Ruang Udara Gaza Lebih Tenang, Wiam al-Masri Bisa Mengenali dengan Jelas Tangisan Lembut Bayinya (#2)
12 October 2025, 17:29.

Ahmed al-Hissi merawat tiga cucunya yang menjadi yatim piatu setelah kedua orang tua mereka gugur akibat serangan udara penjajah ‘Israel’. (Mohamed Soulaimane/Al Jazeera)
Untuk pertama kali setelah sekian lama, seorang ibu Ahlu Syam Gaza bernama Wiam al-Masri dapat mengenali dengan jelas tangisan lembut bayinya, Samih, yang baru berusia kurang dari dua bulan.
Tangisan lirih itu dapat terdengar karena suasana di daerah al-Mawasi, selatan Khan Yunis, kembali tenang, setelah penjajah ‘Israel’ dan Hamas menyetujui fase pertama gencatan senjata terbaru.
Setelah dua tahun agresi yang menewaskan lebih dari 67.190 jiwa—dan oleh PBB digambarkan sebagai genosida—rakyat Gaza kini mulai mencicipi kembali arti dari ketenangan yang telah lama dirindukan.
Trauma Kehilangan
Suara paling mengerikan yang diingat Wiam terjadi 36 hari sejak agresi genosida dimulai, ketika serangan udara penjajah menghantam rumah keluarganya saat ia berdiri hanya beberapa meter jauhnya, hendak berkunjung ke rumah bibinya.
Ledakan itu menewaskan enam saudaranya, ibunya, dan keponakannya, serta melukai beberapa lainnya—termasuk saudari kembarnya, Wisam.
“Itu suara yang tak akan pernah kulupakan,” ucapnya lirih.
“Sebuah pembantaian dalam arti sebenarnya. Alhamdulillah, perang ini berhenti—walau sementara—agar ledakan dan pembantaian itu tidak terjadi lagi.”
Tidak jauh dari situ, masih di daerah al-Mawasi, Ahmed al-Hissi, 73 tahun, masih belum percaya pada kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti.
“Kami hidup dengan suara kematian yang memburu kami siang dan malam,” ujarnya setengah bercanda kepada anak dan cucunya, “butuh waktu untuk terbiasa dengan kedamaian ini.”
Ayah delapan anak ini kehilangan salah satu putranya, Khaled (34), yang gugur pada tanggal 8 November 2023 akibat tembakan meriam kapal perang penjajah zionis di dekat Pelabuhan Gaza.
Istri Khaled, Thuraya (30), menyusul beberapa hari kemudian ketika apartemen di sebelahnya dihantam bom.
Kini Ahmed tinggal di tenda pinjaman, dikelilingi oleh beberapa anak dan cucunya—termasuk Ahmed (13), Ghazza (11), dan Shawq (3)—anak-anak dari Khaled dan Thuraya.
Mereka selamat karena saat bom menghantam lantai tiga gedung tempat ibu mereka berdiri, mereka sedang bermain di lantai bawah.
“Suara-suara perang itu tak tertahankan,” kenangnya.
“Kadang kami terbangun dari ranjang karena ada ledakan, memeluk anak-anak yang gemetar ketakutan. Setiap suara adalah pertanda maut. Oleh karena itu, hari ini terasa seperti mimpi.”
“Bahkan sekarang, cucu-cucuku masih terkejut hanya karena tepuk tangan. Jika aku menepuk tangan, mereka menangis. Di sini, setiap suara berarti sesuatu, yakni hidup atau mati.”
Sambil menatap ke arah laut, Ahmed menambahkan, “Besok aku akan kembali melaut. Kami akan mendengar camar dan para penjual di pantai lagi, bukan ratapan duka maupun deru tank. Gaza kini bergerak dari “suara kematian” menuju suara kehidupan.”
Panci Kosong dan Kelaparan yang Sunyi
Di utara al-Mawasi, Tawfiq al-Najili (40) menjadi relawan yang mengawasi kamp pengungsian bagi keluarga-keluarga yang mengungsi.
Ia mengeruk sisa-sisa nasi dari panci besar sumbangan lembaga amal lokal ke dalam mangkuk plastik untuk seorang anak kecil yang kelaparan. Di wajahnya terpancar lelah dan kesedihan mendalam.
“Bagi saya,” ucapnya pelan, “suara sendok menggesek dasar panci kosong itu sama menyakitkannya dengan ledakan bom.”
“Ketika sendok sudah menyentuh dasar, aku tahu ada keluarga yang malam ini tidak dapat makan,” lanjutnya.
“Perang ini membawa banyak suara—yang menakutkan, seperti jet dan bom, begitu pula yang memilukan: panci kosong dan tangisan anak-anak yang lapar.”
Tawfiq, yang mengungsi dari Khan Yunis bagian utara lima bulan lalu, berharap gencatan senjata ini membawakan bukan hanya langit yang tenang, tetapi juga makanan, air, dan obat-obatan.
“Agresi baru benar-benar berhenti,” ujarnya, “jika tangisan orang lapar dan yang sakit telah berhenti. Ketika kita tak lagi mendengar drone atau kesedihan, melainkan suara yang damai.” (Al Jazeera)

Tawfiq al-Najili berikhtiar memberi makan sebanyak mungkin warga Gaza, tetapi selalu ada mulut yang tak sempat ia bantu. (Mohamed Soulaimane/Al Jazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
