Sejarah Singkat Perundingan Damai Antara ‘Israel’ dan Hamas

4 August 2024, 09:30.

Pengunjuk rasa pro-Palestina berkumpul di Roma, Italia, pada 27 Januari 2024 untuk menunjukkan solidaritas terhadap warga Palestina dan memprotes serangan ‘Israel’ yang sedang berlangsung di Gaza. Foto: Riccardo De Luca – Anadolu Agency

Oleh: Zachary Foster

(palestine.beehiiv) – Pada bulan Desember 1987, setelah meletusnya Intifadhah(pertama), organisasi amal yang dikenal sebagai Mujama al-Islamiya (Majlis Islam) mengganti namanya menjadi Hamas.

Hamas tidak membuang banyak waktu untuk mengajukan proposal perdamaian kepada ‘Israel’, sebuah proposal yang hampir sepenuhnya dilupakan saat ini. Pada tanggal 1 Juni 1988, pemimpin Hamas Mahmoud al-Zahar melakukan perjalanan dari Gaza ke Tel Aviv untuk mengajukan tawaran tersebut kepada Menteri Pertahanan ‘Israel’ saat itu, Yitzhak Rabin.

Jika ‘Israel’ menginginkan perdamaian, mereka harus menyatakan niatnya untuk mundur dari Wilayah Pendudukan, membebaskan para tawanan Palestina, dan mengizinkan warga Palestina untuk memilih perwakilannya untuk merundingkan kesepakatan dengan ‘Israel’.

Pendiri Hamas, Syekh Ahmad Yassin, juga setuju untuk berunding dengan ‘Israel’ pada tahun 1988 jika ‘Israel’ mengakui hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk kembali ke tanah air mereka.

Namun, tawaran tersebut tidak digubris. Selama beberapa dekade, ‘Israel’ menolak untuk mengizinkan para pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka. Selama beberapa dekade, ‘Israel’ telah membangun permukiman di Palestina.

Bahkan, ‘Israel’ telah meningkatkan populasi pemukimnya di wilayah pendudukan sebanyak tiga kali lipat selama enam tahun sebelumnya (1982-1988) dan telah memenjarakan ribuan warga Palestina selama enam bulan pemberontakan sebelumnya. Tuntutan Hamas tidak mungkin diterima oleh ‘Israel’.

Bukan hanya ‘Israel’ tidak mau berkompromi dengan Hamas, tetapi ‘Israel’ justru terus memperburuk masalah. Sepanjang akhir 1980-an dan 1990-an, ‘Israel’ terus merampas lebih banyak tanah, menangkap lebih banyak pemuda Palestina, dan mengusir lebih banyak warga Palestina dari Palestina.

Hamas berkata: mari kita berbagi ‘Israel’-Palestina.

‘Israel’ berkata: bagian ‘Israel’-Palestina yang menjadi milik kami adalah milik kami, dan bagian ‘Israel’-Palestina yang Anda inginkan juga milik kami.

Satu dekade kekerasan berlalu dan Hamas mulai berbicara tentang perdamaian lagi. Pada tahun 1997, pemimpin Hamas, Syekh Yassin, mengusulkan kepada rekan-rekannya di ‘Israel’ “gagasan gencatan senjata selama 30 tahun antara ‘Israel’ dan Palestina.”

Cerita ini dibocorkan oleh mantan agen Mossad, Efraim Halevy, jadi kita tidak tahu cerita lengkapnya. ‘Israel’ telah lama berusaha menggambarkan Hamas sebagai perwujudan dari kejahatan. Oleh karena itu, mereka ragu-ragu untuk memublikasikan berita tentang usaha Yassin untuk berdamai.

Namun, para pemimpin Hamas terus merumuskan kembali gagasan ini, terutama pada pertengahan tahun 2000-an. Pada tahun 2004, Yassin mengulangi seruannya untuk mengakhiri kekerasan. “Hamas siap menerima perdamaian sementara dengan ‘Israel’,” katanya, “jika sebuah negara Palestina didirikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.”

Bukan hanya Yassin. Orang nomor dua Hamas, Abdel Aziz al-Rantissi, secara independen mengatakan kepada Reuters pada tahun 2004: “Kami menerima sebuah negara di Tepi Barat, termasuk Yerusalem, dan Jalur Gaza. Kami mengusulkan gencatan senjata selama 10 tahun sebagai imbalan atas penarikan diri [‘Israel’] dan pembentukan sebuah negara.”

Tawaran perdamaian Hamas pada tahun 1988, 1997 dan 2004 mungkin juga telah menjiplak Resolusi PBB 194 dan 242, yang juga menyerukan kepada ‘Israel’ untuk mengizinkan para pengungsi Palestina kembali ke rumah mereka dan menarik diri dari wilayah-wilayah yang didudukinya pada tahun 1967.

Namun, ‘Israel’ memiliki masalah yang sama pada tahun 1997 dan 2004 seperti yang terjadi pada tahun 1988: mereka secara aktif terlibat bukan dalam melepaskan, tetapi dalam memperluas kontrolnya atas wilayah Palestina yang didudukinya.

Akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an menandai periode pertumbuhan permukiman yang cepat, pembangunan jalan apartheid baru, lebih banyak pos militer, penyitaan tanah yang sering terjadi, dan peningkatan jumlah blokade jalan dan pos-pos pemeriksaan, termasuk tembok pemisah yang sangat besar.

Alih-alih mengakhiri penjajahannya atas Palestina, ‘Israel’ justru memperkuatnya.

Jadi, alih-alih berbicara dengan para pemimpin politik Hamas, ‘Israel’ memutuskan untuk membunuh mereka. ‘Israel’ membunuh Yassin pada bulan Maret 2004 dan Rantissi pada bulan April 2004.

Pembunuhan tersebut memicu demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia Arab dan curahan simpati yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Hamas. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan tak lama setelah pembunuhan tersebut menemukan, untuk pertama kali dalam sejarahnya, Hamas menjadi gerakan yang paling populer di Gaza dan Tepi Barat.

Jika tujuan pembunuhan terhadap para pimpinan Hamas adalah untuk melemahkan Hamas, maka ‘Israel’ telah melakukan kesalahan strategis yang sangat besar, yang kini sedang diulanginya kembali. ‘Israel’ memberikan Hamas hadiah terbesarnya hingga saat ini: Seorang pendiri sekaligus syahid.

Hamas menunggangi gelombang dukungan tersebut dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina pada bulan Januari 2006, mengalahkan saingan utamanya, Fatah, dengan perolehan suara 44% berbanding 41%.

Para pemimpin Hamas memanfaatkan momen tersebut dan mengajak ‘Israel’ ke meja perundingan, mendesak solusi diplomatik atas konflik tersebut. “Kami, Hamas, menginginkan perdamaian dan ingin mengakhiri pertumpahan darah,” tulis Ismail Haniyah di The Guardian pada tanggal 31 Maret 2006. “Cara damai akan berhasil jika dunia bersedia terlibat dalam proses yang konstruktif dan adil, di mana kami dan ‘Israel’ diperlakukan setara.”

Saya kira itu tidak terlalu rumit bukan? Orang-orang Palestina menginginkan proses yang adil, dan mereka ingin diperlakukan setara. Sungguh ekstrem!

Pada tahun 2007, pemimpin politik Hamas, Khaled Mashal, menyetujui prinsip pragmatisme. “Hamas telah banyak berubah dan upaya besar telah dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan posisi realistis Palestina dan Arab,” katanya kepada CNN pada tahun 2007.

Setahun kemudian, dia bahkan lebih spesifik lagi mengenai ketertarikan Hamas pada resolusi politik, bukan militer. “Kami menyetujui sebuah negara [Palestina] di perbatasan sebelum tahun 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya dengan kedaulatan sejati tanpa permukiman, tetapi tanpa mengakui ‘Israel’.”

Pernyataan-pernyataan publik ini membuka jalan bagi gencatan senjata yang ditandatangani antara ‘Israel’ dan Hamas pada tanggal 19 Juni 2008. Hamas dan kelompok-kelompok militan lainnya setuju untuk berhenti menembakkan roket ke ‘Israel’ jika ‘Israel’ setuju untuk menghentikan serangan udara dan serangan-serangan lainnya, serta melonggarkan blokade atas Gaza.

Dari tanggal 19 Juni 2008 hingga 4 November 2008, Hamas tidak menembakkan roket dan mortir ke ‘Israel’ dan menahan kelompok-kelompok Palestina lainnya, menurut juru bicara ‘Israel’, Mark Regev (pada tanggal 9 Januari 2009). (Meskipun ‘Israel’ tidak melonggarkan blokade, yang sudah merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut).

Pada tanggal 5 November 2008, Amnesty melaporkan bahwa gencatan senjata telah dilaksanakan. Bahkan, hal itu merupakan “faktor terpenting dalam mengurangi korban sipil dan serangan terhadap warga sipil ke tingkat terendah sejak meletusnya Intifadhah lebih dari 8 tahun yang lalu.”

Namun, pada tanggal 4 November 2008, ‘Israel’ secara terang-terangan melanggar gencatan senjata, menginvasi Jalur Gaza dengan pasukan darat dan membunuh 6 warga Palestina. “Militer ‘Israel’ menyimpulkan bahwa Hamas kemungkinan besar ingin melanjutkan gencatan senjata, meskipun ada serangan tersebut.”

Dengan kata lain, ‘Israel’ percaya bahwa mereka dapat mengganggu gencatan senjata tanpa mengganggu gencatan senjata. ‘Israel’ ingin mendapatkan semuanya.

Rupanya, Hamas berpandangan bahwa bukan seperti itu cara kerja gencatan senjata. Periode tenang yang bersejarah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang bersejarah. Kurang dari dua bulan kemudian, ‘Israel’ memutuskan untuk melancarkan perang besar-besaran terhadap 1,5 juta penduduk Gaza, membunuh 1.400 warga Palestina, termasuk 700-900 warga sipil dan 288 anak-anak. Akhirnya, gencatan senjata tercapai dan perang pun berakhir.

Sebuah misi pencari fakta PBB, yang dikenal sebagai Goldstone Report (Laporan Goldstone), menyimpulkan: Tujuan perang ‘Israel’ adalah untuk “menghukum, mempermalukan dan meneror penduduk sipil” di Gaza.

Kemudian, pada bulan November 2012, aktivis perdamaian ‘Israel’, Gershon Baskin, berupaya untuk memediasi gencatan senjata lainnya antara ‘Israel’ dan Hamas. Baskin melaporkan bahwa Hamas kemungkinan besar akan menerima kesepakatan tersebut. Bagian yang lebih sulit, bagi Baskin, adalah meyakinkan Menteri Pertahanan ‘Israel’ Ehud Barak untuk menerimanya juga.

Beberapa jam setelah pemimpin Hamas Ahmed Jabari (“orang yang paling berkuasa”) menerima rancangan kesepakatan gencatan senjata permanen, ‘Israel’ membunuhnya. Hasilnya adalah meningkatnya kekerasan dan perang lain di Gaza, di mana ‘Israel’ membunuh 171 warga Palestina, sebagian besar warga sipil.

Pada tahun 2017, Hamas mempresentasikan sebuah piagam baru yang mengadvokasi “negara Palestina yang sepenuhnya berdaulat dan merdeka, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya sesuai dengan garis perbatasan 4 Juni 1967, dengan kembalinya para pengungsi dan orang-orang yang terusir ke rumah-rumah mereka dari mana mereka diusir, untuk menjadi sebuah formula konsensus nasional.”

Usulan Hamas sekali lagi sejalan dengan hukum internasional. Dan, sekali lagi, ‘Israel’ menolaknya mentah-mentah. “Hamas sedang berusaha membodohi dunia, tetapi tidak akan berhasil,” kata juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada saat itu.

Kembali ke pembicaraan gencatan senjata saat ini antara Hamas dan ‘Israel’. Untuk sementara waktu, para negosiator ‘Israel’ tampaknya berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan sandera mereka kembali tanpa melakukan gencatan senjata permanen.

Namun, selama dua bulan terakhir, Netanyahu semakin memperjelas bahwa tujuannya adalah “kemenangan total,” yaitu bukan gencatan senjata denganHamas, melainkan penghancuran Hamas sepenuhnya.

Keinginan Netanyahu untuk menggagalkan perundingan gencatan senjata telah menjadi begitu jelas sehingga bahkan media sayap kanan Inggris, Jerusalem Post, memuat berita utama yang berbunyi, “‘Netanyahu secara aktif menyabotase’ kesepakatan penyanderaan, kata sumber-sumber [yang tidak disebutkan namanya].”

Minggu ini, Netanyahu menghilangkan keraguan tentang niatnya setelah memerintahkan pembunuhan terhadap orang yang sedang bernegosiasi gencatan senjata dengannya, pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyah.

Hamas telah berupaya mengakhiri permusuhan dengan ‘Israel’ pada tahun 1988, 1997, 2004, 2006, 2007, 2008, 2012, 2017, dan 2023-2024. Namun, para pemimpin ‘Israel’ telah menunjukkan sikap permusuhan yang besar terhadap gencatan senjata, penghentian perang, dan perjanjian damai dengan Hamas. Seandainya saja Palestina memiliki mitra untuk perdamaian. (palestine.beehiiv)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Kehidupan Muhajirin Rohingnya di Bangladesh Kian Sulit Imbas Penutupan Akses Internet 
‘Israel’ Terus Lakukan Serangan Brutal terhadap Warga Palestina yang Mengungsi di Sekolah, Tenda »