Kopi Gaza, Hiburan Rakyat di Penjara Raksasa

26 July 2015, 10:46.
Kopi hadir di meja warga Palestina sebelum sarapan, setelah makan siang dan selama jam-jam malam. Kopi acap dinikmati untuk segala aktivitas sosial di Gaza. Foto: Middle East Eye

Kopi hadir di meja warga Palestina sebelum sarapan, setelah makan siang dan selama jam-jam malam. Kopi acap dinikmati untuk segala aktivitas sosial di Gaza. Foto: Middle East Eye

KOTA GAZA, Ahad (Middle East Eye): Sekitar tengah hari di siang yang cerah, Kafe Delice penuh dengan lusinan pemuda yang menyebut diri mereka sebagai “penikmat kopi”. Mereka istirahat sejenak dari pekerjaan dan berkumpul bersama teman-teman. Mereka menikmati kebersamaan dan meminum kopi kesukaan mereka. Aroma kopi bahkan bisa tercium hingga ke jalan menuju rumah sakit di kota.

Ibrahim Sbaih, seorang pedagang di Gaza, merupakan salah satu pelanggan setia Kafe Delice. Sejak kafe itu berdiri 17 tahun lalu, ia masih sering datang ke kafe dan mengunjunginya dua kali sehari. “Yang tadinya hanya untuk kesenangan, kini menjadi kebutuhan,” jelas Sbaih, tersenyum.

“Para barista di sini membanggakan kemampuan unggul mereka dalam menyiapkan kopi,” kata Sbaih (37) pada Middle East Eye. “Rasa kopi di Gaza sangat unik. Ini hadiah terbaik yang bisa diberikan pada teman-teman saya dari Mesir. Mereka sering meminta saya untuk membawa kopi setiap kali saya bepergian dari Gaza ke Kairo,” katanya dengan bangga.

Para penjual kopi di Gaza percaya bahwa Jalur Gaza merupakan jalur produksi dan basis konsumen terbesar di Timur Tengah, meskipun itu sulit untuk dibuktikan. Kopi Gaza tersedia melalui 30 penggiling kopi yang mengimpor –jika memungkinkan? dari Brazil, India, Ethiopia, Guatemala dan Kolombia.

Keunikan rasa kopi lokal tak mudah diraih; itu merupakan hasil dari campuran yang kompleks dan berbagai langkah pembuatan kopi. Harga kopi di kafe-kafe Gaza berkisar dari 50 sen hingga tiga dolar untuk setiap cangkir yang mewah.

Lima Ton per Hari

Sulit membayangkan mengunjungi rumah atau sebuah tempat kerja di Gaza tanpa ditawari secangkir kopi. Itu sama dengan adat minum teh di Mesir atau berbagi sebotol wine di Perancis. Menambahkan gula atau susu ke dalam kopi jarang dilakukan pecinta kopi di Gaza. Menurut pegawai di Delice, penduduk Gaza mengonsumsi lebih dari lima ton bubuk kopi per hari.

Abdul Hafiz Osman, Manajer Umum Delice yakin bahwa hasrat warga lokal untuk minum kopi meningkat selama 10 tahun terakhir. Sebelum itu, teh lebih populer. “Warga Palestina yang kembali dari Teluk Arab, Uni Eropa dan Amerika Serikat mengimpor budaya kopi dan (metode) mencampur (kopi) yang baru bagi Gaza,” kata Osman. “Sekitar 80 persen populasi Gaza (1,8 juta) diperkirakan menjadi konsumen kopi.”

Osman menegaskan, awalnya produsen kopi menghadapi berbagai kesulitan dalam memasarkan produk karena banyak orang tidak ngeh dengan kopi. Akan tetapi, kini kopi sangrai mereka terjual lebih dari 350 kg per hari dengan harga $15 per kilo. Kopi telah menjadi industri penting di Gaza.

“Kami mempekerjakan seorang ahli Perancis untuk melatih dua barista dalam menyiapkan kopi di kafe pada tahun 1996. Kini, kami menghasilkan 10 jenis kopi. Kami membuka toko kopi pertama di Gaza. Kami memilih nama ‘Delice’, sebuah nama yang terkenal di Perancis dan menarik bagi semua orang,” kata Osman.

“Kini kopi hadir saat sebelum sarapan, setelah makan siang, pada malam hari, di acara-acara sosial, dan dalam kondisi suka atau duka. Kopi dikaitkan dengan kumpul keluarga dan mereka biasa minum kopi saat menyelesaikan perselisihan keluarga.”

Di kafe Delice, aroma kopi panggang dengan campuran bubuk kapulaga, kesturi, kunyit dan jahe memenuhi udara. Barista menyiapkan beberapa cangkir kopi sesuai selera konsumen, sementara lainnya menjual paket kopi panggang favorit konsumen untuk mereka seduh di rumah.

Pemilik Kafe Delice di Gaza yakin sebagian besar konsumen mereka berusia antara 20-40 tahun. Awalnya kopi merupakan minuman pilihan para orang tua, namun kekayaan rasanya membuat kalangan muda juga menyukainya. “Masalah sehari-hari seperti blokade dan buntunya persoalan rekonstruksi, atau bahkan masalah-masalah sosial, mendorong masyarakat di Gaza untuk merasakan momen rileksasi dari secangkir kopi yang bisa membangkitkan suasana hati mereka,” kata Sbaih.

Memburuknya Perekonomian

Sembilan tahun pengepungan oleh Zionis dan penutupan pelintasan perbatasan Rafah dengan Mesir, yang merupakan satu-satunya jalur keluar bagi masyarakat Gaza untuk mencapai dunia luar, dan ketidakmampuan mereka untuk hidup dengan budaya lain selama perjalanan, mengakibatkan banyak generasi muda Gaza harus tinggal di rumah. Salah satu hiburan mereka adalah bertemu dengan teman-teman di kafe setiap malam.

“Pengepungan ilegal mengakibatkan bertambah tingginya harga kopi; satu ton biji kopi hijau dari AS biasanya seharga $2,900. Kini harganya lebih dari $6,200. Dan sekilo kapulaga seharga tujuh dolar dengan cepat meningkat menjadi $28,” kata Osman.

Memburuknya kondisi ekonomi di Gaza dan tidak teraturnya penerimaan gaji lebih dari 45.000 pegawai negeri sipil, belum lagi angka mereka yang kehilangan pekerjaan sebesar 65 persen, mendorong konsumen membeli barang-barang dalam jumlah sedikit. Contohnya, produk kopi yang laku di pasar adalah paket kecil kopi yang isinya cukup untuk menyiapkan tiga gelas kopi. Paket kecil dijual dengan harga 25 sen.

Penghasilan Delice merosot saat perang 51 hari di Gaza tahun lalu. Menurut Osman, mereka mengalami kerugian sekitar $600.000. “Kami harus mengimpor kembali mesin-mesin untuk memproduksi kopi lagi, melalui ‘Israel’. Butuh 120 hari untuk menyeberang ke Gaza, dengan dalih keamanan,” katanya.

Sebelum tahun 2013, berton-ton biji kopi hijau biasanya diselundupkan melalui terowongan antara Mesir dan Jalur Gaza. Namun, penghancuran terowongan-terowongan itu memaksa para pemilik dan produsen mengimpor biji kopi hijau melalui ‘Israel’. Sebuah proses yang sulit. Padahal, mengembangkan kopi secara lokal bisa menjadi alternatif yang baik bagi Gaza.

Kopi Putih

Menuju ke timur Gaza, Youssef Ayoubi memasukkan 50 kg kantong biji kopi hijau ke dalam pemanggang, yang semula digunakan untuk memproduksi “kopi putih”. Ayoubi (33), pemilik pabrik pemanggang kopi menjelaskan bahwa perusahaannya mempekerjakan banyak keluarga dan menyediakan produk unik bagi peminum kopi yang lebih menyukai kopi mereka dipanggang dengan teknik uap khusus.

“Beberapa konsumen lanjut usia lebih suka membeli biji kopi hijau dan memanggangnya di rumah mereka untuk menambahkan rasa seperti yang mereka sukai,” kata Ayoubi. Delice dan pabrik pemanggang kopi Ayoubi bisa melakukan ekspor ke luar negeri, terutama Mesir. Namun, terus ditutupnya pelintasan Gaza menjadi rintangan besar untuk mewujudkannya. Keduanya mengatakan bahwa konsumen mereka acapkali membawa kopi lokal dalam jumlah besar sebagai hadiah bagi sanak keluarga mereka di Mesir dan Yordania.* (Middle East Eye | Sahabat Al-Aqsha)

Foto: Middle East Eye

Foto: Middle East Eye

Foto: Middle East Eye

Foto: Middle East Eye

Foto: Middle East Eye

Foto: Middle East Eye

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Alhamdulillah, Si Kembar Lahir dari Sperma yang Diselundupkan dari Penjara
PBB dan Kelompok HAM Kecam Aksi Zionis Serang Masjidil Aqsha »