Ruang Udara Gaza Lebih Tenang, Wiam al-Masri Bisa Mengenali dengan Jelas Tangisan Lembut Bayinya

12 October 2025, 17:26.

Wiam al-Masri dan bayinya, Samih. (Mohamed Soulaimane/Al Jazeera)

Untuk pertama kali setelah sekian lama, seorang ibu Ahlu Syam Gaza bernama Wiam al-Masri dapat mengenali dengan jelas tangisan lembut bayinya, Samih, yang baru berusia kurang dari dua bulan. 

Tangisan lirih itu dapat terdengar karena suasana di daerah al-Mawasi, selatan Khan Yunis, kembali tenang, setelah penjajah ‘Israel’ dan Hamas menyetujui fase pertama gencatan senjata terbaru.

Setelah dua tahun agresi yang menewaskan lebih dari 67.190 jiwa—dan oleh PBB digambarkan sebagai genosida—rakyat Gaza kini mulai mencicipi kembali arti dari ketenangan yang telah lama dirindukan. 

Kesepakatan itu secara drastis mengurangi dentuman artileri dan dengungan pesawat perang yang selama ini berlalu-lalang di ruang udara Gaza sejak 2023.

Di dalam tenda lusuh tempat ia bertahan hidup selama lima bulan terakhir bersama suami, anak pertama, dan mertuanya, Wiam duduk menikmati embusan angin laut.

Ia dan keluarganya mengungsi ke al-Mawasi setelah serdadu penjajah menghancurkan apartemen suaminya di Kota Gaza—hanya enam bulan setelah pernikahan mereka pada November 2024.

Perempuan berusia 24 tahun itu sebelumnya tengah menempuh pendidikan farmasi di Universitas Palestina, tetapi kampusnya luluh lantak oleh bom zionis sehingga memaksanya berhenti kuliah.

Kini, ia terus mendengarkan kejauhan, seolah ingin memastikan: tak ada ledakan, tak ada raungan jet tempur lagi. Dari jarak sekira 400 meter dari pantai, ia dapat mendengar ombak Gaza yang lembut menyapa pasir-pasir, suara yang dulu terkubur oleh bisingnya pengeboman.

Dengungan “Zanana”

“Sejak anakku lahir, aku tidak pernah beranjak darinya,” tutur Wiam.

“Tangisannya dulu nyaris tak terdengar di tengah ledakan dan dengungan drone. Yang paling menakutkan adalah quadcopter, drone kecil yang sering terbang di antara tenda-tenda, bahkan pernah melayang tepat di atas kami.

Quadcopter adalah drone kecil berkamera yang digunakan penjajah ‘Israel’ secara masif untuk mengintai Gaza dan Tepi Barat terjajah. 

Drone itu terus-menerus mengeluarkan dengung khas, yang kemudian disebut oleh warga Gaza sebagai “al-zanana”—dalam bahasa Arab berarti “si pengganggu berdengung”.

Dengan senyum tipis, Wiam berkata, “Sekarang aku dapat mendengar kicauan burung di pohon kurma, debur ombak, dan tangisan bayiku—suara-suara yang dulu dirampas dariku.”

Sebagai seorang ibu menyusui, ia menambahkan, “Tangisan anakku justru menenangkan.”

Ketakutan sebenarnya adalah saat tank-tank penjajah mendekati al-Mawasi—sedikitnya tiga kali—atau ketika drone terbang begitu rendah hingga mereka yakin penjajah akan menembak mereka.

Wiam terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Dan al-zanana adalah yang paling mengerikan. Ia bukan sekadar alat pengintai—itu adalah senjata psikologis untuk menghancurkan kami dari dalam.

Ia memimpikan hari ketika bisa kembali ke reruntuhan rumahnya.

“Suara perang bukan sekadar kebisingan. Itu adalah rasa takut yang hidup—setiap raungan bisa berarti kematian. Kini, hanya beberapa jam sejak gencatan senjata, perbedaannya sudah luar biasa. Kami akhirnya bisa mendengar satu sama lain lagi.”

Selama agresi genosida ‘Israel’, Wiam sering memutar rekaman Al-Qur’an untuk menenangkan dirinya dan sang bayi.

“Setiap suara di sekitar kami berarti kematian,” ucapnya pelan, “kami nyaris tak bisa berdiri karena ketakutan. Bayangkan hidup di tengah suara kehancuran tanpa henti, kalian bahkan bisa merasakan kematian bernapas di samping kalian.” (Al Jazeera)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Kesepakatan Gencatan Senjata Tercapai, Warga di Wilayah Selatan Gaza Bersiap Kembali ke Utara
Ruang Udara Gaza Lebih Tenang, Wiam al-Masri Bisa Mengenali dengan Jelas Tangisan Lembut Bayinya (#2) »