Ribuan Orang Masih Hilang di Gaza di Tengah Kehancuran Akibat Serangan ‘Israel’

24 July 2024, 14:30.

Para pelayat membawa jenazah enam anggota keluarga Qadih ke tanah makam di Khuzaa, Jalur Gaza selatan, setelah ‘Israel’ membombardir rumah mereka di Bani Suheila pada 21 Juli 2024 (Bashar Taleb/AFP)

(Middle East Eye) – Setelah gerombolan serdadu Zionis mundur dari rumah kakak perempuannya di Jabalia, Gaza utara, Ahmed Tawfiq Jaballah berharap dia akan menemukan jenazah kakaknya.

Namun, saat kembali untuk memeriksa rumahnya, Sawsan yang berusia 55 tahun tidak ditemukan.

Sawsan adalah salah satu dari ribuan warga Palestina yang hilang di Gaza sejak dimulainya genosida ‘Israel’ di wilayah tersebut sehingga pihak keluarga tidak mengetahui nasib orang yang mereka cintai di tengah invasi darat dan pengeboman yang sedang berlangsung.

“Setelah rumah saya hancur akibat perang ini, saya tinggal bersama kakak perempuan saya di rumahnya bersama istri dan anak-anak saya. Selama sekitar 230 hari, dia tidak meninggalkan rumahnya, tidak sekali pun,” kata Jaballah kepada Middle East Eye (MEE).

“Dia tidak bisa berjalan dengan baik, dan dia lebih memilih mati daripada menyingkir dari rumahnya atau mengungsi.”

Pada tanggal 11 Mei, serdadu Zionis menjatuhkan selebaran yang memerintahkan penduduk di kamp pengungsi Jabalia untuk meninggalkan rumah mereka sebelum melancarkan serangan brutal dan menyerbu daerah tersebut.

Meski Jaballah dan keluarganya mengikuti perintah tersebut, Sawsan menolak meninggalkan rumahnya.

“Saya mencium tangan dan kakinya, memohon agar dia bersedia ikut bersama kami untuk berlindung di sebuah sekolah. Saya menelepon teman-teman saya dan membawa kursi roda untuk mencoba meyakinkan dia,” jelasnya.

“Dia mengatakan kepada saya: ‘Tidak mungkin [saya bisa pergi.] Kamu tahu, saya memperlakukanmu seperti anak saya, bukan sekadar adik laki-laki saya. Bawakan saja masker untuk saya letakkan di samping saya jikalau ada debu, lalu bawalah istri dan anak-anakmu pergi.’”

“Saya pergi. Namun, keesokan harinya, serdadu Zionis mendekati rumahnya. Ketika saya mendengar ini, saya mengambil risiko dan kembali menemuinya melalui jalan-jalan tikus, mencoba sekali lagi meyakinkan dia untuk ikut bersama saya. Dia mengatakan kepada saya: ‘Jika kau benar-benar mencintaiku, tinggalkan aku di rumahku’. Saya melihat tank ‘Israel’ mendekati rumah, jadi saya melarikan diri dan kembali ke sekolah.”

Jaballah tetap berhubungan dengan kakak perempuannya untuk memastikan dia masih baik-baik saja melalui telepon dan pesan teks. Namun, setelah dini hari tanggal 15 Mei, Jaballah tidak dapat lagi menghubunginya. 

Sekitar pukul 02.00, kakak perempuannya mengirim pesan kepada Jaballah untuk memberitahukan bahwa dia menyimpan sejumlah uang di pakaiannya.

“Dia menyuruh saya untuk mengambilnya jika terjadi sesuatu kepadanya dan mengirim $100 kepada seorang gadis yatim piatu berusia 20 tahun yang dia santuni sejak kelahirannya,” lanjutnya.

“Setelah berkali-kali mencoba menghubunginya tanpa jawaban, saya memutuskan untuk mencarinya. Ketika saya tiba di kawasan itu, seluruh gedung telah hancur, kecuali rumahnya dan rumah tetangganya. Saya takut akan kemungkinan terburuk dan mengambil selimut yang saya temukan, bersiap untuk menutupi tubuhnya untuk dimakamkan.

“Saya takut dengan apa yang mungkin saya temukan. Saya mengira akan melihat tubuh membusuk dan darah di mana-mana. Saya masuk ke dalam rumah, tetapi tidak ada apa-apa, bahkan kakak perempuan saya pun tidak ada.” 

‘Serdadu Zionis pernah berada di sana’

Jaballah menemukan rumah kakak perempuannya kosong, ada kata-kata Ibrani yang disemprotkan ke dinding dan sisa-sisa makanan dan buah-buahan berserakan.

Barang-barang ini biasanya tidak dapat diakses oleh penduduk Gaza utara karena blokade ‘Israel’.

“Sandal medisnya, telepon genggam, kacamata, bahkan tongkatnya hilang semua,” lanjutnya.

“Serdadu Zionis pernah berada di sana. Saya menemukan buah di dalam rumah. Jelas sekali mereka telah menghabiskan waktu di sana.”

Selama berbulan-bulan, penjajah ‘Israel’ telah melakukan pengepungan ketat terhadap Kota Gaza dan Jalur Gaza bagian utara, memblokir bantuan, barang, dan segala jenis makanan untuk memasuki wilayah tersebut, yang sepenuhnya terputus dari bagian selatan wilayah kantong itu.

Akibatnya, penduduk sering kali dapat mengidentifikasi rumah-rumah yang pernah ditinggali serdadu ‘Israel’ berdasarkan sisa-sisa makanan yang tidak tersedia di kota tersebut.

“Saya mencari di semua rumah sakit dan tempat-tempat yang menurut kami mungkin dia berada. Kami menghubungi Palang Merah, dan mereka merespons dari Al-Khalil. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka telah mengajukan permintaan kepada serdadu ‘Israel’ mengenai kakak perempuan saya pada tanggal 4 Juni, tetapi belum menerima tanggapan.”

Setelah sekitar dua bulan, Jaballah curiga kakak perempuannya diculik oleh serdadu ‘Israel’ “untuk tujuan yang tidak diketahui”.

“Dia tidak mungkin melarikan diri sendirian. Dia dibawa serdadu,” lanjutnya.

“Setiap orang di Gaza pernah mengalami pengungsian dan mengetahui kapan kami harus segera mengungsi karena pengeboman. Kami biasanya tidak punya waktu untuk mengumpulkan barang-barang. Namun, dia punya waktu untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak terpikirkan oleh kami saat mengungsi. Mereka telah membawanya, tetapi saya tidak tahu apa yang ingin mereka lakukan terhadapnya.”

Anak hilang

Di antara mereka yang hilang adalah warga sipil yang diyakini ditahan dan dihilangkan secara paksa di pusat penahanan ‘Israel’, termasuk jurnalis dan anak-anak.

Pada akhir bulan Juni, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) telah menerima laporan dari 7.429 keluarga dari 8.617 warga Palestina yang hilang di seluruh Jalur Gaza, mencari bantuan untuk mengetahui nasib dan keberadaan orang-orang yang mereka cintai.

Karena banyaknya korban jiwa di tengah pengeboman yang tiada henti, banyak penyintas anak-anak yang diselamatkan dari reruntuhan dan dirawat di rumah sakit tetap tidak teridentifikasi untuk waktu yang lama sehingga sering kali menyebabkan mereka dinyatakan hilang.

Di daerah al-Zawaida di Jalur Gaza, Abdullah Abu al-Qumsan berharap anaknya yang berusia dua tahun, Fouad, yang hilang selama sekitar sembilan bulan, masih hidup.

Mengungsi dari kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara, Abu al-Qumsan terus menggantungkan foto anaknya di jalanan, menyeru siapa pun yang menemukan anaknya untuk menghubungi nomor yang tersedia.

“Terakhir kali Fouad bersama saya adalah ketika kami berdua berada di bawah reruntuhan pada tanggal 31 Oktober. Kami mengungsi di rumah seorang kerabat di Jabalia dan seluruh kawasan perumahan dibom. Anak saya bersama saya, tepat di sebelah saya,” kata Abu al-Qumsan kepada MEE.

“Ketika tim penyelamat menyadari kami masih hidup di bawah reruntuhan sekitar 75 menit kemudian, mereka berhasil menarik kami keluar. Mereka mengeluarkan anak saya dan menyerahkannya kepada paramedis, yang segera membawanya ke rumah sakit. Namun, sampai saat ini kami belum tahu ke rumah sakit mana dia dibawa.”

Abu al-Qumsan dibawa ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara.

Selama 10 hari berikutnya, dia mengunjungi semua rumah sakit yang masih beroperasi di wilayah utara, mencari putranya di antara yang terluka dan di kamar mayat.

“Di Rumah Sakit al-Syifa, mereka memberi tahu saya bahwa pada hari pengeboman terjadi, mereka menerima seorang anak tak dikenal yang seusia dengan putra saya. Mereka mengatakan dia diperiksa dan ditemukan dalam keadaan sehat. Saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya atau apakah ada keluarga yang menampungnya karena dia sendirian,” kata ayah berusia 29 tahun itu.

Menurut Save the Children, pada bulan Juni, sebanyak 21.000 anak hilang di Gaza karena genosida ‘Israel’ yang sedang berlangsung. Sekitar 4.000 anak-anak ini diyakini terbunuh di bawah reruntuhan, sedangkan 17.000 anak tanpa pendamping atau terpisah dari keluarga mereka – hilang, ditahan, atau dikuburkan di kuburan tak bertanda. 

Penderitaan akibat ketidakpastian

Bertekad untuk tetap tinggal di tempat dia dan keluarganya tinggal bersama selama beberapa dekade, Shereen Abu Rukba, 45, terus tinggal di tengah reruntuhan rumah mereka di Kota Gaza bersama keempat putrinya dan ibunda suaminya.

Setelah lingkungan mereka mengalami serangan artileri ‘Israel’ yang brutal pada bulan Desember, mereka meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di sebuah sekolah di bagian barat Gaza.

Setelah rumah kakak iparnya dibom, suaminya, Qasem Amin Abu Rukba, 53 tahun, meninggalkan sekolah pada tanggal 23 Desember untuk membantu membersihkan reruntuhan dan tidak pernah kembali.

“Dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan membawa peralatan dan menemui saudara lelakinya untuk membantunya membersihkan puing-puing, lalu pergi memeriksa gudang tempat dia menyimpan barang dagangan sepatu. Saya terus menunggunya karena situasinya berbahaya, dan saya bahkan tidak bisa menghubunginya,” kata Shereen kepada MEE.

“Layanan telekomunikasi terputus setelah pengeboman ‘Israel’ terhadap Stadion Palestina di daerah kami. Menelepon atau mengirim pesan kepadanya bukanlah suatu pilihan, jadi saya tetap berada di koridor sekolah sepanjang malam, menunggu dan mengawasi pintu masuk, sambil berkata kepada diri sendiri: ‘Dia mungkin akan datang sekarang’. Namun, dia tidak pernah muncul.

“Ketika saya kembali ke rumah kami, saya melihat rumah hancur. Saya duduk di pintu masuk dan mulai berbicara kepadanya: ‘Hal terakhir yang mengingatkan saya kepadamu telah hilang.  Rumah yang kau bangun dan rawat telah hilang’,” katanya kepada MEE.

Shereen awalnya yakin suaminya terluka sehingga mendorongnya untuk mencari di rumah sakit. Sekarang, hampir sembilan bulan kemudian, dia khawatir suaminya mungkin telah dibunuh atau ditahan.

“Kami tidak punya internet di sini, tetapi kerabat kami di luar negeri menindaklanjuti nama-nama para tawanan yang dibebaskan, berharap dia masih hidup. Di Gaza, saya tidak punya putra di sini untuk mencarinya. Kedua putra saya  berada di luar negeri, dan ketika suami saya masih di sini, saya tidak bisa pergi ke mana pun tanpa dia,” kata Shereen.

“Setelah melihat semua teror yang mereka lakukan kepada kami, saya pikir dia 1 persen ditahan dan 99 persen syahid,” lanjutnya.

“Akan tetapi, saya merasa sedih karena kami terjebak di antara bumi dan langit sehingga saya bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal. Sungguh menyakitkan karena saya tidak tahu di mana dia berada. Saya hanya ingin mengetahui nasibnya, meski jika dia syahid.” (Middle East Eye) 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Zionis Akan Relokasi Tawanan Palestina dari Sde Teiman ke Penjara Militer di Tepi Barat
Penjajah Serang Khan Yunis: Ratusan Warga Gugur, Sekira 150.000 Orang Mengungsi  »