“Anak Saya Menangis Sepanjang Malam karena Kelaparan”

25 July 2024, 21:35.

Seorang anak Palestina sedang menunggu untuk mendapatkan makanan di sebuah titik distribusi makanan di Beit Lahia, Jalur Gaza utara, pada 18 Juli 2024, di tengah-tengah genosida ‘Israel’ yang sedang berlangsung. Foto: Omar Al-Qattaa/AFP

(DCI-Palestine) — “Tidak ada susu formula karena pengepungan ‘Israel’, dan tidak ada ASI di payudara saya karena kurangnya nutrisi dan pencegahan masuknya bantuan,” kata ibu dari Anwar Al-Khudari yang berusia tiga bulan dari Al-Syujaiyya, sebelah timur kota Gaza, kepada Defense for Children International-Palestine (DCIP).

“Saya mengungsi di Rumah Sakit Al-Syifa, bersama suami saya, dan putra kami satu-satunya, Anwar,” lanjutnya.

Anwar kecil meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan karena kekurangan gizi pada 14 Februari lalu.

“Anak saya menangis sepanjang malam karena kelaparan. Suhu tubuhnya naik dan dia mulai mengalami kejang-kejang. Dia meninggal dunia empat hari kemudian,” kata ibu Anwar.

Anwar Al-Khudari, 3 bulan

Anwar adalah salah satu dari setidaknya puluhan anak Palestina yang meninggal di Jalur Gaza karena kekurangan gizi dan dehidrasi dalam beberapa bulan terakhir.

Otoritas ‘Israel’ secara sistematis menolak akses anak-anak Palestina di Gaza untuk mendapatkan makanan dan nutrisi yang memadai sehingga memperburuk kelaparan dan kekurangan gizi.

Perampasan yang disengaja ini menyebabkan masalah kesehatan yang parah, pertumbuhan yang terhambat, dan peningkatan angka kematian anak yang mengkhawatirkan. Blokade dan pembatasan bantuan kemanusiaan selama genosida ‘Israel’ menciptakan krisis kemanusiaan dan memperpanjang penderitaan seluruh penduduk Jalur Gaza.

“Anak-anak kecil Palestina sekarat dalam keadaan lapar dan kesakitan karena otoritas ‘Israel’ dengan sengaja memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza utara, yang merupakan tindakan genosida,” kata Ayed Abu Eqtaish, direktur program akuntabilitas di DCIP.

“Antara penutupan Jalur Gaza dan serangan tanpa henti dari pasukan ‘Israel’, kita tidak tahu skala penuh dari krisis kelaparan ini. Tanpa gencatan senjata dan embargo senjata yang segera diberlakukan oleh komunitas internasional, lebih banyak lagi anak-anak Palestina di Gaza yang akan meninggal karena kelaparan.”

Para peneliti lapangan DCIP mengumpulkan kesaksian dari para orang tua dari anak-anak yang meninggal karena malnutrisi dan dehidrasi di Rumah Sakit Kamal Adwan di kota Beit Lahia, Gaza utara, sebagai akibat dari kampanye genosida yang dilakukan ‘Israel’.

“Rumah sakit ini menerima sekitar 70 hingga 100 anak setiap hari yang menderita malnutrisi,” kata Dr. Husam Abu Safia, direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, kepada DCIP. “Ada tiga tingkatan malnutrisi pada anak: ringan, sedang, dan berat, dan sebagian besar kasus yang masuk ke rumah sakit berada pada tingkat sedang, sementara yang berat mencakup lima hingga tujuh persen dari jumlah kasus. Persentase ini dapat meningkat jika kelaparan terus berlanjut dan pasokan makanan tidak dibawa masuk.”

“Penyebaran kelaparan di Gaza utara dan kematian anak-anak akibat malnutrisi telah menjadi kenyataan yang memilukan. Lebih dari 25 anak telah meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan karena kelaparan, dengan kematian tambahan dilaporkan di pusat-pusat penampungan dan rumah-rumah. Banyak yang tidak dapat mencapai rumah sakit karena pengepungan dan agresi ‘Israel’ yang sedang berlangsung,” lanjut Dr. Abu Safia.

Karam Qadadah, 10 tahun

“Karam suka bermain sepak bola dan fotografi, dan dia membuat akun untuk dirinya sendiri di TikTok,” kata ibu dari Karam Qadadah, 10 tahun, kepada DCIP.

Karam terjebak selama seminggu bersama keluarganya di Rumah Sakit Al-Syifa di tengah kekurangan pasokan makanan yang parah akibat pengepungan ‘Israel’ terhadap rumah sakit tersebut. Selama pengepungan, anak tersebut diizinkan untuk dievakuasi dari Rumah Sakit Al-Syifa dan dipindahkan ke Rumah Sakit Al-Ahli Arab.

Kondisi Karam semakin memburuk karena kurangnya makanan, perawatan medis, dan antibiotik di Rumah Sakit Al-Ahli Arab. Kesehatannya memburuk secara signifikan, menyebabkan penurunan berat badan yang parah. Dia kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Kamal Adwan.

“Anak saya ditempatkan di bagian khusus wanita [saat tiba di rumah sakit Kamal Adwan] karena tidak ada tempat untuknya di ICU. Hal ini memperburuk kondisinya dan dia kemudian dipindahkan ke ICU. Dia meninggal setelah seminggu berada di ICU,” kata ibu Karam kepada DCIP.

Karam meninggal pada 30 Maret karena kekurangan gizi dan peningkatan kadar garam dalam darah.

Rumah sakit Kamal Adwan dan rumah sakit lainnya di Gaza tidak dapat mengumpulkan data yang komprehensif mengenai tingkat kematian anak akibat malnutrisi dan dehidrasi karena genosida yang sedang berlangsung dan kekurangan staf yang parah.

Abdulaziz Salem yang baru berusia tujuh hari meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan pada 2 Maret karena serangan jantung dan kekurangan oksigen. Ia dilahirkan di rumah sakit yang sama tanpa bantuan dokter karena kurangnya tenaga medis. Abdulaziz menghabiskan waktu satu minggu di inkubator, sedangkan ibunya berada dalam kondisi kritis, menderita penyakit kuning dan efek dari malnutrisi selama kehamilan.

“Saya tidak bisa menyusui anak saya karena saya tidak punya makanan dan saya jatuh sakit,” kata ibu Abdulaziz kepada DCIP. Keluarganya berasal dari Al-Faluja, sebelah barat kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara, dan terpaksa mengungsi setidaknya enam kali selama kehamilannya.

“Tidak ada oksigen atau susu formula bayi di rumah sakit. Anak saya meninggal karena sesak napas dan kelaparan,” katanya.

Rumah sakit di Gaza utara berada dalam kondisi kritis karena penjajah Zionis dengan sengaja merampas pasokan medis penting bagi warga Palestina di Gaza, memutus pasokan listrik, dan membatasi air bersih yang diperlukan untuk memberikan perawatan kesehatan yang layak bagi anak-anak.

Joud Al-Barsh yang baru berusia tujuh hari dari kamp pengungsi Jabalia juga meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan pada 2 Maret akibat kekurangan gizi, karena ibunya tidak dapat menyusuinya sebagai akibat dari kekurangan gizi yang diderita ibunya. Dia ditempatkan di ruang perawatan bayi di rumah sakit selama seminggu karena kekurangan susu dan susu formula yang parah.

“Joud meninggal karena kelaparan, dan saya ditinggalkan dengan saudara kembarnya, yang Allah berikan kepada saya setelah 10 tahun menikah,” kata ibu Joud.

“Ada ratusan anak yang menghadapi risiko kematian akibat kelaparan, sebagai akibat dari pembatasan dan perang yang sedang berlangsung sejak 7 Oktober lalu,” kata Dr. Said Salah, seorang dokter anak dan ahli gizi di Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza kepada DCIP.

“Lebih dari 3.500 anak di bawah usia lima tahun kini berisiko mengalami kematian secara perlahan akibat kebijakan ‘Israel’ yang membuat anak-anak kelaparan dan memblokir masuknya bantuan kemanusiaan [ke Gaza utara] selama dua bulan berturut-turut.”

Mila Abdulnabi, 3 tahun

“Saya seorang perawat ICU di Rumah Sakit Kamal Adwan,” ujar ibu dari Mila Abdulnabi yang berusia tiga tahun kepada DCIP. “Putri saya meninggal di depan mata saya dan saya tidak bisa menyelamatkannya.”

“Saya kembali bekerja pada hari itu [setelah kematiannya] dan rekan-rekan saya menutup pintu agar saya tidak bisa masuk. Namun, ketika saya masuk, saya menemukan putri saya sudah meninggal dan tertutup kain kafan,” lanjutnya.

Mila Abdulnabi meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan pada 2 Maret karena kekurangan gizi dan kekurangan kalium dan kalsium.

“Ketika pasukan ‘Israel’ menyerbu wilayah utara dan merampas makanan kami, putri saya menderita kekurangan mineral dan tetap menggunakan alat bantu pernapasan sejak 29 Februari hingga hari kematiannya. Mila sangat cerdas dan dekat dengan saya, karena dia adalah putri saya satu-satunya,” kata ibunya.

Musab Abu Asr, 4 tahun

“Musab menjadi kerangka karena kelaparan,” kata ibu dari Musab Abu Asr dari Al-Syujaiyya, sebelah timur kota Gaza, kepada DCIP. “Harganya sangat mahal, dan tidak ada yang mampu membeli apa pun.”

Musab Abu Asr yang berusia empat tahun dirawat di Rumah Sakit Al-Ahli Arab pada 3 Februari lalu, sebelum dia akhirnya dipindahkan ke Rumah Sakit Kamal Adwan karena ICU ditutup akibat pemadaman listrik. Kesehatannya memburuk dan berat badannya terus menurun hingga dia akhirnya meninggal pada 11 Februari.

“Anak saya, Musab, adalah anak pertama kami. Dia cerdas dan ceria di taman kanak-kanak. Semua gurunya memujinya. Dia mudah bergaul dan ikut bermain dengan teman-teman sekelasnya. Dia suka mengendarai sepedanya. Dia sangat menyukai stroberi dan pisang. Dia adalah kebahagiaan hati saya,” kata ibu Musab.

Nahed Haboush, 2 bulan

“Anak saya dirawat di rumah sakit sebanyak dua kali. Pertama kali karena menangis hebat dan dehidrasi, dan kondisinya membaik dengan pengobatan dan perawatan,” kata ibu dari Nahed Haboush yang berusia dua bulan dari kamp pengungsi Jabalia.

Nahed mengalami penurunan kesehatan dan dehidrasi, dan ditempatkan di ICU di mana ia tetap menggunakan alat bantu pernapasan selama tiga hari hingga ia akhirnya meninggal pada 3 April. “Nahed meninggal karena kelaparan. Saya tidak bisa menyusui karena tidak ada makanan untuk saya atau susu formula karena pengepungan ‘Israel’,” kata ibunya.

Setidaknya 34 anak Palestina telah mati kelaparan, menurut Kantor Media Pemerintah. Namun, angka kematian resmi Palestina hanya mencakup mereka yang meninggal di rumah sakit atau yang kematiannya dilaporkan oleh keluarga mereka.

Pemadaman telekomunikasi, runtuhnya sistem medis, invasi darat ‘Israel’, dan pengeboman udara ‘Israel’ yang terus berlanjut telah menghalangi banyak warga Palestina untuk mengakses rumah sakit, yang mengakibatkan jumlah warga Palestina yang terkena dampak lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi.

Sekitar 3.500 anak berisiko meninggal karena kekurangan gizi dan kurangnya perawatan medis yang diperlukan, dan setidaknya 40.000 bayi tidak menerima imunisasi dan vaksinasi yang diperlukan secara teratur, menurut Kantor Media Pemerintah.

Sekitar 82.000 anak menunjukkan gejala malnutrisi, menurut Kantor Media Pemerintah sehingga lebih dari 50.000 anak memerlukan perawatan untuk malnutrisi akut, menurut UNRWA.  

Kurangnya transportasi dan ambulans, bersama dengan kekurangan obat-obatan penting, membatasi akses layanan kesehatan. Para ibu menghadapi tantangan dalam menyusui karena kekurangan gizi, kurangnya privasi, stres, dan trauma, yang diperparah dengan kurangnya susu formula, terbatasnya pemeriksaan malnutrisi, dan distribusi suplemen nutrisi yang tidak konsisten, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA).

Gaza Utara maupun Provinsi Gaza sedang mengalami kondisi kelaparan dan sekitar 70 persen populasinya, atau sekitar 210.000 orang, berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, menurut laporan terbaru dari Integrated Food Security Phase Classification (Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu).

Kelaparan dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa dan Statuta Roma dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), jika digunakan sebagai metode perang atau sebagai tindakan yang disengaja terhadap suatu populasi.

Pasal 8(2)(b)(xxv)–Kejahatan Perang–Statuta Roma dari (ICC) mengakui kelaparan sebagai metode peperangan dan menyatakan bahwa “dengan sengaja menggunakan kelaparan terhadap warga sipil sebagai metode peperangan dengan cara merampas benda-benda yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka, termasuk dengan sengaja menghalangi suplai bantuan sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Jenewa.”

Pasal 54 dari Protokol I (Perlindungan terhadap objek-objek yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil) Konvensi Jenewa menyatakan bahwa “Dilarang membuat penduduk sipil kelaparan sebagai metode peperangan. Dilarang menyerang, menghancurkan, menghilangkan, atau membuat tidak berguna benda-benda yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti bahan makanan, area pertanian untuk produksi bahan makanan, tanaman pangan, ternak, instalasi dan persediaan air minum, serta pekerjaan irigasi, dengan tujuan khusus untuk menghalangi ketersediaan makanan bagi penduduk sipil atau pihak yang berperang, apa pun motifnya, baik untuk membuat warga sipil kelaparan, membuat mereka mengungsi, maupun untuk motif lainnya.”

Hukum pidana internasional melarang kekejaman berat, termasuk kejahatan genosida, kejahatan agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, serta menetapkan tanggung jawab pidana individu bagi para pelakunya.

Kejahatan genosida merupakan pembunuhan yang disengaja terhadap sejumlah besar orang dari suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu dengan tujuan untuk menghancurkan bangsa atau kelompok tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Genosida dapat terjadi melalui pembunuhan atau dengan menciptakan kondisi kehidupan yang sangat tidak tertahankan sehingga menyebabkan kehancuran kelompok tersebut. Dengan sengaja menggunakan kelaparan terhadap warga sipil sebagai metode peperangan merupakan tindakan genosida dan merupakan kejahatan perang. (DCI-Palestine)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Pakistan Bentuk Komite untuk Identifikasi, Boikot Bisnis yang Dukung ‘Israel’
Lebih dari 10 Ribu Warga Gaza yang Sakit Parah dan Terluka Membutuhkan Evakuasi Medis  »