Pemukim Zionis: ‘Gaza Adalah Warisan Leluhur Kami. Gaza Akan Dihuni Orang Yahudi’
25 December 2025, 08:39.

Gerombolan pemukim haram “Israel” menyalakan lilin untuk Hanukkah di sebuah bukit yang menghadap ke Jalur Gaza di Sderot, “Israel” selatan, 18 Desember 2025 (AFP/Ilia Yefimovich)
(Middle East Eye) – Para pemukim haram Yahudi dari organisasi Nachala berkumpul di dekat pagar pembatas “Israel” dengan Gaza pada hari Kamis, 18 Desember 2025 untuk sebuah acara bertajuk “Mengibarkan Bendera di Gaza”.
Seperti namanya, tujuan mereka adalah mendirikan permukiman haram Yahudi di wilayah yang terkepung tersebut, yang telah diratakan dengan tanah oleh serdadu “Israel” selama lebih dari dua tahun pengeboman.
Acara tersebut berlangsung di titik pengamatan Sderot, sebuah lokasi yang menghadap ke Jalur Gaza dari Kota Sderot di selatan “Israel”.
Jalan menuju tempat pengamatan tersebut telah menjadi destinasi wisata populer bagi warga “Israel” yang ingin menyaksikan secara langsung kehancuran yang ditimbulkan oleh serdadu “Israel” di Gaza.
Saat mendaki ke tempat pengamatan dan melihat ke arah utara Gaza, tidak ada rumah yang terlihat di cakrawala—hanya matahari terbenam pada malam yang dingin.
Semuanya telah diratakan secara sistematis oleh serdadu “Israel” selama genosida yang masih berlangsung di Gaza.
Beberapa ratus orang yang berkumpul untuk acara ini sebagian besar adalah orang-orang “religius”.
Para penyelenggara dari Nachala membagikan sufganiyah—kue tradisional Hanukkah—ketika gerombolan pemukim haram berdatangan dengan bus dari permukiman haram di Tepi Barat terjajah dan dari dalam wilayah yang kini disebut “Israel”.
‘Gaza harus menjadi milik Yahudi’
Ketika acara dimulai, salah seorang penyelenggara mengatakan bahwa “pengorbanan” serdadu “Israel” yang tewas di Gaza tidak akan sia-sia.
“Gaza adalah bagian dari warisan leluhur kami, dan kami telah kembali ke sana untuk tinggal di sana selamanya. Gaza akan dihuni oleh orang Yahudi. Gaza adalah milik kami,” tambahnya.
Arnon Segal, seorang pemukim haram dari Yerusalem (Baitul Maqdis) Timur terjajah, tiba di Sderot bersama anak-anaknya, “Karena kami menghargai arah pemikiran yang datang dari sini, bahwa Gaza harus menjadi Yahudi,” ujarnya.
Segal mengatakan kepada Middle East Eye (MEE) bahwa awal permukiman haram Yahudi di Tepi Barat terjajah 50 tahun lalu “terlihat seperti mimpi yang tidak realistis,” seraya menambahkan, “Kami sudah pernah berada di Gaza, ini hanya soal keputusan.”

Sderot merupakan destinasi wisata bagi warga “Israel” yang ingin menyaksikan kehancuran di Gaza (AFP/Jalaa Marey)
“Masa depan milik para pemimpi,” kata Segal, mengungkapkan harapannya agar permukiman haram Yahudi segera dibangun kembali.
Dia optimistis, katanya, karena saat ini “ada cukup banyak pemuda yang berdedikasi” untuk dapat menetap di Gaza.
“Pada akhirnya, lapisan politik yang tepat akan datang dan menyetujui tuntutan ini. Mereka yang bersedia berkorbanlah yang menentukan realitas di lapangan.”
‘Warisan leluhur’
Para penyelenggara ingin menerobos pagar pembatas ke Gaza dan mengibarkan bendera di lokasi permukiman haram Nisanit yang pernah berdiri di utara Kota Gaza, tetapi tidak dapat melakukannya karena tidak mendapatkan persetujuan dari Menteri Perang Israel Katz.
Dua pekan lalu, Benjamin Netanyahu dan Katz menghadapi tekanan untuk menyetujui pengibaran bendera di Nisanit, bahkan dari dalam partai Likud.
Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada menteri perang dan ditandatangani oleh menteri-menteri senior Likud, disebutkan bahwa negara-negara lain sedang berusaha mengambil “kendali atas Jalur Gaza”.
“Sudah waktunya untuk mengatakan dengan bangga: Gaza adalah bagian dari Tanah ‘Israel’, [dan] sepenuhnya milik rakyat ‘Israel’.”
Pekan lalu, Likud mengirimkan undangan untuk acara pemukim haram di Sderot, yang ditandatangani oleh para menteri dan anggota Knesset dari partai tersebut.
Dikirim selama liburan Hanukkah, undangan tersebut berbunyi: “Kita akan mengibarkan bendera ‘Israel’ bersama-sama dan menyatakan—kita tidak akan menyerahkan keamanan kita kepada orang lain—Gaza adalah milik kita selamanya!”
Meskipun mendapat dukungan ini, hanya satu anggota Knesset Likud yang hadir di Sderot, Osher Shekalim.
Selain Shekalim, anggota Knesset Limor Son Har-Melech dari partai Otzma Yehudit dan Menteri Permukiman Orit Strook dari partai Zionisme Agama juga hadir.
Bagi sebagian yang hadir, acara tersebut dimaksudkan untuk mengirim pesan kepada pemerintah dan masyarakat “Israel”.
Yehoshua Sokol, seorang pemukim haram dari Karnei Shomron di Tepi Barat terjajah, mengatakan kepada MEE bahwa ia datang karena “Gaza adalah warisan leluhur kami dan kami harus berada di sana.”
Sokol, yang tiba mengenakan kaus yang menyerukan permukiman di Lebanon, mengatakan bahwa “Lebanon juga merupakan warisan leluhur kami,” seraya menambahkan bahwa “hingga Sungai Litani adalah wilayah ‘Israel’.”
“Kami ingin menyampaikan pesan kepada pemerintah ‘Israel’ dan terutama kepada masyarakat ‘Israel’ bahwa Gaza adalah warisan leluhur kami. Ini bukan masalah keamanan.”
“Terlalu banyak orang di masyarakat ‘Israel’ yang terbiasa dengan gagasan bahwa ada perjanjian internasional,” kata Sokol, seraya menambahkan bahwa “perbatasan internasional tidaklah sakral. Setiap perbatasan internasional berlaku hingga perang berikutnya.”
Menyerbu Gaza
Meskipun tidak ada serangan ke Gaza dari Sderot, puluhan pemukim haram menerobos pagar dan memasuki Gaza di dua titik sepanjang pagar pembatas, sambil mengibarkan bendera, menurut laporan di Haaretz.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyerbu wilayah Gaza tengah dan selatan yang ditangkap oleh serdadu Zionis, menurut laporan tersebut.
Rekaman pengibaran bendera tersebut diunggah di media sosial.
“Semua orang yang ada di sini sedang berkompromi karena semua orang di sini ingin berada di dalam Gaza, mengibarkan bendera dan membangun rumah,” kata Daniella Weiss, kepala Nachala.
“Hari ini kami mendapat kehormatan untuk mengibarkan bendera ‘Israel’ di beberapa tempat. Bukan hanya serdadu, tetapi juga warga sipil, perempuan, dan anak-anak.”
Weiss mengatakan bahwa mengibarkan bendera “Israel” di Gaza adalah “ungkapan keinginan untuk mandiri dan tidak menerima perintah dari negara-negara dunia.”
Dia mengkritik intervensi internasional di Gaza menyusul kesepakatan gencatan senjata antara “Israel” dan Hamas yang dimediasi oleh AS.
“Gaza bukan Riviera milik Trump, bukan Riviera milik Amerika, ini adalah Riviera milik rakyat ‘Israel’.”
Menurut Weiss, “Israel” sekarang menghadapi era baru. “Era ketika kami akan kembali ke Gaza. Bukan orang Indonesia, bukan orang Turkiye, bukan orang Mesir, bukan negara lain, hanya rakyat ‘Israel’ yang akan memerintah Gaza.”
Kritik Weiss muncul di tengah semakin meningkatnya ketidaknyamanan di kalangan sayap kanan “Israel” terkait kesepakatan antara “Israel” dan Hamas, yang telah menimbulkan kekhawatiran di “Israel” akan pengaruh langsung Turkiye dan Qatar di Gaza.
Kritik serupa juga disuarakan oleh Sokol, yang mengatakan kepada MEE bahwa Presiden AS Donald Trump adalah “orang yang cerdas,” tetapi “semua keputusan harus menjadi keputusan kami.”
“Bangsa-bangsa di dunia,” kata seorang aktivis Nachala melalui pengeras suara, “menuntut agar kami meninggalkan bagian yang kami kuasai di Jalur Gaza dalam satu atau dua bulan. Dalam keadaan apa pun hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi,” katanya, seraya menambahkan, “kami perlu menetap di sana sekarang.”
Pemerintah “Israel” harus menyebabkan migrasi penduduk Gaza, katanya, seraya menambahkan bahwa “sayangnya pemerintah saat ini tidak mampu menahan tekanan internasional dan mengizinkan kami melakukan ini.”
Mengusir warga Palestina dari Gaza
Agenda lainnya adalah nasib warga Palestina di Gaza yang menghadapi ancaman berkelanjutan pembersihan etnis demi membuka jalan bagi permukiman haram “Israel”.
“Lihat, ini akan terjadi,” kata anggota parlemen Son Har-Melech. “Kami akan kembali dan menetap di Gaza.”
Son Har-Melech kemudian berbicara tentang “migrasi sukarela” warga Palestina, sebuah eufemisme “Israel” untuk pengusiran warga Palestina dari tanah mereka.
Menurut Son Har-Melech, warga Palestina bisa dipaksa untuk pergi.
“Yang dibutuhkan hanyalah kemauan. Ketika saya mengatakan ‘migrasi sukarela’, yang dibutuhkan hanyalah kemauan kami.”
Pada Juli lalu, Son Har-Melech menyelenggarakan konferensi di Knesset yang menyerukan pengusiran warga Palestina dari Gaza dan memaparkan rencana terperinci untuk permukiman haram Yahudi di sana.
Di antara beberapa orang yang menghadiri acara tersebut, ada kesepakatan tentang perlunya mengusir warga Palestina dari Gaza.
Segal mengatakan kepada MEE bahwa di Tepi Barat, seperti di Gaza, “Solusinya adalah migrasi sukarela mereka (warga Palestina). Pada akhirnya, kami ingin mendirikan negara Yahudi di sini.”
“Adapun mengenai orang Arab di Gaza,” tambah Segal, “saya tidak punya hati nurani setelah apa yang mereka lakukan kepada kami. Saya pikir mereka harus pergi, dan pada akhirnya mereka akan pergi.”
Sejarah Perang Dunia II mengajarkan Sokol bahwa “pihak agresor harus membayar. Mereka membayar dengan penderitaan, dan mereka membayar dengan wilayah.”
“Semuanya tergantung pada kemauan,” kata Sokol kepada MEE mengenai kemungkinan permukiman haram Yahudi di Gaza, sambil menekankan bahwa “mengusir 1,5 juta orang Arab dari Gaza” adalah hal yang mungkin.
Meskipun warga Palestina masih tinggal di Gaza, “Itu tidak berarti tidak mungkin untuk mendirikan permukiman di wilayah yang sudah dibebaskan,” kata Sokol kepada MEE, merujuk pada wilayah Jalur Gaza yang berada di bawah kendali serdadu Zionis.
“Itu adalah keputusan pemerintah ‘Israel’, tidak lebih,” kata Sokol. (Middle East Eye)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
