Rekomendasi Studi: Komunitas Internasional Harus Batalkan Pemotongan Bantuan untuk Rohingya
11 August 2025, 14:49.
MYANMAR (PHYS) – Komunitas internasional harus membatalkan pemotongan bantuan kemanusiaan untuk para muhajirin Rohingya dan bekerja sama dengan pemerintah Bangladesh untuk memperbaiki kondisi di kamp-kamp pengungsian.
Demikian rekomendasi sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Third World Quarterly.
Dijelaskan bahwa dua “pilihan yang sangat sulit” bagi bangsa Rohingya—kembali ke Myanmar di mana mereka menghadapi penindasan yang intens atau tetap tinggal di kamp-kamp pengungsian—sama saja dengan “kematian sosial,” menurut analisis tersebut.
Artinya, tindakan untuk mengatasi krisis Rohingya menjadi semakin mendesak.
Negara-negara lain harus memfasilitasi dialog antara Arakan Army (AA) dan muhajirin Rohingya dengan tujuan memastikan perlindungan hak asasi manusia mereka—termasuk hak untuk kembali ke rumah mereka di Arakan/Rakhine.
Studi yang dilakukan oleh Profesor Klejda Mulaj dari Universitas Exeter menyatakan bahwa martabat dan kelangsungan hidup Rohingya tidak dapat dijamin hanya dengan tindakan amal.
Komunitas internasional harus menekan para penguasa baru di Naypyitaw dan Sittwe untuk mengakhiri penindasan terhadap penduduk Rohingya.
Yakni dengan mengakui penindasan terhadap mereka dan memberikan ganti rugi; menetapkan hak kewarganegaraan Rohingya dan mengizinkan mereka kembali ke tanah air mereka secara bermartabat.
Mengusir Rohingya dari Myanmar berisiko meningkatkan ketidakstabilan dan kekerasan regional. Sementara itu, kekerasan yang berkepanjangan terhadap Rohingya telah berubah menjadi kekerasan terhadap banyak kelompok lain di Myanmar.
Profesor Mulaj mengutarakan, “Genosida terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar adalah salah satu tragedi terbesar pada zaman kita. Marginalisasi, persekusi, dan pengusiran minoritas yang terzalimi ini telah berlangsung selama lebih dari enam dekade.
Bencana hak asasi manusia ini merupakan akibat dari kebijakan dan ideologi negara yang berbasis nasionalisme, yang telah memengaruhi proses pembangunan negara-bangsa Burma.
Ketidakamanan dan pengabaian terhadap etnis Rohingya dikonstruksi secara sosial melalui kebijakan resmi yang ikut didukung oleh mayoritas umat Buddha, lanjutnya.
“Mendidik masyarakat dunia tentang pengusiran Rohingya adalah titik awal untuk melawan pengabaian internasional terhadap mereka dan menarik perhatian pada kebutuhan mendesak guna menghentikan rentetan kekerasan terhadap mereka.”
Penelitian tersebut menyatakan bahwa meningkatnya kekerasan terhadap Rohingya sejak tahun 1970-an—yang berpuncak pada genosida pada tahun 2010-an—disebabkan oleh “ekspresi negatif kekuasaan dalam lingkungan totaliter” dan ideologi nasionalis eksklusif; yang telah membingkai Rohingya sebagai orang buangan.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa bangsa Rohingya telah diasingkan selama upaya membangun—secara eksklusif—negara-bangsa serta identitas nasional yang berpusat pada agama dan budaya Buddha.
Profesor Mulaj menuturkan, di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, tanpa ajaran Buddha dan kedekatan budaya dengannya, Rohingya telah menjadi pihak yang ditakuti.
Rezim-rezim Myanmar/Burma yang berkuasa secara bergantian telah mengisolasi, meminggirkan, merampas, menganiaya, dan mengusir Rohingya sejak tahun 1970-an melalui berbagai kebijakan negara yang terarah dan chauvinistik, yang telah diabadikan dalam undang-undang negara.
“Kedaulatan di Myanmar telah dijalankan dengan cara-cara yang koersif, dengan menggunakan undang-undang diskriminatif yang telah menyebabkan pencabutan hak dan penolakan kewarganegaraan sehingga menciptakan kerangka bagi pengucilan menyeluruh terhadap etnis Rohingya,” ujar Profesor Mulaj.
Proses ini dimungkinkan berkat hubungan langsung antara hukum dan kekerasan, yang telah menyebabkan diskriminasi, ketidakamanan, dan pengusiran paksa terhadap orang-orang Rohingya.
Dengan demikian, menurut Profesor Mulaj, mengingat situasi yang terus bergejolak di Arakan/Rakhine dan Myanmar saat ini, satu-satunya respons yang layak terhadap kesulitan yang dihadapi Rohingya bukanlah memulangkan mereka ke Rakhine jika tanpa ada jaminan hak asasi manusia—dan yang terutama, hak kewarganegaraan mereka. (PHYS)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
