Ramadhan Bersama Mujahid Palestina (Bagian 1 dari 3 tulisan)
16 July 2013, 09:15.

Syeikh Abu Bakr Al-Awawida (kiri) dan Direktur Al-Sarraa Foundation (tengah) pada Ramadhan 1428 (2007) mengunjungi Arifin Ilham yang waktu itu baru pulih dari operasi di lehernya. foto: Sahabat Al-Aqsha
YOGYAKARTA, Selasa (SahabatAlAqsha.com): Laporan ini diterbitkan pertama kali tahun Ramadhan 1428 Hijriyah (2007) dengan dukungan Hidayatullah.com. Selamat menikmati kembali laporan relawan Sahabat Al-Aqsha ini, semoga menambah gairah iman kita di bulan berkah ini.
Sepekan yang lalu, di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya dan beberapa teman melepas seorang sahabat pulang ke medan jihad. Abu Bakr Al-‘Awawidah, seorang ‘alim mujahid Palestina, usianya baru 47 tahun (tahun 2007) tapi penampilannya jauh lebih tua dari usia sesungguhnya, karena berkali-kali tubuhnya didera penjara dan berbagai macam siksaan Zionis Israel.
Beliau anggota Rabithatul ‘Ulama Filistin (Perhimpunan Ulama Palestina). Ketuanya, Syeikh Hamdi Al-Bithawi, sudah sembilan tahun ini disiksa di penjara Israel, dan masih belum jelas kapan akan dibebaskan.
Sudah sejak tahun 1992, ‘alim mujahid Palestina ini bersama istri dan delapan anaknya terpaksa hidup di Damaskus, Suriah, 200 km dari Dura, Al-Khalil atau Hebron, kota kelahirannya.
Singkirkan pikiran Anda yang biasa, bahwa seorang mujahid harus berotot kekar, kemana-mana menenteng senjata, matanya selalu waspada dan bicaranya galak.
Abu Bakr sama sekali berpenampilan beda. Tubuhnya yang jangkung selalu menunduk, bicaranya lembut, murah senyum dan kemana-mana lengannya harus dituntun karena matanya buta akibat dipukuli dan disetrum serdadu Zionis selama 54 hari berturut-turut, pada tahun 1981.
Namun begitu, gelapnya dunia di mata Abu Bakr sama sekali tak mengurangi keteguhannya memberi penerangan ruhiyah dan ilmiyah kepada rakyat Palestina yang terusir dan harus bermukim di Suriah, jumlahnya sekitar 500 ribu orang.
Perjalanan hidup ayah dari delapan anak ini adalah simbol ketangguhan dan kesabaran bangsa Palestina menghadapi penindasan dan perampokan Zionis Israel.
Keturunan Mujahid
“Nenek moyang saya adalah snipers (penembak jitu) yang tergabung dalam angkatan bersenjata Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, diantara mereka syahid ketika berjuang melawan Inggris,” tuturnya.
Pendahulu yang paling dekat dengannya, kakek dan ayahnya, ikut berjihad melawan Inggris dalam Perang Kastall di Al-Quds Barat, 1948. Mereka dipimpin oleh ‘alim mujahid Palestina Abdul Qadir al-Husaini. Waktu itu pamannya syahid.
Ketika terjadi peristiwa An-Naksa, pembakaran dan perampasan Masjidil Aqsa, pada tahun 1967, Abu Bakr baru berusia 7 tahun. Ia masih ingat bagaimana Israel menyerang dan menguasai kawasan-kawasan Tepi Barat, Gaza, Sinai dan Golan.
“Ayah dan abang-abang saya ikut melawan pasukan Israel,” kenang Abu Bakr. Sesudah peristiwa itu, mereka tertangkap dan dipenjara.
Abu Bakr memiliki 15 saudara dari dua orang ibu, yang bersaudara seibu dengannya 6 laki-laki, 4 perempuan.
Setamat SMA ia melanjutkan belajar di Ma’had Syari’ah Al-Quds untuk persiapan sebagai imam dan khatib, 1979. Pada masa itulah ia berkenalan dengan gerakan da’wah Al-Ikhwanul Muslimun.
Bersama kolega belajarnya dan para ustadz di ma’had itu mereka mempersiapkan diri berjihad di jalan Allah merebut kembali tanah-tanah Palestina yang dirampas Zionis Israel. Keinginan mereka itu ditolak oleh faksi perjuangan Marxis dan sekular yang waktu itu menguasai sebagian besar struktur Palestinian Liberation Organisation (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat.
Sambil terus belajar di ma’had itu, Abu Bakr mengikuti kuliah musim panas di Universitas Beirut jurusan filsafat dan sosiologi. Abu Bakr semakin aktif dalam kegiatan tarbiyah (pendidikan Islam) baik untuk dirinya sendiri, maupun membina pemuda-pemuda Palestina lewat daurah (kursus) al-Quran di masjid-masjid, ma’had-ma’had dan sekolah-sekolah.
Sepanjang sepuluh tahun berikutnya, kegiatan itu mengakibatkan Abu Bakr berkali-kali dipenjara dan disiksa oleh Zionis Israel. Pada tahun 1981 ia dipenjara dan disiksa selama 54 hari, tahun 1982 selama 5 bulan, 1983 selama 15 hari, 1988 selama 6 bulan, tahun 1990 ia ditangkap dua kali: pertama 37 hari, kedua 14 hari, tahun 1991 selama 5 bulan.
Belum lagi, di luar itu ia berkali-kali ditangkap dan disiksa oleh Israel selama beberapa jam.
Puncaknya pada tahun 1992 Syeikh Abu Bakr Al-‘Awawidah ditangkap dan diusir ke Marj Az-Zuhur, di perbatasan antara Palestina dan Libanon, bersama 414 orang mujahidin Palestina lain, diantara asy-Syahid dr Abdul Aziz Al-Rantissi.
Di tanah tak bertuan itu mereka dipaksa kerja fisik siang malam di kawasan yang hampir selalu bersalju selama setahun. Sesudah setahun, yang dibolehkan kembali ke Palestina hanya 401 orang. Sedangkan 13 orang lainnya diusir ke berbagai negara, termasuk dirinya ke Suriah. “Jika kami nekat masuk Palestina, mereka mengancam akan langsung membunuh kami,” tutur Abu Bakr. [bersambung, insya Allah] * (Sahabat Al-Aqsha/Dzik)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.