Generasi yang Hilang: Genosida Zionis Selamanya Melukai Anak-Anak Gaza
24 October 2025, 21:33.

Jihad Mahmoud (3), kehilangan kaki dan tiga jarinya akibat serangan udara penjajah Zionis. Foto: Hani Alshaer/Anadolu Agency
GAZA (Quds News Network) – Di Gaza, masa kanak-kanak telah menjadi medan perang. Dalam keheningan gencatan senjata yang meresahkan, suara perang masih terngiang di tubuh dan pikiran mereka. Tubuh-tubuh mungil mereka menyisakan luka perang yang tak pernah mereka pilih. Sejumlah anak tidur di tenda-tenda yang didirikan di samping pemakaman—sebuah tenda menampung seluruh keluarga mereka. Yang lain terbangun dalam kegelapan, kelaparan, kehilangan anggota tubuh, rumah, atau keluarga yang mereka cintai.
Serangan penjajah Zionis telah meninggalkan luka yang dalam dan tak dapat dipulihkan pada 2,4 juta penduduk Gaza—terutama pada anak-anak—yang mencakup hampir separuh populasi. Penderitaan mereka bersifat fisik, psikologis, hingga lintas generasi.
Selama dua tahun, genosida Zionis telah mengubah hidup, bahkan menyebabkan kematian puluhan ribu anak di Jalur Gaza. Dunia mungkin belum memahami skala dampak genosida ini, hingga setiap kesaksian dan masing-masing kisah tersebut didokumentasikan.
Quds News Network (QNN) berkesempatan mewawancarai sejumlah tenaga medis profesional dan keluarga yang anak-anaknya mengalami luka permanen, kisah mereka mengungkap bagaimana serangan penjajah Zionis—yang sering kali dilancarkan dengan senjata buatan AS—telah menghancurkan tubuh sekaligus masa depan anak-anak, bahkan sebelum anak itu lahir.
Tubuh-Tubuh Mungil yang Terluka
Saat langit di atas Gaza bergemuruh dengan rudal, pembantaian pun terjadi. Ribuan anak dibantai, sementara yang selamat berakhir dengan kondisi cacat, diamputasi, atau luka bakar.
Zaher Al-Wahidi, Direktur Unit Informasi di Kementerian Kesehatan, mengatakan kepada QNN bahwa sekitar 170.000 orang terluka, hampir 44.000 di antaranya anak-anak. Delapan belas persen berada dalam kondisi kritis, membutuhkan rehabilitasi jangka panjang untuk cedera, seperti amputasi, patah tulang, luka bakar, dan trauma otak.
Hala Shukri Dahleez (12) sedang bermain ayunan ketika sebuah rudal “Israel” menghantam area di dekatnya. “Rambut saya tersangkut di rantai ayunan,” kisahnya. “Ketika rantainya terbalik, kulit kepala saya tercabut bersama rambut saya.”
Ibunya mengatakan prosedur yang berulang kali dilakukan gagal menyembuhkan kulit kepalanya. Infeksi semakin parah, membuat Hala terus-menerus kesakitan.

Hala Shukri Dahleez (12). Foto: QNN
Al-Wahidi mengonfirmasikan bahwa lebih dari 5.000 warga Palestina mengalami amputasi, termasuk 1.200 anak-anak. Ubaidah Atwan (15), kehilangan tangan dan kaki kanannya dalam serangan udara di Khan Yunis, Gaza Selatan. “Sebelum perang, dia belajar dan bermain sepak bola,” ungkap ayahnya. “Sekarang ia menggunakan kursi roda, mencoba belajar bagaimana hidup kembali.”
Anak-anak seperti Ubaidah membutuhkan tangan dan kaki prostetik serta rehabilitasi, tetapi Gaza bahkan kekurangan pasokan medis dasar akibat blokade penjajah Zionis yang sampai saat ini masih berlangsung.

Ubaidah Atwan. Foto: QNN
Muhammad Abu Akar, anak lain yang diamputasi, terluka akibat serangan udara Zionis saat ia mengambil air bersama keluarganya. Ayahnya, Akram, mengenang momen yang mengubah segalanya: “Dia terus bertanya kepada saya, ‘Kapan kaki saya akan tumbuh lagi?’”
Karena tidak dapat menemukan perawatan di sistem kesehatan Gaza yang kolaps, Akram hanya bisa menyaksikan impian putranya pudar.
Beberapa anak yang terluka, termasuk Ubaidah dan Muhammad, kemudian dievakuasi ke luar negeri dan dipasangi tangan ataupun kaki prostetik. Namun, lebih dari 1.200 lainnya masih terjebak di Gaza, menunggu gerbang perbatasan dibuka. Pemulihan mereka terombang-ambing antara hidup dan mati.

Muhammad Abu Akar. Foto: QNN
Dima Abu Shakian, 11 tahun, diselamatkan dari reruntuhan setelah delapan jam terjebak reruntuhan rumahnya yang dibom Zionis. Ia terbangun dari koma tiga minggu dengan luka bakar, patah tulang, dan jari kaki yang hilang, hanya untuk mengetahui bahwa seluruh keluarganya telah syahid.
“Kami hanya berharap suatu hari nanti ia bisa berjalan lagi,” kata bibinya.

Dima Abu Shakian (11). Foto: QNN
Luka Kekurangan Gizi
Sejak dimulainya genosida dan blokade Zionis di Jalur Gaza, Gaza telah dilanda kelaparan. Makanan telah menjadi kenangan dan impian para keluarga di Gaza. Keluarga-keluarga bertahan hidup hanya dengan kacang adas (lentil), jika ada.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, hingga saat ini, 650.000 anak berisiko meninggal dunia akibat kekurangan gizi, termasuk 40.000 bayi yang tidak mendapatkan susu formula. Lebih dari 5.200 anak membutuhkan evakuasi medis segera.
Ruba Umar, seorang petugas kesehatan masyarakat di Asosiasi Kemanusiaan Ard Al-Insan, menyatakan bahwa bahkan anak-anak dengan alergi gandum pun berisiko tinggi meninggal dunia karena alternatif, seperti tepung jagung tidak lagi tersedia. “Kami telah mencatat tiga kematian hanya karena alergi gandum,” ungkapnya.
Seorang anak bernama Huda Abu Al-Naja (8), memiliki berat badan 30 kilogram sebelum genosida. Ibunya mengatakan Huda tidak pernah membutuhkan dokter sampai blokade Zionis dimulai. “Ketika makanan habis, berat badannya mulai turun, rambutnya rontok, kulitnya mengelupas,” kata ibunya. Huda didiagnosis menderita kekurangan gizi akut. Setelah tujuh bulan menderita menanti gerbang perbatasan Rafah dibuka, ia akhirnya meninggal dunia.

Huda Abu Al-Naja (8). Foto: QNN
Seleen Wadi, seorang anak di bawah usia dua tahun, menderita kekurangan gizi parah dan kekurangan protein, serta albumin yang kritis. Tubuhnya yang lemah menunjukkan pembengkakan parah di kakinya. Ibunya mengatakan Seleen tidak dapat berjalan atau melakukan aktivitas fisik apa pun. “Saya berdoa agar dia pulih setelah kami dapat mengakses makanan, buah-buahan, air mineral, daging, dan telur,” tambahnya.

Seleen Wadi (1). Foto: QNN
Di Kompleks Medis Nasser, terapis fisik Yara Muhammad melakukan survei terhadap keluarga-keluarga pengungsi di Khan Yunis, Gaza Selatan. “Kami memeriksa 400 anak dalam satu hari,” katanya. “Dua puluh tiga anak mengalami kekurangan gizi. Sebagian besar tidak dapat berjalan atau merangkak pada usia normal.
Yara menjelaskan bahwa blokade juga telah menghentikan vaksinasi. Penjajah Zionis mencegah masuknya vaksin rotavirus, yang melindungi anak-anak dari diare kronis, kondisi yang semakin memperburuk kekurangan gizi. “Bahkan pisang, yang membantu memulihkan kalium, tidak juga kami temukan,” tambahnya.
Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan melaporkan 453 kematian akibat kekurangan gizi, termasuk di antaranya 150 anak-anak. Hanya 80% penduduk Gaza yang masih divaksinasi. Anak-anak sekarang menghadapi ancaman ganda berupa kelaparan dan penyakit—baik menular maupun tidak menular.
Luka pada Bayi yang Belum Lahir di Gaza
Bahkan, bayi yang belum lahir pun tak luput dari dampaknya.
Dr. Ziyad Abu Taha, seorang dokter kandungan di Kompleks Medis Nasser, menyatakan bahwa pengeboman, blokade, dan pengusiran paksa oleh penjajah Zionis telah menyebabkan lonjakan kasus keguguran, kelahiran prematur, dan cacat lahir. Pada tahun 2025 saja, tercatat sejumlah 400 kasus cacat lahir.
Ia menjelaskan bahwa bahan kimia beracun dari senjata “Israel” menjadi salah satu penyebab utama anemia dan menghambat pertumbuhan janin pada ibu hamil di Jalur Gaza. Bayi-bayi lahir dengan cacat otak dan jantung, serta hidrosefalus. Trauma dan kekurangan gizi pada ibu hamil telah meningkatkan masalah kesuburan dan keguguran.
Sementara itu, Bidan Dina Qeshta dari Rumah Sakit Palang Merah Lapangan di Khan Yunis mengungkapkan penghancuran satu-satunya pusat IVF dan fertilitas di Gaza oleh penjajah Zionis telah menyebabkan para ibu dan calon ibu di Gaza kehilangan akses terhadap layanan reproduksi.
“Pemadaman listrik dan inkubator yang penuh sesak memaksa para ibu melahirkan di tenda-tenda,” ujarnya. “Banyak yang meninggal sebelum sampai di rumah sakit.”
Di sisi lain, sumber-sumber medis melaporkan peningkatan tajam kasus malformasi kongenital, yang menghubungkan lonjakan tersebut dengan ibu hamil yang menghirup gas beracun dan radiasi dari pengeboman “Israel”.
Menurut dr. Muhammad Abu Afash, Direktur Bantuan Medis di Kota Gaza dan Gaza utara, tingkat kelainan janin telah melampaui 25%, angka yang “mengkhawatirkan, berbahaya, dan belum pernah terjadi sebelumnya.”
Ia menyebutkan kasus-kasus yang mengejutkan, termasuk janin yang lahir dengan setengah tengkorak, dan kasus lainnya yang menderita cacat mata dan pernapasan atau kehilangan anggota tubuh, di samping peningkatan kasus keguguran dini dan kelahiran prematur.
Abu Afash memperingatkan adanya ancaman serius terhadap nyawa setidaknya 150.000 perempuan hamil di Jalur Gaza akibat paparan racun dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Ia juga mencatat tidak adanya peralatan diagnostik untuk mendeteksi cacat lahir sejak dini, setelah “Israel” menghancurkan laboratorium dan klinik, serta memblokir suplai medis.
Dr. Marwan Al-Hams, Direktur Jenderal Rumah Sakit di Gaza, mengatakan bahwa angka kelainan janin telah melampaui tingkat normal global, tercatat sekitar 200 kasus per 1.000 kelahiran, dibandingkan dengan rata-rata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 40 kasus.
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa lebih dari 55.000 anak lahir selama 18 bulan terakhir, termasuk 144 kasus malformasi kongenital yang terdokumentasi.
Menurut Dr. Munir Al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, kelainan ini kemungkinan terkait dengan senjata baru “Israel” yang diuji coba langsung kepada warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Dari amputasi hingga kelaparan dan kelainan janin, anak-anak Gaza menanggung beban terberat dari genosida penjajah Zionis. Penderitaan mereka tidak berakhir dengan gencatan senjata, melainkan hal ini justru menjadi hal yang biasa bagi mereka (new normal). (Quds News Network)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
