Misbah Abu Sbeih Tak Ingin Dipisahkan dari Masjidil Aqsha
13 October 2016, 16:30.

Misbah Abu Sbeih ditembak mati penjajah Zionis usai menembak dua warga ‘Israel’ di Timur Baitul Maqdis. Foto: Al Jazeera
PALESTINA, Kamis (Al Jazeera | Ma’an News Agency): Keluarga Misbah Abu Sbeih yakin, belenggu penjara, larangan memasuki Masjidil Aqsha dan Kota Tua yang mendorong Abu Sbeih melawan dengan menembak dua warga ‘Israel’.
Awal pekan ini, Misbah Abu Sbeih (39), ayah dari lima anak, mengendarai mobilnya di Timur Baitul Maqdis terjajah dan melakukan penembakan dari dalam mobil di dekat kantor polisi ‘Israel’. Ia menewaskan seorang warga ‘Israel’ dan petugas pasukan khusus dari unit “Yassam”, yang bertugas menumpas pergolakan di sebagian kota Palestina.
Petugas keamanan Zionis menghujani mobil Abu Sbeih dengan berondongan peluru –para saksi mata mengatakan sekitar 50 peluru– sehingga menewaskan ia. “Kami kehilangan salah seorang saudara di Baitul Maqdis dan seorang kakak. Ini merupakan kehilangan besar bagi kami semua,” kata adik Abu Sbeih, Tayseer, kepada Al-Jazeera Senin (10/10) lalu, dengan suara bergetar.
Ahad pagi, Abu Sbeih harus menyerahkan diri kepada petugas keamanan Zionis. Ia harus menjalani hukuman empat bulan penjara karena dituduh berupaya menabrak seorang serdadu Zionis pada 2013; sebuah tuduhan yang disangkal keluarganya. Alih-alih menyerahkan diri kepada penjajah, kata keluarganya, ia memilih untuk melawan. “Tekanan seperti ini mengakibatkan letupan. Misbah sudah mencapai titik puncaknya,” kata Tayseer. “Penjajahan bukanlah lingkungan yang normal atau alamiah – mereka harus menyalahkan diri mereka sendiri atas apa yang Misbah lakukan.”
Tak lama setelah Abu Sbeih melakukan serangan, putrinya yang berusia 17 tahun, Eiman, ditangkap pasukan Zionis. Sejak insiden tersebut, setiap hari penjajah Zionis menyerbu kota al-Ram di distrik Baitul Maqdis untuk menangkapi anggota keluarga Abu Sbeih dan menggeledah properti mereka. Akibat aksi brutal penjajah itu, masyarakat setempat berdemo di luar rumah-rumah yang dijadikan target sehingga memicu bentrokan dengan pasukan Zionis.
Ahad lalu, tujuh pemuda Palestina terluka saat terjadi bentrokan usai Abu Sbeih tewas –termasuk seorang fotografer Associated Press yang sedang meliput bentrokan. Senin lalu, serdadu Zionis juga melakukan pengukuran terhadap rumah Abu Sbeih sebagai persiapan untuk menghancurkannya. Saat penggerebekan ke dalam gedung milik keluarga Abu Sbeih Selasa subuh, para serdadu menyekap seluruh anggota keluarga di dalam satu kamar sambil menodongkan senjata kepada mereka. Selasa malam, empat pemuda Palestina ditembak dan terluka di al-Ram saat terjadi bentrokan.
Kemarin pagi, puluhan warga Palestina juga ditembak dan terluka oleh amunisi tajam atau peluru baja berlapis karet di al-Ram. Menurut kantor berita Wafa, sejumlah besar kendaraan militer Zionis menyerbu kota tersebut dan memicu bentrokan dengan pemuda setempat yang kemudian melempar batu ke arah kendaraan serdadu Zionis. Serdadu membalas lemparan batu itu dengan menembakkan amunisi tajam, peluru baja berlapis karet, dan gas airmata untuk membubarkan massa.
Singa Al-Aqsha
Abu Sbeih dilarang bepergian ke luar negeri, memasuki Kota Tua, serta kompleks Masjidil Aqsha oleh pengadilan ‘Israel’ di Baitul Maqdis. “Ia selalu menyerukan warga Palestina untuk melindungi al-Aqsha dari serangan warga ‘Israel’, dan mereka tidak menyukai itu,” lanjut Tayseer.
Bagi sebagian besar warga Palestina, menjaga kompleks Masjidil Aqsha bukan cuma soal agama, tapi juga bermakna nasionalisme. Menurut keluarga dan teman-temannya, Abu Sbeih ditangkap secara sistematis oleh pasukan Zionis karena aktivitasnya. Ia ditangkap empat kali dalam pekan yang sama –sebelum melakukan serangan– karena pergi ke Kota Tua dan mencoba shalat di pintu kompleks Masjidil Aqsha. “Mereka bahkan menangkapnya dua kali pada hari yang sama,” kata anak Abu Sbeih yang berusia 19 tahun. Sang anak mengatakan, penjajah menahan ayahnya di kantor polisi sekitar empat hingga 24 jam. “Merekalah yang harus disalahkan atas kejadian ini.”
Pada 2015, Abu Sbeih dipenjara selama 11 bulan. Penjajah mendakwanya melakukan “hasutan di Facebook” –sebuah klaim yang biasa digunakan oleh ‘Israel’ untuk memadamkan perlawanan warga Palestina terhadap penjajahan ‘Israel’. Keluarganya meyakini, penangkapan dan larangan memasuki Masjidil Aqsha, serta Kota Tua-lah yang mendorongnya melakukan perlawanan seperti itu. “Itu seperti mengeluarkan ikan dari air,” kata anak Abu Sbeih. Mereka mengatakan bahwa Abu Sbeih dikenal sebagai “singa al-Aqsha”. Teman lamanya, Amjad, mendeskripsikan Masjidil Aqsha bagi Abu Sbeih adalah “garis merah”. “Baginya, itu soal keimanan. Ia sangat protektif terhadap al-Aqsha dan ia akan menangis jika ‘Israel’ melarang ia memasukinya. Tidak mungkin dia akan menyerah.”
“Kami selalu memperingatkannya agar berhati-hati karena kami khawatir ia akan ditangkap. Ia mengatakan, ‘Jika kita mundur, apa contoh yang akan kita berikan pada generasi muda? Kita akan terlihat lemah di depan semua orang’,” kata Amjad.
Abu Sbeih merupakan warga Palestina ke-232 yang tewas oleh penjajah Zionis selama Intifadhah Al-Quds sejak Oktober tahun lalu. Bagi keluarga dan teman-teman Abu Sbeih, mereka akan mengingatnya sebagai orang yang berjuang demi tanah airnya. “Ya, pada akhir hari, kami berharap ia masih ada di sisi kami. Akan tetapi, ia memberikan kami alasan untuk mengangkat kepala kami,” kata anaknya.* (Al Jazeera | Ma’an News Agency | Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
