“Neraka Bawah Tanah”: Kesaksian Seorang Tawanan Palestina yang Bebas dari Penjara Zionis
24 October 2025, 21:26.

Foto: QNN
GAZA (Quds News Network | PIC) – Dalam ujian panjang para tawanan Palestina dari Gaza—dimulai dengan jebakan di Koridor Netzarim, melewati barak-barak di sekitar Gaza, hingga pusat-pusat interogasi di Penjara Ofer, dan akhirnya hingga tahap akhir ditawan di Penjara Rakefet bawah tanah yang terkenal kejam di Kota Ramla, seorang tawanan Palestina yang telah bebas berinisial M.N., mengungkapkan kesaksian yang didokumentasikan oleh Kantor Media Asra (AMO).
Melalui kesaksian tersebut, terungkap satu dari sekian penghinaan, penyiksaan, dan praktik brutal yang dilakukan oleh serdadu penjajah Zionis terhadap warga Palestina yang diculik dari Jalur Gaza.
M.N. memulai kesaksiannya dengan mengatakan bahwa “kesaksian harus sampai ke telinga nurani yang hidup, mungkin kesaksian kami dapat membantu menyelamatkan ribuan para tawanan Palestina yang masih ada di penjara.”
Ia menceritakan penderitaannya saat penangkapan: “Pada 16 November 2023, saya ditangkap oleh gerombolan serdadu penjajah di pelintasan jebakan, yang mereka sebut sebagai ‘koridor aman’ di pos pemeriksaan Netzarim.”
Ia menggambarkan saat-saat awal penculikan sebagai hal yang merendahkan martabat dan tidak manusiawi: penggeledahan tak henti, penghinaan, dan pelecehan verbal. Pemindahan dari Koridor Netzarim ke sebuah barak di Gaza, katanya, “memalukan dan merendahkan martabat—bahkan tidak layak dilakukan untuk hewan.”
“Para pemuda Gaza [yang diculik oleh serdadu penjajah] ditutup matanya, diborgol, dan dibelenggu. Mereka dipaksa berlutut, dilarang berbicara atau bergerak,” ungkapnya. M.N. menganggap dirinya beruntung hanya menghabiskan satu hari di barak tersebut, ia mendoakan para tawanan yang masih di sana di bawah penyiksaan penjajah.
Ia melanjutkan: “Setelah itu, saya dipindahkan ke Penjara Ofer, tempat dimulainya fase interogasi yang berlangsung sekitar enam minggu. Periode itu sangat berat. Para interogator menggunakan detektor kebohongan, menipu kami agar percaya bahwa jawaban kami salah agar dapat memperoleh pengakuan lebih lanjut.”
Bagian 23 dan 10 di Penjara Ofer
M.N. menjelaskan bahwa para tawanan Gaza ditempatkan di dua bagian di dalam Penjara Ofer:
“Bagian 23 diperuntukkan bagi para tawanan baru, mereka diperlakukan dengan sangat kejam. Anda dapat terus-menerus mendengar umpatan dan pemukulan, tiga kali sehari, yang mengakibatkan pendarahan dan cedera tanpa perawatan medis. Kami tidak diberi hak untuk mandi, berganti pakaian, atau menerima makanan yang cukup.”
Mengenai Bagian 10, bagian isolasi, ia menggambarkannya sebagai berikut:
“Ruang itu berisi lima kamar berukuran kecil yang dirancang untuk dua atau tiga orang, tetapi selama perang, sekitar 30 tawanan dijejalkan di dalamnya, rata-rata delapan orang per kamar dengan ukuran tidak lebih dari tiga meter, termasuk toilet.”
Dindingnya runtuh, kelembapan menyusup masuk selama musim dingin, panas yang tak tertahankan memenuhi ruangan pada musim panas, dan kebersihan di ruangan tersebut sama sekali tidak ada.
“Serdadu penjajah membelenggu setiap dua tawanan pada kaki mereka dari pukul 4 pagi hingga lewat tengah malam. Kami hanya bisa tidur selama empat jam di atas kasur yang kotor dan lembap, yang tidak cukup untuk semua orang.”
Penjara Rakefet, Penjara Bawah Tanah
Ia menggambarkan Ofer sebagai “salah satu stasiun neraka yang membuka jalan bagi sesuatu yang jauh lebih buruk.” Pada 10 September 2024, sebuah bagian isolasi baru yang dikenal sebagai Rakefet dibuka, terletak di bawah tanah di dalam Penjara Nitzan di Kota Ramla.
“Sekitar 28 hingga 30 tawanan dari Seksi 10 di Ofer dipindahkan ke Rakefet dalam kondisi brutal, dipukuli dan diskors sejak mereka tiba. Kemudian, 40 hingga 45 tawanan lainnya dari Bagian 23 dipindahkan dalam kondisi serupa.”
Kedatangan kami terasa seperti kisah penderitaan, pendarahan, luka, patah tulang, dan siksaan yang tak terlukiskan. Penderitaan terus berlanjut di sana, penghinaan, pemukulan, kelaparan, dan kurang tidur, di sebuah fasilitas yang terdiri dari 25 kamar, masing-masing berukuran tak lebih dari 3×2 meter. Kamar-kamar itu hampir tak muat untuk dua orang, tetapi empat tawanan dijejalkan di dalamnya, satu dipaksa tidur di lantai.
Dari pukul 4 pagi hingga tengah malam, kasur-kasur disingkirkan, dan para tawanan dipaksa duduk di lantai kasar yang “sengaja dirancang untuk menimbulkan rasa sakit.”
“Kami duduk berlutut, kepala kami tertunduk ke tanah. Pertemuan langsung dengan para sipir adalah yang terburuk, mereka memborgol kami dari belakang setiap hari dengan dalih inspeksi, memindahkan kami dari satu ruangan ke ruangan lain atau membiarkan kami di tempat sambil memukuli dan menghina kami.”
Mengenai hal yang disebut para sipir “Israel” sebagai waktu rekreasi, M.N. mengatakan:
“Itu bukan istirahat seperti yang dipahami para tawanan, melainkan sebuah ruangan yang sedikit lebih besar dari sel, tanpa sinar matahari, tanpa udara, dan tanpa cahaya, tempat kami tetap terborgol. Kami dilarang salat, baik berjamaah maupun sendiri, bahkan dilarang membaca Al-Qur’an atau memanjatkan doa. Para sipir penjara tidak memberikan kami segala bentuk bantuan dan menghukum kami jika kami memanggil mereka atau meminta sesuatu.”
Kelalaian Medis yang Disengaja
M.N. menegaskan bahwa perawatan medis di Rakefet “tidak ada”: “Ketika kondisi kesehatan seorang tawanan memburuk, dokter baru dipanggil setelah penundaan dalam waktu yang lama, dan itu pun tidak diberikan perawatan yang tepat. Infeksi kulit dan kudis menyebar luas di antara para tawanan akibat kelalaian. Kami dipaksa menghina pemimpin, keluarga, dan kehormatan kami.”
“Para sipir sering menyemprotkan gas merica ke dalam kamar, meski ada yang menderita penyakit pernapasan atau kondisi kronis. Para lansia dan mereka yang sakit kronis hidup dalam kondisi yang sungguh tragis,” M.N. menambahkan.

Foto: PIC
Pada bulan Mei 2025, Kantor Media Asra (AMO) menyatakan bahwa yang terjadi di penjara bawah tanah Rakefet di Ramla hanya dapat digambarkan sebagai pelanggaran berat hukum humaniter internasional dan pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa, yang tetap mewajibkan “Israel” untuk melindungi para tawanan dan tidak menyiksa mereka.
AMO menjelaskan dalam sebuah pernyataan bahwa para tawanan Gaza menjadi sasaran penyiksaan sistematis dan perampasan hak asasi manusia yang disengaja, termasuk hak atas pengadilan yang adil, kunjungan keluarga dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan martabat manusia.
“Di bawah tanah, tempat kebijakan penghinaan dan pemerasan dijalankan, penjara bukan lagi tempat hukuman, melainkan alat pemusnahan psikologis dan fisik. Kunjungan pengacara, yang diselenggarakan di bawah kendali ketat, merupakan jendela sempit yang memungkinkan dunia melihat neraka yang sunyi,” tegasnya.
AMO menggambarkan yang terjadi di bagian Rakefet sebagai hukuman bagi para tawanan berupa kehidupan dalam kegelapan yang tak berujung. (Quds News Network | PIC)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
