Ancaman dan Ketidakpastian di Pengungsian Dorong Muhajirin Rohingya Tempuh Perjalanan Berbahaya Lintasi Lautan

26 January 2023, 19:01.
Kawat berduri di sebuah kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh, 30 Desember 2022. Foto: REUTERS/Ruma Paul

Kawat berduri di sebuah kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh, 30 Desember 2022. Foto: REUTERS/Ruma Paul

BANGLADESH (Reuters) – Mohammed Ismail mengatakan empat kerabatnya dibunuh oleh pria bersenjata di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh antara April hingga Oktober tahun lalu.

Pada malam bulan September, dia hampir menemui nasib yang sama: sekelompok pria bertopeng menculiknya, memotong bagian lengan dan kaki kirinya dan membuangnya ke saluran pembuangan.

“Mereka berulang kali bertanya kepada saya, mengapa saya memberikan data pribadi mereka kepada polisi,” ucap Ismail, yang duduk di atas tikar plastik dengan kaki kirinya ditutupi perban dan kain putih, kepada Reuters di kamp pengungsi Kutupalong.

“Saya terus memberi tahu mereka bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang mereka dan tidak memberikan informasi apa pun.”

Sekira 730.000 Muhajirin Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh pada tahun 2017 untuk menghindari pembantaian brutal militer Myanmar.

Ditambah Muhajirin lain yang telah mengungsi pada tahun-tahun sebelumnya, hampir 1 juta warga Rohingya terpaksa tinggal di di puluhan ribu gubuk yang terbuat dari bambu dan lembaran terpal tipis.

Sekian tahun di pengungsian, semakin banyak Muhajirin Rohingya yang nekat meninggalkan Bangladesh untuk menuju negara-negara, seperti Malaysia dan Indonesia melalui perjalanan perahu yang berbahaya.

Mereka menempuh langkah tersebut karena meningkatnya kejahatan di kamp pengungsian, yang menambah masalah lama, seperti kurangnya akses pendidikan dan pekerjaan, serta gelapnya peluang untuk kembali ke tanah air yang dikuasai militer bengis Myanmar.

Kejahatan yang terjadi di kamp pengungsian–termasuk pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, perampokan, perdagangan manusia dan perdagangan narkotika–telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir, menurut data yang dibagikan secara eksklusif oleh polisi Bangladesh kepada Reuters. Pembunuhan meningkat menjadi 31 kasus pada tahun 2022, tertinggi dalam setidaknya lima tahun.

“Serangkaian pembunuhan pria Rohingya, termasuk beberapa pemimpin di kamp, telah memicu ketakutan dan kekhawatiran akan kelompok militan yang mendapatkan kekuasaan, serta otoritas lokal yang gagal menghentikan kekerasan yang meningkat,” jelas Dil Mohammed, seorang pemimpin komunitas Rohingya di kamp pegungsian.

“Itulah salah satu alasan utama di balik lonjakan warga Rohingya yang melakukan pelayaran laut yang berbahaya.”

Data UNHCR menunjukkan bahwa sebanyak 348 Muhajirin Rohingya dikhawatirkan telah meninggal di laut pada tahun 2022, menjadikannya salah satu tahun paling mematikan sejak 2014.

Sementara 3.545 Muhajirin Rohingya tercatat melakukan percobaan menyeberangi Teluk Bengal dan Laut Andaman ke negara-negara Asia Tenggara tahun lalu, naik dari sekira 700 pada tahun 2021.

Lebih Baik Mati di Laut 

Ismail (23) mengatakan dia percaya para pemberontak menargetkan dia dan kerabatnya, yang berusia antara 26 dan 40 tahun, setelah sepupunya menolak pendekatan berulang kali untuk bergabung dengan kelompok militan, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), tiga atau empat tahun sebelumnya.

Kelompok tersebut mengklaim bertujuan untuk melawan pasukan keamanan Myanmar. Beberapa Muhajirin Rohingya mengatakan, ARSA merekrut anggota-anggotanya, sering kali melalui paksaan, di kamp pengungsian Bangladesh.

Dalam surat kepada UNHCR pada November, Ismail mengatakan bahwa dia menyaksikan langsung pembunuhan dua sepupunya pada 27 Oktober 2022.

Sekira belasan pria Rohingya di kamp-kamp, yang berbicara dengan syarat anonim demi keamanan, mengatakan bahwa militan ARSA terlibat dalam kegiatan kriminal di kamp, termasuk perdagangan manusia dan narkoba.

Hal ini diperparah dengan kesewenangan aparat setempat kepada para Muhajirin di kamp pengungsian Bangladesh, sebagaimana tercantum dalam laporan terbaru HRW berdasarkan wawancara dengan lebih dari 40 Muhajirin Rohingya.

Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa Batalyon Polisi Bersenjata Bangladesh, yang mengambil alih keamanan di kamp-kamp pada tahun 2020, melakukan pemerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan pelecehan terhadap para Muhajirin Rohingya.

Mohammed Mizanur Rahman dari Refugee Relief and Repatriation Commissioner Bangladesh mengatakan, pemulangan Muhajirin Rohingya ke Myanmar adalah “satu-satunya solusi” terhadap masalah mereka.

Sayangnya, junta militer Myanmar yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta dua tahun lalu, tidak menunjukkan kecenderungan untuk mau menerima kembali etnis minoritas tersebut.

Ismail, yang tinggal bersama orang tua, istri, dan saudara laki-lakinya, mengatakan bahwa dia mengkhawatirkan keselamatan nyawanya dan memahami mengapa beberapa Muhajirin Rohingya sampai mempertaruhkan nyawa demi melarikan diri dari Bangladesh.

“Lebih baik mati di laut daripada dibunuh teroris maupun hidup setiap hari dalam ketakutan,” tukasnya. (Reuters)

 

 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Di Tengah Ujian Musim Dingin dan Wabah Kolera, 70 Persen Populasi di Suriah Membutuhkan Bantuan Kemanusiaan
Delapan Tahun Peperangan, Dua Pertiga Populasi di Yaman Berjuang Keras untuk Bertahan Hidup »