Menggapai Ujung Lorong Gelap Rohingya (#2)
28 December 2022, 08:54.

*Sinopsis Buku Rohingya of The Arakan: Conflicts, Crisis, and Solutions
BUKU “Rohingya of The Arakan: Conflicts, Crisis, and Solutions”, karya Nurul Islam, menyajikan kisah mendalam tentang krisis dan solusi jangka panjang atas penderitaan yang dialami Rohingya. Buku ini diterbitkan The Other Press di Kuala Lumpur pada tahun 2022.
Nurul Islam merupakan tokoh Rohingya dan juga pengacara yang menghabiskan lebih dari setengah abad untuk berjuang melayani warga Rohingya. Nurul Islam juga merupakan Presiden Arakan Rohingya National Organization (ARNO); yang kini tinggal bersama keluarganya di London, Inggris.
Rohingya of The Arakan menawarkan penjelasan komprehensif tentang krisis Rohingya dari konteks geopolitik dan sejarah. Karya setebal 290 halaman ini mengungkapkan konspirasi sistematis yang dijalankan rezim Burma, militer, dan aktor non-negara terhadap penduduk Rohingya.
Tindakan tersebut telah membuat warga Rohingya mengalami penganiayaan etnis, agama, dan politik yang sistematis. Tak pelak, kekerasan terhadap etnis Rohingya menjadi salah satu peristiwa genosida paling berdarah yang terjadi pada era modern.
Tiga aktor pelaku kekerasan terhadap Rohingya
Lewat buku ini, Nurul Islam menggarisbawahi krisis Rohingya bukanlah isu imigrasi ilegal, melainkan konspirasi terencana oleh tiga aktor kunci. Yakni militer Burma, rezim yang didominasi militer, dan ekstremis Rakhine.
Ketiga aktor berkomplot untuk menyingkirkan penduduk Muslim Arakan dan mengubahnya menjadi wilayah Buddha. Di internal rezim, kebijakan ini populer dengan sebutan “pecah belah dan kuasai”.
Selama operasi militer, militer Burma dan aktor non-negara yang disponsori rezim membakar dan menghancurkan ratusan desa Rohingya.
Mereka juga membunuh ribuan warga sipil Rohingya, memerkosa, melecehkan perempuan dan gadis Rohingya, juga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Nurul Islam menulis pengusiran Rohingya dari Arakan ke Bangladesh dan pelarian mereka dengan perahu kayu reyot melintasi lautan untuk menghindari penganiayaan merupakan fenomena “biasa” yang sering dihadapi bangsa Rohingya.
Mulai 2012 hingga 2016, dan yang paling dramatis pada 2017, pembantaian massal, pemerkosaan dan pembunuhan sistematis, serta deportasi masif terhadap Rohingya dilakukan dengan niat genosida; sebagai upaya rezim menghancurkan eksistensi bangsa Muslim itu.
Buku ini juga menyoroti gagalnya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin pemerintah Aung San Suu Kyi untuk melindungi etnis Rohingya. Alih-alih memulihkan hak-hak Rohingya, pemerintahan Suu Kyi justru merampas identitas Rohingya dan hak kewarganegaraan mereka.
Pemerintah berkuasa dan klik militernya gencar menyerukan bahwa Rohingya tidak memiliki hubungan dengan Burma.
Ini adalah tindakan rasisme dan Islamofobia yang mengakar kuat dalam kebijakan rezim Burma yang menciptakan de-Muslimisasi di satu sisi, dan di sisi lain aktif melakukan Burmanisasi dan mengangkat Buddhis.
Populasi Rohingya diperkirakan lebih dari 3 juta jiwa; baik di dalam maupun di luar Arakan. Namun, sejak kemerdekaan Burma sekira 2,4 juta Rohingya diusir atau harus meninggalkan tanah air mereka.
Sebelum krisis pengungsi Rohingya tahun 2015 dan penumpasan militer–atau yang disebut “operasi pembersihan wilayah”–pada 2016 dan 2017, populasi Rohingya di Burma diperkirakan menyusut menjadi 1,5 juta, terutama di kota-kota Arakan utara Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Kyauktaw dan Akyab (Sittwe).
Bangladesh kini menjadi rumah bagi sekitar 1,2 juta Rohingya, termasuk sekitar 800.000 korban genosida yang datang setelah 25 Agustus 2017.
Solusi atas krisis Rohingya
Tidak sekadar menjelaskan pelbagai krisis Rohingya, Nurul Islam juga mengetengahkan solusi atas penderitaan panjang Rohingya. Menurutnya, langkah pertama untuk menyelesaikan krisis Rohingya terletak pada pejabat negara Burma.
Pemerintah Burma harus menciptakan kondisi yang kondusif untuk mengembalikan populasi Rohingya secara sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan. Rohingya berhak atas semua hak dan keistimewaan yang setara dengan etnis lainnya di Burma.
“Di bawah kondisi tidak aman saat ini, kembalinya Muhajirin Rohingya dari Bangladesh dan tempat lainnya ke Burma akan menempatkan mereka pada risiko kejahatan lebih lanjut,” tulis Nurul Islam.
Sementara untuk solusi jangka panjang, terang Nurul Islam, rezim Burma harus mengakui dan mengembalikan kewarganegaraan penuh dan identitas etnis Rohingya.
Semua pengungsi harus dipulangkan tanpa syarat ke desa atau tempat asalnya, bukan ke tempat pengungsian di Burma, di bawah pengawasan PBB dengan komunitas internasional.
“Tanah adalah kehidupan rakyat yang harus segera dikembalikan secara benar kepada warga yang kembali,” terang Nurul Islam.
Solusi lainnya adalah mengubah cara pandang dan perilaku otoritas Burma terhadap Rohingya. Menurut Nurul Islam, harus ada perubahan sikap pemerintah, militer, dan lembaga negara terhadap warga Rohingya.
Proses politik dan demokrasi di Burma harus dilakukan secara inklusif dan Rohingya harus menjadi bagian dari proses tersebut. Oleh karena itu, Rohingya harus dapat hidup berdampingan secara damai dan sederajat di Negara Bagian Arakan atau Rakhine. Mereka wajib mendapatkan hak kolektif yang setara dengan etnis lainnya.
Selain itu, pemerintah harus segera membongkar sistem apartheid di Negara Bagian Arakan. Pemerintah harus tulus dalam berkontribusi melaksanakan dialog untuk mempromosikan rekonsiliasi dan pemulihan hubungan antara dua komunitas bersaudara Rohingya dan Rakhine.
Untuk tingkat regional, negara-negara anggota ASEAN sudah selayaknya mendahulukan masalah hak asasi manusia Rohingya di atas kepentingan bisnis mereka untuk mempromosikan stabilitas, perdamaian, dan keamanan kawasan.
Komunitas internasional juga wajib mengakui kejahatan terhadap Rohingya sebagai genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang–sebagaimana yang disampaikan oleh Misi Pencari Fakta Independen PBB di Myanmar.
Salah satu bentuk solusi efektif dalam mengakhiri kekerasan terhadap Rohingya adalah hukuman. Dunia harus memperkuat sanksi terhadap pemerintah Burma dan militernya.
Alih-alih memberikan sanksi simbolis, sudah saatnya negara-negara internasional meningkatkan sanksi yang menyasar pada kepentingan ekonomi militer. Setiap transaksi perdagangan harus dikaitkan dengan kondisi hak asasi manusia Rohingya dan kebutuhan untuk memastikan kemajuan terhadap situasi kemanusiaan Rohingya.
Dan tak lupa, keadilan harus ditegakkan dengan menghukum para pelaku genosida di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dunia harus menunjukkan bahwa mereka tidak menolerir segala tindakan biadab terhadap Rohingya.
Dengan segala kekayaan perspektif dalam menguraikan krisis Rohingya, buku ini sangat layak dibaca pemerintah, pejabat publik, aktor perdamaian, aktivis, advokat, relawan, dan siapa saja yang berjuang mengakhiri kekerasan terhadap bangsa Rohingya. (selesai)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
