Muhajirin Rohingnya di Cox’s Bazar Kian Terhimpit Pembatasan Aktivitas dan Pertikaian Antargeng 

20 October 2023, 20:06.

Muhajirin Rohingya berdemonstrasi untuk memperingati “hari genosida” di Ukhia, Bangladesh, pada 25 Agustus 2023. Foto: AFP

BANGLADESH (SCMP) – “Awalnya kami hanya mendengar suara tembakan pada malam hari. Namun, sekarang saya melihat seseorang tertembak pada siang hari tepat di depan mata saya,” kata Fatimah, muhajirin Rohingya berusia 24 tahun yang tinggal bersama orang tuanya di Cox’s Bazar, Bangladesh.  

“Kami tidak bisa lepas dari situasi ini. Dan tidak ada seorang pun yang melindungi kami dari bahaya ini,” tambahnya.  

Kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, yang menampung hampir satu juta muhajirin Rohingya, telah mengalami peningkatan kekerasan antargeng, yang mengakibatkan kematian sedikitnya 55 orang pada bulan Agustus 2023.  

Dalam kondisi penuh bahaya seperti itu, sayangnya perlindungan sulit didapat, sebut para aktivis. Mereka mengatakan otoritas kamp seperti Batalyon Polisi Bersenjata (APBn) juga bersalah dalam menerapkan pembatasan pergerakan yang ketat dan menyepelekan hak-hak para muhajirin.  

Mohammed Rezuwan Khan, seorang aktivis Rohingya berusia 26 tahun yang tinggal di Cox’s Bazar, mengatakan bahwa bangsanya kini menghadapi “genosida kedua”.  

“Kami sepenuhnya terkena imbas oleh perang antargeng bersenjata di kamp-kamp yang padat,” katanya.  

“Banyak orang yang tidak bersalah, termasuk anak-anak dan orang lanjut usia, tewas dalam baku tembak,” tukas Khan. 

Kakak laki-laki Khan ditangkap oleh salah satu geng bulan lalu, dipukuli hingga berdarah selama dua hari dan mengalami luka memar serta luka bakar akibat rokok di sekujur tubuhnya. 

Ia menjelaskan bahwa aktivisme daring yang dilakukannya telah membuat keluarganya sering menjadi sasaran geng tersebut.  

“Mereka ingin kami diam, dan saya pikir tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan kamp dan orang-orang,” ucapnya. 

Pertikaian antara kelompok militan seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan geng lain telah menghancurkan keamanan di kamp-kamp tersebut, ujar para aktivis. 

Banyak muhajirin Rohingya yang menjadi korban kejahatan geng-geng yang terlibat dalam penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan penculikan untuk mendapatkan uang tebusan.  

Pada bulan September 2021, Mohib Ullah, seorang pemimpin komunitas Rohingya yang terkenal, ditembak mati saat berbicara di sebuah pertemuan.  

Keluarganya menuduh ARSA atas kematiannya, dan para aktivis mengatakan mereka melihat peningkatan kekerasan, penculikan, dan pembunuhan sejak saat itu.  

“Masalah utama di kamp-kamp tersebut sekarang adalah pelanggaran hukum dan ketidakamanan yang disebabkan oleh berbagai faksi kelompok bersenjata Rohingya yang saling berebut supremasi,” kata Chris Lewa dari Arakan Project. 

“Bentrokan terus terjadi antara kelompok-kelompok ini, dan pihak berwenang tampaknya kehilangan kendali atas situasi ini,” tambahnya.  

Tidak ada perlindungan atau keadilan sepanjang bulan lalu, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Youth Congress Rohingya (YCR), di mana mereka juga menemukan bahwa APBn telah sangat membatasi kebebasan bergerak muhajirin Rohingya.  

Pembatasan ini berkisar dari penghalangan fisik seperti pagar kawat berduri yang dibangun di sekitar kamp dan pemberlakuan jam malam ketat, hingga penggunaan kekerasan, pelecehan dan pemerasan untuk mengekang pergerakan.  

Laporan ini didasarkan pada 241 survei dan 54 wawancara mendalam dengan responden muhajirin dari 30 kamp di Distrik Cox’s Bazar, dan mencakup empat wawancara dengan petugas polisi yang menguatkan hasil survei tersebut.  

Enam puluh lima persen responden mengatakan mereka yakin pembatasan pergerakan yang mereka hadapi di Bangladesh lebih buruk daripada yang mereka alami di Myanmar.  

Ditambah dengan dipotongnya 1/3 jatah bantuan bulanan bagi para muhajirin–dari US$12 per orang per bulan pada awal tahun ini menjadi US$8 saat ini–mereka tidak hanya mengalami kelaparan, namun juga menghadapi reaksi keras jika mereka meninggalkan kamp untuk mendapatkan uang. 

Pembatasan ekstrem yang diberlakukan oleh polisi yang bertugas menjaga kamp-kamp, ditambah dengan kekerasan yang dihadapi banyak pengungsi akibat geng bersenjata, telah membuat muhajirin Rohingya benar-benar tidak berdaya, menurut John Quinley III, direktur kelompok hak asasi internasional Fortify Rights. 

“Ada situasi di mana ada bahaya yang datang dari pelaku non-negara dan juga otoritas negara yang menindas pengungsi sehingga masyarakat Rohingya hanya memiliki sedikit pilihan terhadap kemampuan mereka untuk mengakses perlindungan atau keadilan,” jelasnya.  

Para muhajirin seperti Fatimah mengatakan bahwa warga Rohingya berusaha keras untuk bertahan hidup dalam keadaan tersebut.  

“Dunia telah melupakan kami,” katanya, “bahkan rakyat kami sendiri pun mencoba membunuh kami.” (SCMP)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Syaikhah Jamilah Shanti, Wanita Pertama dalam Biro Politik Hamas Itu Syahid
Perjalanan Sulit Ali dan Amina: Cinta Bersemi di Pusaran Krisis, Penuh Keterbatasan Dampingi Buah Hati »