Ikhtiar Bertahan di Musim Dingin, Muhajirin Suriah Membakar Sampah agar Keluarganya Tetap Merasa Hangat  

30 November 2023, 17:41.

Wadha al-Yousef, 36, membakar potongan ranting yang dia temukan untuk menjaga kelima anaknya tetap hangat di tenda keluarganya di kamp Kafr Yahmul di barat laut Suriah. Foto: Ali Haj Suleiman/Al Jazeera

Ikhtiar Bertahan di Musim Dingin, Muhajirin Suriah Membakar Sampah agar Keluarganya Tetap Merasa Hangat  

SURIAH (Al Jazeera) – Saat musim dingin tiba, para penghuni kamp pengungsian informal di utara Kota Idlib bersiap menghadapi suhu menusuk tulang selama beberapa bulan mendatang.  

“Saya takut air akan merembes ke dalam tenda dan anak-anak saya akan sakit,” kata Fateem al-Yousef, sambil memandang langit mendung dengan cemas.  

Fateem, 40 tahun, telah menjadi muhajirin sejak tahun-tahun awal kekerasan rezim diktator Assad yang dimulai pada tahun 2011.  

Dia meninggalkan desanya di selatan Idlib, lalu berpindah dari satu desa ke desa lainnya. Empat tahun lalu, dia, suaminya, Khaled al-Hassan, dan sembilan anak mereka akhirnya menetap di kamp Kafr Yahmul, tempat 70 keluarga muhajirin tinggal di tanah sewaan.  

Kenangan hari pertama mereka di kamp masih teringat jelas, kata Fateem, karena saat itu diiringi hujan. Dia baru saja melahirkan, dan air merembes ke dalam tenda keluarganya.  

“Situasinya sangat sulit karena kami tidak siap (menghadapi kondisi itu),” kata Fateem, “kami merasakan ada air di mana-mana, dan kami tidak memiliki penghangat untuk anak-anak kami.” 

Saat ini, para muhajirin di barat laut Suriah membakar kulit pistachio, hazelnut, zaitun, potongan kayu bakar dan arang, sampai potongan plastik, nilon dan karton agar tetap hangat karena harga solar melonjak tinggi. Namun, pilihan ini pun harus dibayar mahal karena dapat merusak kesehatan. 

Fateem mengatakan, dia dan keluarganya hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, meskipun sebagian besar dari mereka bekerja.  

Putri sulungnya, 15 tahun, dan putranya yang berusia 14 tahun, bekerja sebagai buruh tani. Sementara itu, anak-anaknya yang lebih kecil mengumpulkan barang-barang bekas dari pinggir jalan. Suaminya, 47 tahun, bekerja serabutan kapan pun ada kesempatan.  

Meski begitu, keluarga tersebut masih tidak mampu membeli semua yang mereka butuhkan untuk melewati musim dingin.  

Kebanyakan orang dewasa di kamp berpenghasilan kurang dari 15 ribu rupiah per hari, nominal yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  

Tetangga dekat Fateem adalah Wadha al-Yousef, 36 tahun, yang juga berasal dari desa yang sama. Dia, suaminya, Ahmed al-Sattouf, 42, dan lima anak mereka, berusia satu hingga tujuh tahun, telah tinggal di Kafr Yahmul selama lima tahun.  

Dia menceritakan bahwa keluarganya membakar potongan-potongan karton, plastik, dan nilon dari pinggir jalan yang mereka kumpulkan selama musim panas agar tetap hangat di musim dingin, meski cara itu bisa merusak kesehatan mereka.  

“Bau dan asap yang mengerikan menyebar ke seluruh kamp, tetapi orang-orang saling bertoleransi karena mereka tidak punya pilihan lain untuk tetap hangat,” jelas Wadha.  

Membakar plastik dan nilon berdampak buruk pada kesehatan para muhajirin. Wadha mengatakan, anak-anaknya terus-menerus menderita penyakit yang disebabkan oleh asap, dan akibatnya mereka mengunjungi pusat kesehatan dan klinik sepanjang musim dingin.

Doctors Without Borders (Medecins Sans Frontieres, atau MSF) bulan ini memperingatkan bahaya pembakaran sampah karena mengeluarkan asap berbahaya, yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan dan infeksi, terutama bagi anak-anak dan orang lanjut usia.  

Tahun lalu, 306 kamp pengungsi di Suriah barat laut terendam banjir selama musim dingin. Organisasi-organisasi PBB melaporkan bahwa 874 dari 1.525 kamp di wilayah tersebut sangat rentan terhadap banjir selama musim dingin. 

Kamp-kamp tersebut menampung sekira 2 juta orang, dan sedikitnya dibutuhkan 15.000 tenda baru setiap musim dingin.  

Namun, sebagian besar tenda yang ada belum pernah diganti selama bertahun-tahun dan tidak dilengkapi insulasi yang diperlukan untuk memberikan perlindungan dari hujan dan dingin.  

Baik Fateem maupun Wadha tidak memiliki apa pun selain penutup nilon tipis, yang dijahit ke dalam tenda untuk mengisolasi dan menjaganya tetap kering. Namun, itu saja belum cukup untuk menahan hujan ringan pertama pada tahun ini, yang terjadi beberapa hari lalu.  

“Saya menghabiskan malam itu dengan berdiri, menahan rembesan agar air tidak menimpa anak-anak saya yang masih kecil saat mereka sedang tidur,” ucap Wadha. (Al Jazeera)

Anak-anak melihat keluar dari tenda yang menampung sebuah keluarga di kamp Kafr Yahmul. Foto: Ali Haj Suleiman/Al Jazeera

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Sempat Terpisah, Warga Gaza Gunakan Masa Gencatan Senjata untuk Bersatu Kembali dengan Keluarga
VIDEO – Lewat Jepretan Lensa, Empat Fotografer Muda Ungkap Fakta Kehidupan Rohingya pada Dunia »