VIDEO – Lewat Jepretan Lensa, Empat Fotografer Muda Ungkap Fakta Kehidupan Rohingya pada Dunia

30 November 2023, 17:49.

Foto: UNHCR/Susan Hopper

BANGLADESH (UNHCR) – Berdiri di puncak bukit yang penuh gubuk muhajirin di kamp pengungsian Kutupalong, Sahat Zia Hero dapat melihat dari kejauhan desa asalnya di Myanmar, yang berada di seberang perbatasan.  

Tempat itu terpaksa ia tinggalkan enam tahun lalu ketika desanya dibakar dan dia mengungsi bersama ratusan ribu warga Rohingya lainnya.  

“Sangat menyesakkan karena rumah saya, desa saya, berada sangat dekat dengan saya, tetapi saya tidak bisa pergi ke sana,” katanya sambil berlinang air mata, “kadang-kadang saya berjalan ke sana dalam pikiran saya.”  

Zia dan rekan-rekannya: Abdullah Habib, Mohammed Salim Khan, dan Shahida Win, adalah fotografer muhajirin Rohingya yang mengabadikan dan menceritakan kisah-kisah bangsanya kepada dunia.  

Eksodus massal warga Rohingya pada tahun 2017 memicu perhatian global dan dukungan kemanusiaan. Namun, enam tahun kemudian fokus internasional beralih ke krisis dan konflik lainnya.  

Masyarakat Rohingya merasa dilupakan, namun mereka berempat berdedikasi untuk mengingatkan dunia akan kesulitan mereka melalui cerita.

Komitmen ini telah menghasilkan pengakuan untuk mereka sebagai pemenang UNHCR Nansen Refugee Award Regional Asia dan Pasifik tahun 2023.  

“Kisah-kisah kami ini untuk menunjukkan bahwa kami ada,” ucap Shahida, “dan kami harus menceritakan kisah kami sendiri, karena kamilah yang paling mengetahui kisah tersebut.”  

Kehidupan di Kutupalong sangat sulit. Para muhajirin dibatasi aksesnya terhadap peluang kerja dan pendidikan. Pemotongan dua kali bantuan pangan per bulan dari PBB tahun ini memperparah kesulitan yang ada.  

Salim lahir di Kutupalong dari gelombang muhajirin yang tiba sebelum 2017. Namun, Abdullah, Shahida, dan Zia mengetahui kehidupan di Myanmar sebelum diskriminasi bertahun-tahun yang memuncak dalam pembantaian massal terhadap warga Rohingya. Ratusan orang terbunuh dan lebih dari satu juta lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.  

“Kami kehilangan segalanya, bahkan negara kami,” jelas Abdullah. 

Di kamp pengungsian Cox’s Bazar, keempat fotografer muda tersebut mengumpulkan cerita-cerita di sekitar mereka, menggunakan ponsel pintar atau kamera standar mereka untuk dibagikan di media sosial.

Hingga sampai saat ini, mereka telah menerbitkan majalah fotografi Rohingyatographer. Karya-karya mereka dipublikasikan di media internasional, memenangkan penghargaan, berpartisipasi dalam pameran, dan memperoleh ribuan pengikut media sosial.  

Meskipun awalnya mereka tidak mengenal satu sama lain, mereka memiliki kesamaan paham bahwa tidak ada orang lain yang akan menceritakan kisah mereka untuk mereka.  

“Kami tidak ingin menjadi komunitas yang terlupakan. Saya ingin orang-orang di seluruh dunia melihat warga Rohingya sebagai manusia, sama seperti orang lain,” kata Zia.  

“Jika kami tidak bersuara, jika kami tidak membela hak-hak kami, maka tidak akan ada yang terjadi dan kami akan terus menjalani kehidupan seperti ini,” ujar Abdullah.  

Akibat dibatasi oleh norma budaya, kisah-kisah perempuan muhajirin Rohingya sebagian besar masih tersembunyi. Fotografi dan puisi Shahida yang berani memberi mereka suara, yang menurutnya, ini adalah sebuah panggilan. 

“Itu bukan pilihan saya. Jika saya tidak menyampaikan pesan-pesan ini ke dunia luar, siapa yang akan melakukannya?”  

Selain memperkuat suara Rohingya melalui karya-karya mereka sendiri, keempatnya juga mengadakan pelatihan di kamp pengungsian.  

Komunitas mereka terus meluas, di mana para pemuda muhajirin dilatih membuat film, fotografi, dan puisi untuk mengekspresikan diri mereka serta berbagi informasi penting mengenai kesehatan masyarakat. Termasuk bagaimana menanggapi kebakaran dan banjir yang sering melanda kamp tersebut.

Apa yang memotivasi para fotografer dan pendongeng muda ini adalah keinginan mereka untuk menarik perhatian dunia, untuk menggambarkan kehidupan sesama muhajirin secara jujur, obyektif, dan penuh empati, serta membawa perubahan bagi bangsa Rohingya.  

“Saya adalah orang yang belum pernah melihat Myanmar,” ucap Salim, tetapi “saya tidak ingin anak-anak saya menjalani seluruh hidup mereka di kamp pengungsian.”  

Link Video: https://www.youtube.com/watch?v=WnWMGw5M50A  

= = =

Abdullah Habib. Foto: UNHCR/Susan Hopper

Abdullah Habib Abdullah, 29 tahun, meninggalkan Myanmar pada tahun 2017 dan hidup di kamp pengungsian Kutupalong bersama istri dan putranya, serta orang tua dan empat saudara laki-lakinya.  

Ia merupakan seorang fotografer dan pembuat film dokumenter, penerima penghargaan Art Contest for Minority Artist yang pertama pada tahun 2022.  

Instagram: @abdullah_photography_7   

Facebook: https://www.facebook.com/HabibGlarry  

X: @Abdulla_AH7   

= = =

Sahat Zia Hero (kiri) sedang mengajari pemuda Rohingya, Mohammed Hassan. Foto: UNHCR/Susan Hopper Foto: UNHCR/Susan Hopper

Sahat Zia Hero, 29, meninggalkan Myanmar pada tahun 2017 dan tinggal di Kutupalong bersama istri dan dua anaknya. Dia adalah seorang fotografer dokumenter, guru fotografi, dan pendiri serta editor Majalah Rohingyatographer, yang edisi ketiganya sedang dalam produksi.  

Instagram: @ziahero  

Facebook: https://www.facebook.com/zia.arakani  

X: @sahatzia_hero   

= = =

Salim Khan memotret pria Rohingya yang sedang menyiapkan makanan. Foto: UNHCR/Susan Hopper

Muhammad Salim Khan, 31, lahir di Kutupalong dan tinggal di kamp pengungsian bersama istri dan tiga anaknya. Dia adalah seorang fotografer, sukarelawan pemadam kebakaran, dan pelatih darurat bencana, guna membantu sesama muhajirin dalam merespons kebakaran, banjir, dan tanah longsor. 

Instagram: @mohammed_salimk

Facebook: https://www.facebook.com/mohd.brr/  

X: @Rohingyasalimkh  

= = = 

Shahida Win memotret seorang wanita Rohingya di kamp pengungsi Kutupalong. Foto: UNHCR/Susan Hopper

Shahida Win, 27, meninggalkan Myanmar pada tahun 2017 dan tinggal di Kutupalong bersama ibu dan saudara laki-lakinya. Dia adalah seorang fotografer dan penyair yang penyampaian ceritanya berfokus pada pengalaman dan pemberdayaan para muslimah Rohingya. Pada tahun 2023, ia menampilkan puisinya di Dhaka Lit Fest di ibu kota Bangladesh.  

Instagram: @winshahida

Facebook: https://www.facebook.com/shahida.win.7  

X: @ShahidaWin2

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Ikhtiar Bertahan di Musim Dingin, Muhajirin Suriah Membakar Sampah agar Keluarganya Tetap Merasa Hangat  
Penerbit Asia Gelar Kampanye Bersama Melawan Narasi Barat tentang Palestina  »