Inilah 3 Strategi Penjajah Zionis untuk Kuasai Tanah Palestina

11 August 2024, 19:13.

Foto: Alray.ps

Oleh: Zachary Foster

(palestine.beehiiv.com) – Pada tahun 1904, pemimpin Zionis Menachem Ussishkin menyatakan, “Tanpa kepemilikan tanah, tanah ‘Israel’ tidak akan pernah menjadi milik orang Yahudi.”

Dia kemudian menguraikan tiga strategi untuk memperoleh tanah: pembelian, penaklukan, dan penyitaan oleh pemerintah.

Ussishkin benar sekali, karena dengan cara inilah gerakan Zionis, dan kemudian negara palsu ‘Israel’, mengambil alih sebagian besar tanah Palestina kuno (historic Palestine).

Ini adalah sejarah singkat dari 3 tahapan Zionisme; pertama melalui akuisisi, kemudian melalui pemberontakan dan perang, dan akhirnya melalui dekret negara.

Tahapan pertama Zionisme: Akuisisi

Pada tahun 1914, orang-orang Yahudi memiliki sekitar 2% dari wilayah Palestina dan pada tahun 1948, mereka memiliki sekitar 5,7%, atau sekitar 1,5 juta dunam dari 26,3 juta dunam wilayah Mandat Palestina. Strategi ini terus berlanjut hingga saat ini, meskipun telah melambat secara signifikan. Akuisisi tanah melalui pembelian memakan biaya yang tinggi dan prosesnya lambat sehingga tidak terlalu menarik.

Tahapan kedua Zionisme: Penaklukan

Periode pertama dan sering dilupakan ketika Zionis memperoleh tanah melalui penaklukan adalah dari tahun 1936 hingga 1939. Selama periode ini, orang-orang Arab Palestina terlibat dalam pemberontakan terbuka melawan Inggris, yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Besar Arab.

Dalam upaya mereka untuk meredam pemberontakan, Inggris melatih, mempersenjatai, dan mendukung pasukan paramiliter Zionis, serta mengizinkan mereka mendirikan pos-pos “keamanan”.

Zionis memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun “fakta di lapangan.” Para pemukim Yahudi akan tiba di suatu lokasi dan dengan cepat membangun menara pengawas dan beberapa gubuk beratap dalam waktu kurang dari 24 jam, dalam apa yang dikenal sebagai metode “Tower and Stockade (Menara dan Benteng)”.

Tak lama kemudian, “pos-pos keamanan” tersebut diubah menjadi permukiman pertanian. Begitulah cara Zionis membangun 57 permukiman baru di Galilea, Lembah Yordan, bagian tengah dan selatan negara palsu tersebut. Permukiman-permukiman pedesaan ini menjadi rumah bagi puluhan ribu orang Yahudi ‘Israel’ saat ini.

Kemudian, selama Perang 1948, pasukan Zionis, dan kemudian negara palsu ‘Israel’, menaklukkan 78% wilayah Palestina Mandat Britania, dan mengusir 700.000 warga Palestina dari rumah mereka. Penjajah Zionis kemudian mulai menyita tanah yang sebelumnya dimiliki para pengungsi.

Sebuah studi PBB pada tahun 1951 menghasilkan angka 16,3 juta dunam, yang mencakup tanah milik pribadi dan komunal. Sementara itu, pejabat PBB Sami Hadawi memperkirakan 19 juta dunam. Namun, sebagian besar perkiraan cenderung berkisar antara 4,2 hingga 6,6 juta dunam tanah yang disita oleh ‘Israel’ setelah perang. Sejauh ini, ini merupakan akuisisi tanah terbesar dalam sejarah Zionisme.

Kemudian, pada bulan Juni 1967, ‘Israel’ menaklukkan sisa 22% wilayah Palestina kuno – Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hanya saja kali ini, pasukan ‘Israel’ mengusir lebih sedikit warga Palestina. Dengan demikian, harus menggunakan strategi ketiga dan terakhir untuk akuisisi tanah: dekret pemerintah.

Tahapan ketiga Zionisme: Dekret

Dekret pertama, yang dikenal sebagai Undang-Undang Properti Absentee/Absentee Property Law (Perintah Militer 58, yang dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 1967), mirip dengan Undang-Undang Properti Absentee tahun 1950 yang digunakan untuk mengambil alih tanah Palestina setelah tahun 1948.

Pada tahun 1967, militer ‘Israel’ mendefinisikan “properti absentee” sebagai “properti yang pemilik sahnya, atau siapa pun yang diberi kekuasaan untuk mengendalikannya berdasarkan hukum, meninggalkan daerah tersebut sebelum tanggal 7 Juni 1967 atau setelahnya.”

Pengawas Keuangan Negara ‘Israel’ melaporkan bahwa selama beberapa tahun pertama penjajahan, sekitar 430.000 dunam, atau 7,5% dari wilayah Tepi Barat, disita dengan cara ini.

Strategi kedua adalah menyatakan tanah sebagai milik negara atau badan yang bermusuhan. Perintah Militer 59, yang dikeluarkan pada 31 Juli 1967, menyatakan bahwa setiap tanah atau properti milik negara yang bermusuhan atau badan arbitrase yang terkait dengan negara yang bermusuhan dianggap sebagai milik negara. Pada tahun 1979, 687.000 dunam – sekitar 13% dari wilayah Tepi Barat – disita dengan cara ini.

Strategi ketiga adalah menyita tanah untuk kebutuhan “publik” [baca: Yahudi]. ‘Israel’ telah banyak menggunakan dekret ini untuk menyita tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan jalan guna melayani jaringan permukiman ilegal ‘Israel’.

Saat ini, sebagian besar jalan tersebut hanya dapat diakses oleh warga ‘Israel’, bukan oleh penduduk Palestina di wilayah yang dijajah. Dengan demikian, jalan tersebut bukanlah jalan umum, melainkan jalan apartheid.

Strategi keempat adalah mendeklarasikan tanah sebagai cagar alam. Militer ‘Israel’ mengeluarkan perintah 363 pada bulan Desember 1969 yang memberlakukan pembatasan penggunaan lahan untuk pertanian dan penggembalaan di wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai cagar alam.

Pada tahun 1985, 250.000 dunam (atau 5% dari Tepi Barat) dijadikan cagar alam, dan pada tahun 1997 jumlah tersebut meningkat menjadi 340.000 dunam. Pada tahun 2020, ‘Israel’ menciptakan 7 cagar alam baru dan memperluas 12 cagar alam yang sudah ada untuk mempertahankan kendali ‘Israel’ atas wilayah tersebut.

Kemudian, pada April 2022, ‘Israel’ mendirikan cagar alam baru terbesarnya di Tepi Barat dalam hampir 3 dekade terakhir, yang membuat 22.000 dunam lainnya secara efektif terlarang bagi warga Palestina.

Strategi kelima adalah menyita tanah untuk keperluan militer. Dari Agustus 1967 hingga Mei 1975, ‘Israel’ menyatakan sekitar 1,5 juta dunam tanah – 26,6% dari wilayah Tepi Barat – sebagai zona militer tertutup. Sebagian besar tanah ini kemudian diubah menjadi permukiman ilegal Yahudi.

Keputusan Mahkamah Agung ‘Israel’ pada tahun 1979 memaksa negara palsu tersebut untuk sedikit mengubah strateginya: pertama-tama, tanah Palestina akan dinyatakan sebagai ‘tanah negara’, kemudian tanah tersebut dapat digunakan kembali untuk pembangunan permukiman Yahudi.

Dari tahun 1979 hingga 1992, sistem ini digunakan untuk mencuri lebih dari 900.000 dunam tanah, yang hampir semuanya kemudian dialokasikan untuk permukiman ilegal Yahudi. Saat ini, ada 1,2 juta dunam (22% dari Tepi Barat) yang termasuk dalam kategori tanah ini.

‘Israel’ terus menggunakan ketiga metode tersebut untuk mengambil alih Palestina. Orang-orang Yahudi terus berusaha membeli tanah dari warga Palestina, penjajah Zionis terus mengeluarkan undang-undang baru dan mengeluarkan lebih banyak dekret untuk menyita lebih banyak tanah Palestina. (palestine.beehiiv.com)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Euro-Med: Semakin Banyak Warga Palestina yang Tewas Akibat Blokade ‘Israel’
Begini Apartheid ‘Israel’ Menggolongkan Masyarakat yang Berada di Bawah Kendalinya »