Krisis Pendidikan di Pengungsian: 6.400 Pusat Pembelajaran Terpaksa Ditutup, 300 Ribu Anak Rohingya Terdampak
8 July 2025, 13:58.

Lebih dari 6.400 pusat pembelajaran di kamp pengungsian Rohingya telah ditutup, yang berdampak pada sekira 300.000 anak muhajirin. (AFP)
Oleh: Dr. Azeem Ibrahim, direktur inisiatif khusus di Newlines Institute for Strategy and Policy di Washington, DC. X: @AzeemIbrahim
BANGLADESH (Arab News) – Laporan Human Rights Watch (HRW) baru-baru ini tentang krisis pendidikan bagi muhajirin Rohingya di Bangladesh seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat internasional.
Menurut temuan tersebut, lebih dari 6.400 pusat pembelajaran di kamp pengungsian Rohingya telah ditutup sehingga memutus akses pendidikan bagi sekira 300.000 anak.
Ini bukan sekadar tragedi bagi kaum muda ini, ini adalah situasi yang sangat rumit; yang bisa membayangi wilayah tersebut selama beberapa generasi.
Penutupan, yang didorong akibat pemotongan besar-besaran dana bantuan asing, merupakan penghapusan harapan secara sistematis bagi populasi yang telah teraniaya dan tidak memiliki kewarganegaraan ini.
Pendidikan adalah satu-satunya jalur kehidupan yang dapat menawarkan anak-anak Rohingya kesempatan untuk memutus siklus pengungsian dan ketergantungan.
Namun, mereka justru didorong ke masa depan di mana buta huruf, pekerja anak, dan eksploitasi menjadi ancaman besar.
Konsekuensinya sangat jelas. Tanpa akses ke pendidikan dasar, generasi muda Rohingya ini akan terus terputus dari keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk bisa mandiri maupun berkontribusi secara berarti bagi masyarakat pada masa depan; baik di Myanmar jika repatriasi menjadi mungkin, atau di tempat lain di kawasan ini.
Kehidupan mereka akan ditentukan oleh ketergantungan pada anggaran bantuan yang menyusut dan pemberian bantuan yang tidak menentu.
Ini bukan sekadar kegagalan moral. Ini adalah kesalahan strategis.
Dengan tidak memberikan pendidikan kepada hampir sepertiga juta anak, kita sedang meletakkan dasar bagi ketidakstabilan jangka panjang di kawasan ini.
Pemuda yang tidak puas dan kehilangan haknya rentan terhadap jaringan kriminal dan kelompok ekstremis yang berkembang pesat di lingkungan seperti ini.
Para pedagang manusia dan kelompok kriminal bersenjata akan mendapatkan populasi yang besar, frustrasi, dan semakin tidak memiliki keteraturan di kamp-kamp tersebut. Bangladesh, yang sudah kewalahan, akan menanggung beban terbesar dari dampak ini.
Bagi Bangladesh, yang telah menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa dengan menampung hampir satu juta Rohingya sejak 2017, konsekuensinya akan sangat besar.
Dengan lebih dari separuh muhajirin yang kini berusia di bawah 18 tahun, runtuhnya sistem pendidikan akan menyebabkan peningkatan tajam dalam beban sosial dan ekonomi.
Tanpa adanya pembelajaran dan kesempatan kerja yang terstruktur, populasi besar muhajirin ini hanya akan memiliki sedikit jalan keluar; selain bergantung pada negara tuan rumah untuk dukungan yang pasti sangat terbatas. Kondisi ini tidak berkelanjutan, baik secara ekonomi, politik, atau sosial.
Beberapa pejabat terkait telah membingkai masalah ini sebagai akibat sederhana dari kekurangan donor. Namun, itu adalah narasi yang sangat menyesatkan.
Komunitas internasional tidak diminta untuk membiayai proyek kesejahteraan jangka panjang. Mereka diminta untuk mencegah terciptanya kelas bawah yang sangat besar dan hilangnya hak-hak mereka, yang akan mengganggu stabilitas di kawasan itu selama beberapa dekade mendatang.
Pemotongan bantuan saat ini, yang telah menurunkan dukungan menjadi hanya $3 (tidak sampai Rp50.000) per orang per bulan, tidak hanya tidak bertanggung jawab, tetapi juga merugikan diri sendiri.
Pemerintah Bangladesh secara historis telah membatasi akses muhajirin Rohingya ke pendidikan formal, dengan alasan kekhawatiran tentang integrasi permanen.
Anak-anak hanya diizinkan berada di pusat pembelajaran informal dengan menggunakan kurikulum dasar. Namun, sistem yang sudah terbatas ini pun kini juga sedang dibongkar.
Meskipun Dhaka tentu saja takut akan segala hal yang dapat mengganggu proses pemukiman kembali dalam jangka panjang, pemotongan dana pendidikan ini memberikan sinyal terburuk: dunia tidak lagi melihat Rohingya sebagai pihak yang layak untuk diinvestasikan.
Ada langkah-langkah yang jelas dan bisa dicapai yang dapat diambil oleh masyarakat internasional dan pemerintah lokal.
Pertama, pemulihan segera pendanaan untuk layanan pendidikan dasar melalui PBB dan organisasi nonpemerintah utama harus diprioritaskan.
Para donor utama, terutama AS, Uni Eropa, Inggris, dan negara-negara Teluk, harus mengakui bahwa pendidikan adalah garis depan stabilitas regional.
Kedua, Bangladesh harus melonggarkan pembatasan pendidikan formal dan mengizinkan penerapan penuh kurikulum nasional Myanmar di pengungsian.
Kurikulum ini, yang didukung oleh UNICEF, menawarkan anak-anak muhajirin Rohingya jalur menuju reintegrasi kembali ke Myanmar, yang sejalan dengan tujuan jangka panjang Bangladesh untuk proses repatriasi mereka.
Ketiga, PBB dan pemangku kepentingan di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia, harus mengadvokasi mekanisme pendanaan yang lebih berkelanjutan dan strategi pembangunan jangka panjang bagi bangsa Rohingya yang mengungsi.
Yakni dengan memastikan mereka diperlakukan tidak hanya sebagai beban, tetapi sebagai kontributor masa depan bagi perdamaian dan kemakmuran di kawasan tersebut.
Keempat, dana pendidikan Rohingya global dapat dibentuk—mekanisme gabungan multidonor yang difokuskan secara khusus pada perlindungan dan pemulihan pendidikan di kamp-kamp pengungsian, dengan pengawasan dari badan internasional untuk memastikan transparansi dan pelaksanaannya
Akhirnya, krisis ini lebih dari sekadar masa depan bagi 300.000 anak. Ini tentang apakah kita, sebagai komunitas internasional, siap untuk menegakkan tanggung jawab moral dasar kita? Atau apakah kita puas membiarkan seluruh bangsa Rohingya terpuruk?
Kita telah mengecewakan Rohingya ketika kita membiarkan genosida mereka terjadi di Myanmar. Mengecewakan mereka lagi di pengungsian dengan merampas harapan masa depan mereka adalah pengkhianatan yang berbeda, tetapi tidak kalah menghancurkannya.
Jika dunia tidak dapat mengumpulkan keinginan untuk mendanai pensil dan buku bagi anak-anak tanpa kewarganegaraan ini, lalu apa sebenarnya yang tersisa dari kemanusiaan kita bersama? (Arab News)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
