Muhajirin Palestina Berusia 80 Tahun: “Situasi Pembantaian di Gaza Mirip dengan Nakba 1948”
14 November 2023, 19:21.

Muhammad Haninun mengungsi dari kampung halamannya di Tarshiha saat Nakba dan kini tinggal di wilayah yang dikuasai oposisi, Idlib, Suriah. Foto: Ali Haj Suleiman/Al Jazeera
SURIAH (Aljazeera) – Di sebuah rumah kecil di Suriah barat laut, Muhammad Haninun terpaku pada ponselnya, menyusul liputan serangan penjajah zionis ‘Israel’ terbaru yang terjadi di Gaza.
Selama lebih dari sebulan, dia telah menonton video pengeboman ‘Israel’ di Jalur Gaza dan rombongan warga sipil yang mencoba menyelamatkan diri dari pengeboman tersebut.
Peristiwa tersebut mengingatkannya kembali akan kenangan yang masih terukir jelas tentang yang dialaminya 75 tahun lalu.
Pria berusia 80 tahun ini tidak bisa tidak memikirkan persamaan antara apa yang dia lihat di Gaza saat ini dengan apa yang dia alami ketika dia dan keluarganya menjadi pengungsi saat Nakba, atau “bencana”, pada tahun 1948.
Yakni, ketika negara palsu ‘Israel’ didirikan dan lebih dari 750.000 orang gugur. Warga Palestina diusir secara paksa dari tanah mereka.
Tragedi serupa terulang kembali, kata Haninun, “Rakyat di Gaza menghadapi perang tanpa menerima bantuan apa pun seperti yang kami alami sebelumnya.”

Muhammad Haninun, 80 tahun, berfoto bersama cucunya, Mahmoud yang berusia enam tahun, bertekad untuk kembali ke Palestina suatu hari nanti. Foto: Ali Haj Suleiman/Al Jazeera
Kaset yang Retak
Sejak tanggal 7 Oktober, ketika Hamas menjebol tembok pemisah yang mengelilingi Gaza dan menyerang ‘Israel’ selatan, negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, segera mengutuk tindakan itu.
Kecaman yang diikuti oleh dukungan finansial dan militer oleh Barat kepada ‘Israel’, yang tanpa henti membombardir Gaza, salah satu wilayah terpadat di dunia.
Demikian pula, pada paruh pertama abad ke-20, Inggris memberikan dukungan militer dalam bentuk perlindungan dan senjata kepada zionis, mendorong migrasi besar-besaran warga Yahudi dari Eropa ke Palestina dan mengizinkan mereka mengusir ratusan ribu warga Palestina dari rumahnya saat mereka membangun negara palsu.
Pada bulan November 1948, ‘Israel’ menggunakan pesawat untuk mengebom Desa Tarshiha di utara di pedesaan Acre, menghancurkan tiga rumah–termasuk rumah keluarga Muhammad Haninun–dan membunuh tujuh kerabatnya.
“Sebelumnya, kami telah mengungsi dari rumah kami beberapa kali selama dua atau tiga hari,” kenangnya. “Kami pikir kami akan kembali, terutama karena kami belum bisa mengeluarkan korban tewas dari bawah reruntuhan.” Akan tetapi, mereka tidak pernah bisa.
Haninun, yang saat itu berusia lima tahun, dan empat anggota keluarganya terpaksa pindah-pindah sampai ke tujuh kota di Lebanon dan Suriah, sebelum akhirnya mereka diizinkan tinggal di sebuah kamp pengungsian di Aleppo; tanpa dapur, kamar mandi, atau air yang mengalir.
Dia ingat, stasiun-stasiun radio Arab dan para petinggi negara menjanjikan warga Palestina akan segera kembali. Namun, setelah tujuh hari, kemudian tujuh pekan, berlanjut tujuh bulan, hingga lebih dari tujuh dekade telah berlalu tanpa hasil.
“Kaset yang retak ini telah diputar sejak tahun 1948, ketika orang-orang mengungsi dari satu desa ke desa lain, hanya untuk menghadapi pembantaian setelahnya. Karena musuh memandang ‘orang lain’ sebagai binatang, dan membunuh mereka sama seperti membunuh ternak–dan logika ini masih menjadi alasan utama sampai hari ini.”
Haninun pindah ke ibu kota Suriah, Damaskus, untuk belajar sejarah. Setelah itu, ia bekerja sebagai guru di Aleppo, tinggal di salah satu kamp di sana, hingga perang Suriah memaksanya mengungsi ke Idlib pada tahun 2014. Setelah semua itu, ia masih merindukan kesempatan, suatu hari nanti, untuk kembali ke Palestina.
“Masih ada harapan,” kata Haninun, “jika saya meninggal sebelum kembali ke Palestina, saya akan memberi tahu anak cucu saya bahwa kalian berhak atas tanah itu dan kita adalah pemilik sebenarnya.” (Aljazeera)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.