Sudan Mencekam: Jumlah Warga Sipil Korban Ranjau dan Bahan Peledak Terus Meningkat
16 November 2025, 14:45.

Seorang anak duduk di samping kompor di Tawila setelah keluarganya mengungsi dari El Fasher. Mereka menghadapi “kengerian yang tak terbayangkan,” lapor badan-badan PBB. Foto: UNICEF/Mohammed Jamal
SUDAN (news.un.org) – Berapa banyak warga sipil yang masih terperangkap di Kota El Fasher, Sudan?
Itulah pertanyaan yang menyayat hati ribuan keluarga yang berharap mendapat kabar dari kerabat mereka—orang-orang yang diyakini masih terjebak di dalam kota itu—setelah kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merebut ibu kota regional Darfur Utara bulan lalu, usai pengepungan selama 500 hari.
Pengepungan brutal itu membuat warga terpaksa memakan kulit kacang dan pakan hewan demi bertahan hidup, kata Kepala HAM PBB Volker Türk, Jumat (14/11/2025).
Ia sekaligus mengecam pembantaian massal warga sipil, eksekusi berdasarkan etnis, dan kekejaman lainnya—yang kemungkinan besar masih berlangsung hingga saat ini.
Berbicara di Dewan HAM PBB di Jenewa, Türk mengatakan bahwa jejak darah di tanah El Fasher bisa terlihat dari luar angkasa.
“Kami sudah memperingatkan bahwa jatuhnya kota ini ke tangan RSF akan menghasilkan pertumpahan darah,” ujarnya, menyerukan tindakan internasional segera untuk menghentikan kekerasan.
“Semua pihak yang terlibat perang ini harus tahu: kami melihat kalian, dan keadilan akan datang,” tegasnya.
Terjebak, Tanpa Perlindungan
Menurut badan pengungsi PBB, UNHCR, hampir 100.000 orang telah melarikan diri dari El Fasher dan desa-desa sekitarnya hanya dalam dua pekan terakhir.
“Mereka terjebak entah di mana,” kata Kepala Sub-Office UNHCR di Port Sudan, Jacqueline Wilma Parlevliet.
Keluarga yang tiba di Tawila, sekira 50 km dari El Fasher, menceritakan kengerian tak terbayangkan yang mereka alami sebelum dan setelah melarikan diri.
Melapor kepada jurnalis di Jenewa, Parlevliet menyoroti banyaknya laporan pemerkosaan dan kekerasan seksual dari para penyintas, serta kondisi mencekam di lapangan.
“Orang tua mencari anak-anak mereka yang hilang. Banyak yang trauma akibat perang dan perjalanan berbahaya menuju tempat aman. Karena tidak mampu membayar tebusan, keluarga-keluarga kehilangan anak laki-laki mereka—ditangkap atau dipaksa bergabung dalam kelompok bersenjata,” jelasnya.
Mereka yang mencoba keluar dari El Fasher harus menempuh perjalanan memutar, menghindari pos-pos militer, berjalan hingga 15 hari dengan nyaris tanpa makanan atau air, sebelum sampai ke daerah seperti Ad-Dabbah di negara bagian utara.
Kota kecil di tepi Sungai Nil itu kini menampung sedikitnya 37.000 orang dari El Fasher, dan ribuan lainnya diyakini sedang dalam perjalanan.
Ada pula laporan bahwa kelompok bersenjata memaksa sebagian warga kembali ke El Fasher, padahal kondisi hidup sama sekali tidak layak, menurut UNHCR.
“Ribuan orang—terutama lansia, penyandang disabilitas, dan yang terluka—masih terperangkap. Mereka dicegah keluar dari kota, atau tidak memiliki kemampuan untuk melarikan diri,” ujar Parlevliet.
Krisis dengan Skala yang Mencengangkan
Sudan kini menjadi krisis perpindahan paksa terbesar di dunia, dengan lebih dari 12 juta orang terusir baik di dalam maupun luar negeri.
Bagi mereka yang mencoba kembali ke rumah di wilayah lain, ancaman dari ranjau dan sisa bahan peledak sangat besar, kata UN Mine Action Service (UNMAS).
Di negara bagian Kurdufan Selatan, Kurdufan Barat, dan Blue Nile saja, 13 juta km² tanah di sana telah tercemar bahan peledak.
“Banyak negara terdampak sisa-sisa peperangan, tetapi Sudan berbeda. Kenapa? Karena perangnya terjadi terutama di area perkotaan,” kata Kepala UNMAS Sudan, Sediq Rashid, dari Port Sudan.
Di ibu kota Khartoum saja, risikonya meliputi amunisi yang gagal meledak, ranjau antikendaraan, hingga ranjau antipersonel.
Keluarga-keluarga pengungsi menjadi kelompok yang sangat rentan—mereka sering pindah ke daerah yang tidak mereka kenal, tanpa informasi apa pun mengenai sisa-sisa peperangan yang mematikan itu.
Sementara jumlah warga sipil yang menjadi korban ranjau dan bahan peledak terus meningkat.
“Kami tahu bahwa angka yang dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari skala sesungguhnya,” tegas Rashid. (news.un.org)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
