Rumah Hancur, Keluarga Tewas Akibat Topan Mocha. Kini Muhajirin Rohingya Kelaparan

17 May 2023, 21:13.

Warga Rohingya di rumah mereka yang hancur di kamp pengungsi internal Basara di Sittwe pada 16 Mei 2023, menyusul terjangan Topan Mocha. (Sai Aung Main/AFP) 

(France24) – Keluarga-keluarga Rohingya di Myanmar yang desanya hancur dilanda topan, menguburkan orang yang mereka cintai dan mencari korban yang masih hilang di pesisir pantai. Tak banyak menaruh harap atas bantuan dari pemerintah yang menyangkal identitas mereka. 

Pada hari Selasa (16/5/2023), banyak warga Rohingya yang mencoba mencari di antara tumpukan puing yang pernah menjadi atap rumah mereka atau membersihkan pohon tumbang dari jalanan desa. Sementara itu, sebagian yang lain mencari anggota keluarga yang tidak terlihat sejak topan menerjang. 

Itu adalah badai paling kuat yang melanda wilayah itu dalam lebih dari satu dekade. Topan Mocha memutuskan jembatan, kabel listrik, dan menghancurkan gubuk-gubuk di kamp pengungsian internal serta desa Rohingya di seluruh negara bagian Rakhine. Bencana itu membuat puluhan ribu warga minoritas yang teraniaya itu semakin terpinggirkan. 

“Kami berusaha lari, tetapi airnya sangat tinggi dan menyeret kami,” kata Sar Hla Ma Kha (40) dari desa Basara, kepada AFP

“(Ketinggian) air sampai di sekitar dada kami. Putri saya dan putranya hilang saat kami berlari menyelamatkan diri.” 

Banyak yang berjalan di pesisir pantai mencari anggota keluarganya yang hanyut oleh amukan gelombang badai. Beberapa menemukan jasad orang yang mereka cintai. 

Aa Bul Hu Son, 66 tahun, menguburkan putrinya, anggota terakhir keluarganya yang diterjang badai.

“Saya baru saja menemukan mayatnya di danau dekat desa dan segera menguburkannya. Saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkan rasa kehilangan saya,” katanya. 

“Sembilan dari 14 anggota keluarga saya tewas.”

“Saat kami berpikir untuk bergerak (menyelamatkan diri), ombak sudah datang dan menyeret kami.” 

“Hanya lima orang yang selamat. (Sisanya) tidak dapat bertahan ketika angin kencang menerbangkan mereka.” 

Tak banyak warga Rohingya di Rakhine yang mengharap akan menerima bantuan dengan cepat.

Pasalnya, mereka dipandang sebagai penyusup di tanah air sendiri, ditolak kewarganegaraan dan akses-akses pokok, seperti pendidikan, pekerjaan, perawatan kesehatan, dan dipersekusi selama puluhan tahun. 

Banyak dari mereka yang masih bertahan, dikurung di kamp-kamp pengungsian internal di Rakhine, tak bisa keluar tanpa seizin aparat Myanmar.

Bagi mereka yang telah berjuang susah payah untuk mencari nafkah di tengah himpitan yang dialami, badai menghapus kerja keras mereka selama bertahun-tahun. 

“Saya harus bekerja sangat keras untuk hidup dan bisa memiliki barang-barang dan beras,” kata Arbada dari desa Basara. 

“Sekarang semua barang saya, beras, bahkan piring pun habis… Saya tidak punya uang untuk membangun kembali rumah saya. Kami kelaparan. Saya belum makan selama dua hari.” 

“Berapa hari seseorang harus menahan lapar? Saya tidak tahu kapan pemerintah akan datang membantu.” (France24)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Warga: Korban Tewas Topan Mocha Ratusan Orang, Pemerintah Myanmar: Hanya 3 yang Mati
100 Hari Pascagempa Turkiye-Suriah, Jutaan Orang Masih Tinggal di Tenda Darurat »