SNHR: 177.057 Orang Dihilangkan secara Paksa di Suriah antara Maret 2011 hingga Agustus 2025
7 September 2025, 13:06.

Lebih dari 177.000 warga Suriah dihilangkan secara paksa antara Maret 2011 hingga Agustus 2025, menurut data Syrian Network for Human Rights (Arsip: Zohra Bensemra/Reuters)
SURIAH (Al Jazeera) – Suriah melaksanakan peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa Internasional pertamanya sejak jatuhnya rezim diktator Bashar al-Assad.
Suriah masih bergulat dengan pertanyaan yang masih menggantung mengenai nasib ribuan orang yang hilang selama kekerasan berkepanjangan di negara itu.
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Sabtu (30/8/2025), bertepatan dengan peringatan tahunan tersebut, Syrian Network for Human Rights (SNHR) mengatakan bahwa tahun ini memiliki makna khusus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Setelah Suriah terlahir kembali dari perang berkepanjangan, keluarga-keluarga Suriah—yang telah lama diteror dan ditindas—berbondong-bondong datang ke bekas pusat tahanan, penjara, kamar mayat, dan kuburan massal untuk mencoba menemukan kerabat mereka yang dihilangkan paksa oleh rezim Assad.
Para penyelidik turut mendapatkan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dokumen pemerintah, keterangan saksi, dan jenazah para korban kebengisan rezim yang berhasil digulingkan oleh para pejuang.
“Sejumlah kecil tahanan dibebaskan dalam keadaan hidup. Sementara itu, nasib puluhan ribu lainnya masih belum diketahui sehingga mereka (masuk dalam kategori) dihilangkan secara paksa,” jelas SNHR pada hari Sabtu.
“(Hal) Ini mengungkap tragedi besar yang melukai masyarakat Suriah secara keseluruhan.”
Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan dalam laporannya bahwa sedikitnya 177.057 orang, termasuk 4.536 anak-anak dan 8.984 perempuan, dihilangkan secara paksa di Suriah antara Maret 2011 hingga Agustus 2025.
Diperkirakan bahwa rezim sebelumnya bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen kasus tersebut.
“Rezim Al-Assad secara sistematis telah menerapkan kebijakan penghapusan paksa untuk meneror dan menghukum secara kolektif masyarakat, menargetkan para pejuang dan warga sipil dari berbagai wilayah maupun afiliasi,” ungkap SNHR.
Hari Korban Penghilangan Paksa Internasional tahun ini datang hanya beberapa bulan setelah pemerintahan baru Suriah terbentuk di bawah kepemimpinan Presiden sementara Ahmad al-Sharaa.
Al-Sharaa telah berjanji untuk menangani tragedi penghapusan paksa ini, dengan mengeluarkan dekret presiden pada bulan Mei yang membentuk National Commission for Missing Persons (NCMP).
NCMP bertugas menyelidiki masalah akuntabilitas dan rekonsiliasi nasional. Al-Sharaa juga berjanji untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal dan pelanggaran lainnya.
Pada hari Sabtu, Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan tragedi penghapusan paksa akan tetap menjadi prioritas nasional bagi pemerintah negara tersebut.
“Hal ini hanya dapat diselesaikan dengan memberikan keadilan kepada para korban, mengungkap kebenaran, dan memulihkan martabat keluarga mereka,” ujar kementerian tersebut.
Kepala NCMP Muhammad Reda Jalkhi juga mengatakan, meskipun Suriah sedang menghadapi banyak tugas yang berat, keluarga korban hilang paksa memiliki hak atas penyelidikan yang menyeluruh dan efektif.
Pada hari Sabtu (6/9/2025), Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan bahwa hilangnya seorang anggota keluarga bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan salah satu luka kemanusiaan terdalam dan terpanjang dalam konflik Suriah.
“Keluarga korban hilang paksa berhak mendapatkan dukungan dan belas kasih yang tak tergoyahkan untuk membantu mereka mencari jawaban atas nasib orang-orang yang mereka cintai dan mengakhiri penderitaan mereka,” ujar Stephane Sakalian, kepala delegasi ICRC di Suriah.
Hak mereka untuk mengetahui kejelasan atas nasib keluarganya adalah prinsip kemanusiaan yang mendasar.
Sementara itu, kantor berita pemerintah Suriah, SANA, melaporkan bahwa sebuah situs web interaktif berjudul “Syria’s Prison Museum” diluncurkan pada hari Sabtu untuk mengumpulkan bukti dari mereka yang ditahan di pusat-pusat penahanan Assad, termasuk penjara Sednaya yang terkenal kejam.
Platform yang disusun oleh para jurnalis dan aktivis ini bertujuan untuk menjadi sebuah monumen peringatan sekaligus arsip forensik untuk memfasilitasi proses akuntabilitas.
PBB menyatakan bahwa rezim diktator Assad menggunakan lebih dari 100 fasilitas tahanan dan sejumlah lokasi rahasia yang tidak diketahui jumlahnya.
Diketahui bahwa rezim diktator menggunakan beberapa teknik untuk menghukum para tahanannya, termasuk cambuk, sengatan listrik, dan berbagai hukuman tak manusiawi. (Al Jazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
