Membangun Kembali Suriah di Tengah Berbagai Keterbatasan

1 September 2025, 08:51.

SURIAH (Intersos) – Rakyat Suriah telah hidup dalam kecamuk kekerasan dan perang sejak 2011, tahun yang menandai dimulainya kekerasan internal yang telah menyebabkan kehancuran dan pengungsian jutaan orang, serta tingginya jumlah korban jiwa dan cedera.

Meskipun terdapat periode-periode yang tampak tenang dan berbagai upaya untuk mencapai stabilitas selama bertahun-tahun, situasi sosial-ekonomi dan politik di negara tersebut tetap sangat kompleks, bahkan setelah terjadi penggulingan rezim bengis Bashar Assad pada Desember 2024.

Data kemanusiaan menunjukkan besarnya masalah ini. Menurut analisis terbaru OCHA (Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB), 16,5 juta Ahlu Syam Suriah membutuhkan bantuan.

Lebih dari 1,5 juta orang mengungsi secara internal, dan lebih dari 600.000 muhajirin telah kembali ke Suriah sejak akhir tahun lalu setelah jatuhnya rezim Assad.

Bahkan hingga saat ini, sebagian besar penduduk masih tunawisma dan tidak memiliki akses ke layanan dasar; seperti perawatan medis, air minum, makanan, dan pendidikan.

Di Tengah Krisis Regional

Konflik regional di Timur Tengah—sejak Oktober 2023 dunia telah menyaksikan serangan genosida membabi buta ‘Israel’ di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon—serta beberapa insiden yang melibatkan Yaman, Iran, dan Suriah sendiri berdampak pada tak mudahnya upaya mencapai keseimbangan politik dan sosial internal di Suriah.

Hal ini khususnya terlihat jelas dalam bentrokan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir antara suku Badui dan Druze di selatan negara itu, khususnya di wilayah selatan al-Suwaida, yang diikuti oleh intervensi militer ‘Israel’ dengan serangan terarah, yang berakhir dengan gencatan senjata antara kedua belah pihak.

Permusuhan internal juga sering terjadi di wilayah pesisir dan timur laut Suriah, yang menyebabkan banyak kematian dan cedera di antara penduduk sipil.

Ribuan orang terpaksa mengungsi, serta terjadi kerusakan parah pada infrastruktur, termasuk fasilitas penting, seperti rumah sakit dan sekolah.

Krisis ini semakin rumit karena akses kemanusiaan ke daerah-daerah terdampak masih sangat terbatas sehingga menghambat upaya untuk membantu ribuan orang yang menjadi korban.

Pembangunan Kembali yang Sulit

Dengan berakhirnya konflik yang telah berlangsung satu dekade dan pergantian pemerintahan, harapan akan perubahan nyata telah menyebar di antara Ahlu Syam Suriah, termasuk di antara mereka yang telah menemukan perlindungan di negara-negara tetangga, seperti Turkiye, Lebanon, dan Yordania.

Namun, kepulangan para muhajirin ke tanah air sangat membebani sistem ekonomi negara yang masih rapuh. Meskipun inisiatif rekonstruksi telah diluncurkan, kebutuhan bantuan kemanusiaan tetap tinggi dan mengkhawatirkan.

Setelah bertahun-tahun kekerasan, sebagian besar bangunan dan infrastruktur telah rata dengan tanah, rusak parah, atau bahkan tidak dapat digunakan lagi.

“Jika kita dapat menyusun skala prioritas untuk intervensi, kita harus mulai dengan memastikan kepulangan yang aman dan bermartabat bagi para pengungsi. Sekaligus menanggapi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak dari kelompok-kelompok yang paling rentan,” ujar Vincenzo Merlino, kepala beberapa proyek lembaga kemanusiaan Intersos di Suriah.

Selain kekurangan fasilitas yang berfungsi, terutama di bidang medis, terdapat kekurangan tenaga spesialis yang parah.

Data terbaru yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 70% dokter telah meninggalkan negara tersebut sejak awal krisis Suriah.

Sejak akhir tahun 2024, kepulangan muhajirin dari negara-negara tetangga maupun Eropa dan perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencari peluang hidup yang lebih baik semakin menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat terkait dengan konsep rekonstruksi.

Kembalinya para muhajirin baik yang mengungsi ke luar negeri maupun di dalam negeri membawa ancaman konflik lokal baru, sebagaimana dijelaskan Merlino.

“Kekerasan di Suriah juga menyebabkan kerusakan serius dalam hal pengakuan hak milik, yang telah sangat dikacaukan oleh pelanggaran yang meluas. Termasuk kasus perampasan ilegal dan penyitaan properti, penggusuran paksa, maupun komplikasi lainnya akibat ketidakjelasan proses dan layanan kelembagaan.”

Banyak muhajirin tidak memiliki dokumentasi yang tepat untuk menegaskan hak milik mereka. Akses ke rumah serta perselisihan antara penduduk yang mengungsi dan penduduk tetap juga menjadi sumber konflik, yakni terkait isu sosial, identitas, dan afiliasi agama.

Selain itu, terdapat diskriminasi gender, ketika norma hukum adat sering kali menghalangi perempuan untuk mengklaim hak miliknya.

Konflik ini telah mengakar dan memperkuat praktik-praktik eksklusi ini sehingga menyulitkan perempuan untuk melindungi dan menuntut hak-hak mereka.

Hal-hal lain yang menciptakan masalah keamanan internal juga mencakup banyaknya persenjataan yang belum meledak di lapangan, keberadaan kelompok bersenjata, kurangnya lapangan kerja, eksploitasi tenaga kerja, dan upah yang tidak memadai.

Membangun kembali kehidupan di Suriah tidaklah mudah. Keluarga-keluarga Suriah di Provinsi Hama dan Idlib, yang termasuk wilayah yang paling hancur akibat perang, telah melaporkan kondisi kehidupan yang sulit.

Perempuan dan kaum muda khususnya mengalami ketakutan dan ketidakpastian setiap hari, terkait dengan kesulitan dalam mengakses layanan dan memastikan keselamatan mereka.

Kemiskinan yang Meluas

Terdapat hubungan yang jelas antara buruknya akses layanan dasar dengan meningkatnya ancaman atas perlindungan psikologis dan fisik.

Salah satu faktor krusial adalah masalah ekonomi. Kemiskinan pada sebagian besar masyarakat berdampak pada terpinggirkannya mereka dari menikmati hak-hak dasar, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

Tim Intersos di lapangan menganalisis kebutuhan dan kondisi ekonomi warga Suriah. Dari survei terbaru mereka terhadap lebih dari 400 keluarga, 32% di antaranya menyatakan tidak memiliki sosok pencari nafkah.

Secara rata-rata, mereka bertahan hidup dengan sekira 85 euro (hampir 1,6 juta rupiah). Sementara itu, pengeluaran bulanan rata-rata sebuah keluarga mencapai sekira 180 euro (3,3 juta rupiah lebih),” jelas Merlino.

Defisit ekonomi yang sangat besar ini memengaruhi 78% keluarga yang dijangkau Intersos. Bahkan jumlahnya bisa lebih tinggi lagi, mengingat jumlah penduduk telah meningkat pesat dalam beberapa bulan terakhir akibat kepulangan para muhajirin.

Imbasnya, Intersos melaporkan fenomena lanjutan yang mengkhawatirkan, yaitu meningkatnya angka putus sekolah dan pekerja anak.

“Di komunitas tempat kami bekerja, anak laki-laki sering kali mulai bekerja di usia yang sangat dini, terutama jika tidak ada figur ayah dalam keluarga. Di sisi lain, anak perempuan rentan terhadap risiko ‘pernikahan dini’ dan kekerasan,” ungkap Merlino. 

Ada banyak prioritas kemanusiaan, mulai dari akses terhadap tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan pokok hingga kesempatan untuk belajar, dan membangun kembali sistem perawatan kesehatan. 

Memastikan pula bahwa perlindungan warga sipil menjadi inti dari proses rekonstruksi yang perlu diambil di negara yang masih berupaya mewujudkan stabilitas dan perdamaian internal, terutama rakyat yang sudah kelelahan dan terluka oleh perang pengungsian, kekerasan, dan penolakan hak-hak fundamental selama bertahun-tahun. (Intersos)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Pemimpin Bangladesh Gaungkan Rencana Pemulangan 1,3 Juta Warga Rohingya secara Aman dan Berkelanjutan
Opini Publik Amerika Bergeser, 60 Persen Gen-Z Mendukung Hamas Dibanding Zionis  »