Dihukum Gegara Tuduhan Palsu, Jurnalis Yaman: “Milisi Houthi Terus Meneror dan Membungkam Media”  

4 November 2023, 19:07.

Foto: Mohammed Huwais/AFP via Getty Images

YAMAN (Amnesty) – Akram Al Walidi adalah seorang jurnalis dan pembela hak asasi manusia yang telah ditahan selama delapan tahun. Ia menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh otoritas de facto milisi syiah Houthi. Pada April 2020, dia bersama tiga jurnalis lainnya dijatuhi hukuman mati.  

Setelah menghabiskan tiga tahun di penjara, mereka semua dibebaskan pada April 2023 sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan antara milisi syiah Houthi dan pemerintah Yaman yang diakui secara internasional.  

Amnesty International memublikasikan tulisan Al Walidi tentang apa yang dialaminya. 

============================  

Sekira jam 3 pagi tanggal 9 Juni 2015, ketika bom menggempur Kota Sana’a, saya dan rekan-rekan saya sedang mendokumentasikan kudeta yang dilakukan Houthi berikut gelombang pembalasan dan pelanggaran mereka terhadap para aktivis politik, jurnalis, dan masyarakat sipil.  

Kami berjumlah sembilan orang, semuanya mengabdi pada satu tujuan: kami memiliki bangsa yang harus diselamatkan. Sebagai jurnalis, adalah bagian dari tugas kami untuk mengungkap kejahatan Houthi.  

Saya juga harus menghadiri sebuah pernikahan. Pernikahan saya, yang tinggal sebulan lagi.  

Kami bekerja di kamar sebuah hotel karena dua kantor kami sebelumnya telah disita oleh Houthi. Kami tidak ingin peralatan kami rusak jika terjadi penggerebekan lagi.  

Beberapa hari setelah pindah ke hotel, saya mendengar ketukan di pintu, dan dalam beberapa detik milisi bersenjata menyerbu masuk ke kamar kami.  

Karena tidak ada lagi kantor yang bisa disita, kali ini Houthi mengincar kami. Kami bersembilan ditendang dan dipukuli secara brutal, lalu kami digiring memasuki mobil milisi. Sedikit yang kami tahu bahwa ini hanyalah awal dari banyak kejahatan tak terduga yang akan datang.  

Saya dipukuli hingga pingsan selama interogasi dan apa yang mereka sebut sebagai ‘hukuman’, namun saya tidak melakukan kejahatan apa pun yang harus saya akui. Saya adalah seorang jurnalis!  

Sejak mereka merebut kekuasaan, otoritas de facto Houthi melancarkan perang habis-habisan terhadap para profesional media. 

Dalam salah satu pidatonya, Abdulmalik Al Houthi, pemimpin gerakan Houthi, menggambarkan bahwa jurnalis “lebih berbahaya bagi negara ini dibandingkan pengkhianat dan milisi bayaran.” 

Bertahun-tahun Terpisah 

Keluarga saya menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam ketidakpastian, penuh tanya apakah saya hidup atau mati. Faktanya, jika dihitung mundur, saya menghabiskan total empat tahun tanpa bertemu keluarga saya.

Ketika akhirnya keluarga saya diizinkan berkunjung, kunjungan itu pun sangat dibatasi. Namun, kunjungan keluarga saya memberi saya harapan.  

Akan tetapi, ada satu kunjungan yang saya ingat dengan jelas pada bulan Juli 2019, ketika saya ditahan di Kantor Keamanan Politik.  

Ibu saya telah datang menemui saya, namun dalam waktu dua menit, seorang penjaga datang dan menarik saya. Bersama tiga penjaga lainnya, mereka mulai memukuli saya dengan senapan mereka.

Saya masih bisa mendengar suara ibu yang berteriak memanggil. Saya mengatakan kepada keluarga saya untuk tidak mengunjungi saya lagi. 

Pada tanggal 11 April 2020, saya dijatuhi hukuman mati bersama tiga jurnalis lainnya dan pada bulan Oktober kami dipindahkan ke Kamp Pasukan Keamanan Pusat di Sana’a, sebuah kamp militer milik milisi. 

Kami seolah-olah menjadi tameng manusia karena kamp itu menjadi sasaran serangan udara Saudi. Kami pikir kami akan mati di sana.  

Ketika serangan udara menghantam kamp pada tahun 2020, kami ternyata lolos dari kematian. Namun, setelah mengetahui serangan udara tersebut tidak membunuh kami, penjaga penjara mulai mengancam akan membunuh kami.  

Para penjaga juga berulang kali menelepon orang tua saya dan memberi tahu mereka bahwa saya akan dieksekusi. Setiap kali menerima panggilan tersebut, hati ibu saya hancur berkeping-keping.  

Setelah saya dibebaskan, saudara perempuan saya memberi tahu saya bahwa ibu saya tidak bisa berhenti menangis. Saya berharap ada kata yang lebih akurat daripada ‘penyiksaan’ untuk menggambarkan siksaan psikologis tanpa henti yang terpaksa dialami keluarga saya.  

Saya baru saja menikah dan saya siap untuk melanjutkan hidup saya. Namun, saya masih belum bisa pulang karena hukuman mati masih berlaku dan seluruh harta benda saya telah disita. Bagaimana saya bisa tinggal di Sana’a dan menghadapi ancaman akan ditahan lagi?  

Saya belum secara resmi dibebaskan oleh pengadilan Houthi. Jadi, selalu ada risiko bahwa milisi Houthi akan membayar salah satu sekutu mereka untuk membunuh saya.  

Saya dan keluarga terpaksa pindah meninggalkan semua kenangan dan harta benda kami. Aparat Houthi telah merampas hampir delapan tahun hidup saya yang saya habiskan di tahanan.  

Ketika saya dijatuhi hukuman mati, hakim di Pengadilan Kriminal Khusus juga memerintahkan penyitaan semua barang milik saya, termasuk komputer dan printer, dan mereka tetap menolak mengembalikannya.  

Dengan menyita perangkat saya, mereka ingin mengirimkan pesan yang jelas bahwa mereka terus meneror dan akan membungkam perbedaan pendapat dan kerja media dengan cara apa pun.  

Namun, kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Pembela hak asasi manusia dan pembangkang politik terus ditahan secara tidak adil dan dijatuhi hukuman mati oleh kelompok Houthi dengan tuduhan palsu “pengkhianatan” dan “membantu musuh”.  

Sebagai orang bebas, saya sekarang mendedikasikan seluruh waktu dan energi saya untuk mengampanyekan pembebasan mereka; yang menjadi korban tuduhan palsu. Saya tidak akan beristirahat sampai mereka semua bebas. (Amnesty)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Gerombolan Serdadu ‘Israel’ Serbu Rumah Sakit, Tahan Pasien dari Gaza
‘Israel’ Terus Bombardir Rumah Sakit dan Sekolah, Tubuh Syuhada Tercabik-cabik »