Kisah Mengerikan Muhajirin Rohingya di Pelarian

22 June 2024, 19:49.

Gura Amin, pengungsi Rohingya, belajar bahasa Inggris dengan bantuan lembaga kemanusiaan dan para relawan [Aisyah Llewellyn/Al Jazeera]

(Al Jazeera) – Gura Amin menghabiskan 12 jam sehari dan enam hari seminggu untuk mengemas kotak di sebuah pabrik di Malaysia. Pria Rohingya berusia 22 tahun ini mendapat upah sekitar 2.400 ringgit ($510) sebulan. Uang itu pun habis digunakan untuk pengeluaran sehari-hari dan membayar utang sebesar 10.000 ringgit ($2,123) kepada orang-orang yang membawanya melintasi lautan.

Empat tahun lalu, Amin tinggal di kamp pengungsi Cox’s Bazar Bangladesh yang pengap dan padat. Pergi ke Malaysia menjadi impiannya. Dia berpikir hidupnya akan lebih baik jika di negara mayoritas Muslim yang sudah menjadi rumah bagi puluhan ribu muhajirin Rohingya.

“Namun, saya belum menemukan peluang bagus atau meningkatkan pendidikan atau karier saya. Itu benar-benar kesalahan saya (datang ke sini),” katanya kepada Al Jazeera.

Terombang-ambing di Lautan

Perjalanan Gura Amin bermula pada 27 Maret 2020. Dari Kamp Unchiprang Cox’s Bazar ia menaiki perahu kayu kecil, menuju tanah harapan untuk menemukan kehidupan yang lebih baik. Sebelumnya, ia dan ribuan muhajirin Rohingya telah melarikan diri dari kampung halaman setelah tindakan brutal militer Myanmar pada tahun 2017.

“Saya merasa sangat sedih melihat perahu itu. Terlihat sangat kecil dan saya ingin membatalkan perjalanan. Akan tetapi, saya berpikir bahwa banyak sekali orang yang telah melakukan perjalanan ke Malaysia dengan perahu semacam ini, jadi saya juga akan baik-baik saja,” kenangnya.

Saat menjelajahi lautan, perahu Amin terombang-ambing diterpa angin kencang. Muhajirin yang berjumlah sekitar 90 orang itu, menurut Amin, tidak bisa melihat apa pun di tengah malam dan tidak tahu ke mana tujuan mereka. Amin sering bertanya kepada para penyelundup yang membawanya, namun tidak digubris. “Saya tidak tahu apa yang terjadi kepada saya,” katanya.

Warga Rohingya lainnya ada yang naik kapal yang lebih besar. Kapal-kapal tersebut sempat terpisah dan bahkan oleng karena penumpang terlalu banyak sehingga para pengungsi khawatir tenggelam di laut.

“Perahu kecil berada di permukaan air yang rendah dan perahu besar jauh lebih tinggi. Para awak perahu harus memegang tangan orang-orang dan menarik penumpang ke atas,” kenang Amin.

Para penumpang berebutan naik ke perahu (yang besar). Sebagian tampak putus asa sebab adegan itu amatlah berbahaya. “Sangat mengerikan,” kata Amin.

Mereka akhirnya berada di perahu yang lebih besar. Sementara itu, para penyelundup manusia masih saja menunggu kedatangan lebih banyak pengungsi. Katanya, mereka hanya akan pergi ketika ada sekitar 950 orang di perahu tersebut.

Muhajirin Rohingya akhirnya tiba di perairan Malaysia sebulan kemudian. Saat itu awal pandemi Covid-19 dan Malaysia melakukan lockdown. Akibatnya, mereka harus menunggu sampai waktu yang tak menentu. Terombang-ambing tanpa tujuan, hanya mengikuti arus air.

Minimnya makanan menjadi hal yang amat menyiksa. Awalnya, mereka hanya punya nasi dan kue-kue kecil basi yang mereka makan dengan kopi instan kemasan. Para penyelundup juga membawa karung-karung bawang yang kadang bisa dimakan. Namun, tertundanya waktu hingga berminggu-minggu itu amat tidak terduga. Jatah makanan pun habis. “Dua bulan, itu sangat sulit,” kata Amin.

Para pengungsi memasang terpal untuk melindungi diri dari sinar matahari. Ketika hujan, mereka mengumpulkan air ke dalam botol-botol kosong. Namun, itu tidak pernah cukup.

“Para penyelundup memberi kami segenggam beras per hari dan setengah gelas air. Kami lapar dan haus sepanjang waktu,” kata Amin.

Gura Amin dan Mohammad Ullah di kamar mereka di kamp sementara saat mereka berada di Aceh. Keduanya menjadi teman selama bulan-bulan sulit mereka di laut [Raymondo/Al Jazeera]

Kondisinya sangat buruk. Amin memperkirakan “mungkin sekitar 100 orang” meninggal.

Ada seorang lelaki tua yang meminta air kepada penyelundup, namun ditolak. Dua jam kemudian, lelaki itu meninggal. Juga ada anak laki-laki berusia sekitar dua atau tiga tahun, meninggal dengan cara yang sama. Ia sempat menangis berjam-jam karena kehausan.

Mayat-mayat kemudian dibuang ke laut. Sebelumnya, pakaiannya dilucuti, sebab itu barang amat berharga sebagaimana makanan dan air tawar.

“Kami menangis tersedu-sedu di kapal itu. Kami seperti mayat,” ujar Amin.

Penyelundup Kejam

Gura Amin mengisahkan, waktu itu ada enam atau tujuh penyelundup yang membawa muhajirin Rohingya. Mereka bersenjatakan tongkat dan senjata.

“Para pelaut itu adalah orang-orang kafir. Beberapa datang dari Myanmar, juga dari Bangladesh. Mereka mengaku telah berpengalaman di laut selama bertahun-tahun untuk menyelundupkan manusia,” kata Amin.

Menurut Amin dan Mohammed Ullah, pemuda Rohingya lainnya, para penyelundup menggunakan senjata untuk mengintimidasi. Juga memeras, meminta lebih banyak uang dari keluarga mereka di Bangladesh dan Myanmar.

“Kadang-kadang mereka memukuli kami dan meminta kami menelepon orang tua agar mentransfer lebih banyak uang kepada mereka. Kami membayar 5.000 ringgit ($1,211). Setelah beberapa bulan mengarungi lautan dengan kapal besar, para penyelundup meminta tambahan 5.000 ringgit,” kata Amin.

Pada awal Juni 2020, para penyelundup memutuskan untuk melakukan upaya lain agar bisa sampai ke daratan Malaysia. Situasinya menjadi lebih buruk.

“Ada helikopter Malaysia yang berputar-putar di atas. Para penyelundup berkata: ‘Kami tidak akan membawa kalian semua ke Malaysia. (Sebagian) Pergilah sekarang, kami tidak peduli!’”

Penyelundup memutuskan untuk membawa sebagian orang saja ke daratan Malaysia agar teknisnya lebih mudah. Adapun yang lain disuruh pergi entah ke mana.

Muhajirin Rohingya yang terlunta-lunta itu kemudian dipaksa masuk ke dalam empat perahu, masing-masing dijaga satu orang penyelundup. Dua perahu hanyut ke arah pulau resor Langkawi (Malaysia), dan dua perahu menuju pantai Aceh (Indonesia).

Pada tanggal 8 Juni 2020, penjaga pantai Malaysia menahan 269 pengungsi di lepas pantai Langkawi setelah mesin perahu mereka mati. Sebanyak 50 orang yang sangat ingin mencapai daratan, melompat ke air dan berenang ke pantai.

Empat hari kemudian, perahu Amin dan Ullah didorong kembali ke laut oleh penjaga pantai Malaysia. Mereka kemudian hanyut di perairan antara Malaysia dan Indonesia.

Terdampar di Aceh

Perahu kayu yang membawa hampir 100 orang, akhirnya mendarat di perairan Aceh pada tanggal 24 Juni 2020. Sekian lama mereka terombang-ambing di laut, persediaan makanan dan air tawar habis. Semua orang sangat lapar dan haus sehingga banyak yang hampir tidak mampu berjalan. Sampai sekarang pun, Amin tidak tahu bagaimana nasib perahu keempat.

Perahu Amin akhirnya terlihat oleh nelayan setempat, tak jauh dari kota Lhokseumawe. Pihak berwenang Indonesia mengizinkan mereka mendarat dan bahkan memberikan bantuan.

Mereka dibawa ke sebuah kompleks bangunan dengan fasilitas kamar mandi dan toilet umum, seperti barak tentara. Tidak mewah, tetapi merupakan lahan kering dan aman. Lokasinya hanya sekitar 10 menit berkendara dari pantai.

“Saya sangat senang bisa mendarat di Aceh, seperti halnya orang lain yang berada di perahu yang sama,” kata Amin.

Pada bulan April 2021, muhajirin Rohingya dipindahkan ke Medan. Berjarak sekitar enam jam perjalanan bus dari Lhokseumawe.

Mereka difasilitasi kamar di sebuah hotel di kawasan ramai, di tengah masyarakat Batak yang mayoritas beragama Kristen. Udara dipenuhi bau menyengat daging babi dan anjing yang dimasak di warung-warung makan sepanjang jalan. Juga banyak bar yang menawarkan sejenis minuman nabati lokal yang difermentasi yang dikenal sebagai tuak. Kabarnya itu makanan dan minuman lezat kesukaan masyarakat Batak.

Menurut Amin, rasanya jauh berbeda dengan suasana tenang dan damai di Aceh. Namun, dia berusaha membuat kamarnya terasa seperti di rumah sendiri. Seperti semua orang dewasa lainnya, ia mendapat tunjangan bulanan sebesar Rp1,25 juta ($76) dan bebas meninggalkan hotel asal kembali sebelum matahari terbenam.

Gura Amin, kedua dari kiri, dengan beberapa warga Rohingya lainnya yang ditempatkan di Hotel Pelangi di Medan beberapa bulan setelah penyelamatan mereka [Aisyah Llewellyn/Al Jazeera]

Impian di Malaysia

Meski telah berada di Indonesia, impian hidup nyaman di Malaysia tak pernah pupus dari benak Gura Amin. Pada Maret 2022, dia membayar penyelundup untuk membawanya ke sana.

Bersemangat untuk meraih masa depan yang lebih baik, Amin mengirimi sebuah video kepada Al Jazeera. Video itu direkam di ponselnya saat dia bersembunyi di semak-semak bersama rekan-rekannya sesama Rohingya. Saat itu mereka tengah menunggu perahu tiba di suatu malam, yang akan membawa melintasi Selat Malaka menuju Malaysia.

Amin bergembira ketika akhirnya menginjakkan kaki di daratan Malaysia. Ia memotret dan membagikan foto rambu-rambu jalan yang dilewatinya dalam perjalanan menuju kota pantai Shah Alam.

Malaysia memang menjadi salah satu tujuan para muhajirin dari berbagai negara. Di sini ada hampir 190.000 pengungsi, sekitar 58% di antaranya adalah warga Rohingya.

Rupanya keadaan tidak seindah yang diharapkan. Malaysia tidak menandatangani konvensi pengungsi PBB. Pemerintah setempat kerap mengambil tindakan keras terhadap orang-orang yang tidak memiliki dokumen, termasuk melakukan penggerebekan.

Ribuan orang ditahan di pusat penahanan imigrasi, yang menurut Human Rights Watch (HRW) keras dan kumuh. Badan pengungsi PBB, UNHCR, belum diizinkan mengunjungi tempat tersebut untuk menjamin pembebasan pengungsi sejak tahun 2019.

Amin akhirnya bisa bekerja sebagai penjaga toko pakaian. Namun, ternyata lokasi tersebut kerap menjadi sasaran penggerebekan. Dia mengaku harus membayar petugas polisi 100 ringgit ($21) agar tidak ditangkap. Pengungsi lain juga melakukan hal serupa. Namun, polisi Malaysia membantah praktik semacam itu.

Amin kini terus menunggu agar bisa mendapat kartu UNHCR sehingga keadaannya lebih terlindungi. Itulah sebabnya, ia berusaha hati-hati dengan aktivitasnya sehari-hari agar tidak terlalu mencolok. Termasuk dengan pekerjaannya saat ini menjadi buruh di sebuah pabrik.

Ketika ditanya, memilih mana antara hidup di kamp di Aceh, hotel di Medan, atau kehidupan barunya di Malaysia?

“Di mana-mana sama. Hidup itu sulit,” ujarnya. (Al Jazeera)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Forensic Architecture: Kemungkinan Besar Serdadu Zionis Bunuh Hind Rajab dengan Tank
Afrika Selatan, Irlandia, Palestina, dan Strategi Politik »