Keluarga Muhammad yang Berjuang untuk Sabar
25 October 2010, 04:38.
JAKARTA, Ahad (Sahabatalaqsha.com): Dr Mazin Qumsiyeh adalah seorang profesor di Universitas Bait Lahm (Betlehem) dan Universitas Birzeit. Dia juga ketua Palestinian Center for Rapprochement Between People yang memperjuangkan rekonsiliasi antarmasyarakat Palestina, sekaligus koordinator sebuah komite anti-tembok Zionisme dan pemukiman ilegal Yahudi, Popular Committee Against the Wall and Settlements, di Beit Sahour.
Qumsiyeh menuliskan pengalamannya bertemu dengan sebuah keluarga Palestina di Gush Etzion, yang datang ke sebuah kantor penjajahan mencari izin untuk masuk ke kota Al-Quds (Yerusalem) demi keperluan perawatan medis. Izin itu gagal mereka dapatkan.
Penuturan Qumsiyeh tentang keluarga dimuat di International Middle East Media Center (IMEMC). Berikut ceritanya:
Qumsiyeh menawari keluarga Palestina itu tumpangan untuk pulang ke rumah mereka di kamp pengungsi Deisheh. Sepanjang perjalanan, dia mendapatkan cerita yang menurutnya nyaris tidak bisa dipercaya, sehingga layak untuk dijadikan bahan sebuah buku atau film dokumenter.
Ayah sekaligus kepala keluarga tersebut ditembak di kepalanya oleh Israel dengan peluru timah bersalut karet saat masih berusia 12 tahun. Tulang tengkoraknya retak dan sebagian otaknya rusak. Sepuluh tahun kemudian, tentara Israel secara keji memukuli dan menyiksanya.
Tidak lama setelah kejadian pilu itu, Muhammad menikah dengan seorang sepupunya. Keluarga mereka berasal dari desa Al-Walaja, yang dihancurkan dan dikuasai Israel sejak tahun 1948. Tidak hanya itu, Israel bahkan melakukan pembersihan etnis di sana.
Desa Al-Walaja yang baru kemudian dibangun di tanah yang berada di bawah kekuasaan Yordania. Sebagian sanak saudara mereka pulang ke desa dan membangun kembali rumah-rumah mereka di sana pada tahun 1960-an.
Setelah pasangan muda tersebut dikaruniai anak pertama, mereka mendapatkan berkah lainnya. Seorang paman memberikan sebidang tanah, sehingga mereka bisa membangun rumah kecil di atasnya. Rumah kecil yang benar-benar sederhana, karena hanya memiliki satu ruangan saja.
Pasangan muda yang sama-sama memiliki pekerjaan itu, kemudian pindah dari kamp pengungsi ke rumah tersebut. Mereka tinggal di sana selama 3 tahun. Saat menetap di rumah itu, mereka dianugerahi anak kedua. Malangnya, bayi mungil mereka hanya bisa bertahan hidup selama 18 hari karena SIDS, sindrom kematian bayi mendadak.
Israel rupanya tidak pernah membiarkan hidup keluarga kecil itu tenang. Dengan alasan tidak memiliki izin pendirian, rumah mereka dihancurkan begitu saja. Bagaimana mungkin mereka bisa punya izin pembangunan, karena Israel sama sekali tidak akan pernah memberikannya kepada satu rumah Palestina pun, sejak mereka menguasai wilayah tersebut pada tahun 1967?
Keluarga kecil itu berusaha membangun kembali rumah mereka. Namun sesudahnya mereka harus meninggalkannya. Israel memaksa mereka keluar dari rumah dan menuntut ongkos 20.000 shekel untuk biaya penghancuran rumah milik mereka sendiri. Belum lagi denda lain yang siap dijatuhkan kepada keluarga malang tersebut.
Maka pindahlah mereka ke ‘rumah baru’ mereka di di kamp pengungsian Deisheh. Rumah itu adalah sebuah galian bawah tanah, sebuah ‘gua’ tanpa jendela, yang mereka beli sesudah menjual cincin kawin sang isteri.
Di gua kecil itu lahirlah anak ketiga, yang mereka beri nama Muhammad.
Si mungil Muhammad ternyata menderita Sindrom Bardet-Biedl. Suatu penyakit keturunan yang antara lain ditandai dengan obesitas, masalah pada penglihatan, masalah pada ginjal, jejari yang berjumlah enam (heksadaktili) dan pertumbuhan fisik yang lambat. Seorang paman dan bibi Muhammad – yang mengungsi ke Yordania – meninggal sebelum usia 20 tahun karena penyakit tersebut.
Dr Qumsiyeh sempat mengambil contoh darah keluarga itu untuk studi genetika di Universitas Betlehem.
Setelah bertahun-tahun tidak pernah turun salju, pada suatu musim dingin salju menyirami daerah tempat tinggal mereka. Berkah dari langit itu tidak serta merta membawa kebahagiaan, tanah yang juga atap gua tempat tinggal keluarga Muhammad runtuh.
Sang suami kemudian mengalami gangguan mental. Mungkin akibat peluru Israel yang pernah menghancurkan sebagian tengkorak dan isi kepalanya dulu, atau mungkin karena begitu beratnya penderitaan hidup mereka. Pasangan suami-isteri pun itu tidak lagi dapat bekerja.
Rupanya Yang Maha Kuasa selalu memberi mereka berkah di tengah selaksa penderitaan yang menimpanya. Keluarga itu dikaruniai lagi seorang putra yang sehat, dan isteri Muhammad juga hamil kembali.
UNRWA, badan PBB yang mengurusi pengungsi, memperbaiki rumah tempat tinggal mereka di kamp pengungsi Deisheh. Sementara rumah mereka di Al-Walaja tetap belum bisa ditempati, karena belum selesai dan tidak ada air serta listrik.
Pada hari raya Idul Fitri 1431 Hijriyah kemarin, Dr Qumsiyeh sempat menyambangi keluarga Muhammad. Bersama mereka mengunjungi rumah keluarga itu di Al-Walaja.
Dr Qumsiyeh menyaksikan, betapa keluarga Muhammad adalah keluarga yang diliputi dengan kasih sayang di antara mereka, keluarga yang penuh dengan harapan dan tegar. Anak pertama mereka Khaled, yang kini duduk di kelas lima, adalah anak yang sangat cerdas dan penyayang kepada dua orang adik laki-lakinya.
Ini adalah sebuah kisah dari jutaan kisah orang Palestina yang penuh tragedi, yang menghadapi pemusnahan etnis hingga ke akarnya di bawah penjajahan bangsa Yahudi. Kisah seperti ini banyak dialami orang Palestina, namun tetap memilukan hati bagi mereka yang masih punya nurani. (DJ/Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.

