilayah utara, tetapi tidak satu pun yang ia temukan.
“Tidak ada susu formula yang tersedia selama 10 hari,” ujarnya, “jadi, anak saya menderita dehidrasi parah.”
Pada usia 20 hari, Abdel Aziz jatuh sakit karena demam dan diare terus-menerus, sedangkan berat badannya mulai turun. Nour mencoba menggiling beras dan mencampurnya dengan air untuk memberinya makan, tetapi tetap tidak berhasil.
Ketika dia berusia dua bulan, Nour membawa Abdel Aziz ke klinik malnutrisi anak-anak di Rumah Sakit Kamal Adwan. Dia dirawat di unit perawatan intensif (ICU).
“Sembilan puluh sembilan persen kasus yang saya lihat di rumah sakit didiagnosis dengan kekurangan gizi,” jelas Nour.
“Maksud saya, tubuh anak-anak hampir seperti kerangka karena dehidrasi. Tidak ada makanan. Seorang wanita pernah mengatakan kepada saya bahwa dia sampai pusing karena terus menahan lapar.”
Abdel Aziz didiagnosis dengan dehidrasi parah dan kekurangan gizi. Dokter memasang infus dan mencoba memberinya susu formula, tetapi tidak banyak membantu.
Dokter mengira dia mungkin memiliki alergi susu. Dia membutuhkan antibiotik dan susu nabati yang diperkaya vitamin; yang sayangnya tidak tersedia di rumah sakit.
“Demamnya mencapai 40 derajat (Celcius) dan tes darahnya menunjukkan kadar mineral rendah,” ungkap Nour, “ia menderita diare terus-menerus.”
Kesehatannya mulai membaik perlahan. Namun, pada bulan Mei serdadu “Israel” laknatullah kembali mengepung rumah sakit tersebut.
Nour bertekad untuk tetap tinggal, tetapi ketika serdadu “Israel” menembakkan roket ke salah satu kamar di sebelah tempat ia dirawat, ia tahu bahwa ia harus pergi.
Dengan berat hati, Ia membawa Abdel Aziz bersamanya, meskipun ia sedang menjalani perawatan. “Kami tidak aman, bahkan di rumah sakit,” tegasnya.
Pada saat pasukan “Israel” menarik diri dari Rumah Sakit Kamal Adwan serta kamp pengungsian Jabalia pada akhir Mei, kondisi Abdel Aziz sudah memburuk dan ia telah mengalami demam tinggi selama 20 hari. Nour kembali membawanya ke rumah sakit.
Tidak Ada Kekurangan Gizi Sebelumnya
Tangisan anak-anak yang kelaparan memenuhi lorong-lorong klinik malnutrisi di Rumah Sakit Kamal Adwan setiap hari.
Saat para orang tua dan kakek-nenek yang cemas menunggu giliran di meja resepsionis, para dokter mencatat hasil pemeriksaan dengan tangan. Sementara itu, para perawat mengukur lingkar lengan atas anak-anak yang jelas tampak lesu.
“Kami tidak mencatat satu pun kasus kekurangan gizi sebelum perang,” ucap Dr. Ahmed Hashem Abu Nasser, seorang dokter anak di rumah sakit tersebut.
Ia berbicara kepada para orang tua dan wali dengan perlahan dan hati-hati, menjelaskan pengujian dan perawatan yang dibutuhkan. Namun, hanya sedikit yang dapat ia lakukan. Rumah sakit itu benar-benar kekurangan persediaan, obat-obatan, dan tenaga spesialis.
Dokter berusia 28 tahun itu lulus dari sekolah kedokteran baru dua tahun lalu. Sekarang ia menjadi bagian dari tim kecil dengan ratusan anak di bawah perawatan mereka. Ia mengatakan, puluhan anak dirawat di kliniknya setiap hari.
“Dalam kebanyakan kasus, ada diare kronis, ada penyakit pernapasan karena kekurangan gizi yang pada dasarnya menyebabkan kekebalan tubuh melemah,” jelasnya, “gejala-gejala ini muncul setelah lima bulan genosida dan memburuk seiring waktu.”
Abu Nasser merawat Abdel Aziz saat Nour membawanya masuk, dan mengatakan bahwa dia adalah salah satu kasus kekurangan gizi pertama di klinik tersebut.
“Situasinya sangat serius,” jelasnya, “anak itu tidak dapat menyerap apa pun di dalam tubuhnya. Semua yang masuk ke dalam tubuhnya akan langsung dikeluarkan.” (Bersambung)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
